“Oleh Karena Ia Maka Mereka”
WELASAN. Dari sisi bioritmik, 1-2 jam menjelang hingga pasca tengah malam adalah saat-saat di mana sebagian besar manusia lelap dalam tidur mereka. Perilaku yang berulang dan menjadi siklus harian ini wajar adanya. Satu common sense yang secara sadar dilakoni atau pada sebagian besar manusia lainnya terjadi begitu saja.
Begitu alamiahnya peristiwa itu dan dilakukan oleh hampir semua manusia sehingga dalam religiusitas Islam dan Jawa waktu-waktu itu memiliki keistimewaannya sendiri. Dalam pembagian waktu malam, sepertiga akhir dan rentang antara tengah malam hingga dini hari adalah waktu terbaik untuk bisa meningkatkan koneksitas secara transendental.
Namun malam di saat bulan masih purnama di satu titik kota terbesar kedua di Indonesia, kewajaran berpuluh abad itu seperti terbantahkan. Ratusan orang berkumpul dalam kesatuan ruang dan harapan dengan mana jam biologis seperti barang langka yang jarang dikenang.
Ekspresi yang mengalir dalam keutuhan panto mimik atau dalam bentuk yang lebih inimalis seperti terlihat di guratan wajah mereka yang hadir seolah menyangkal kenyataan bahwa malam sedang berlangsung. Mereka justru sedang menyiarkan bahwa ini adalah pagi hari. Waktu di mana circardian berada di posisi paling optimal.
Apa yang terjadi di “panggung” dan kanan-kiri juga belakangnya hingga kawasan yang sangat “perifer” darinya adalah gejolak kehidupan yang menyala-nyala. Olah pikir, olah rasa, pengerahan kemampuan menyampaikan butir-butir kejernihan beserta resonansinya berjalan pada tataran yang maksimal, ikhlas, dan tentu saja tanpa pretensi juga tendensi.
Gambaran di atas adalah ilustrasi sederhana tentang forum BangbangWetan. Sebuah forum yang pada salah satu tonggak perjalanannya disepakati–hingga kini–sebagai forum pendidikan dan pembelajaran. Forum yang belum terbantahkan sebagai satu-satunya forum di Surabaya yang terbuka, cair dan memiliki kontinuasi hingga sebelas tahun usianya.
Lalu apa dan di mana kemanfaatannya? Satu pertanyaan logis pada era serba berhitung, serba menakar. Era yang dengan verbal terus mempertanyakan “apa yang bisa dituai setelah tabur usai”.
Untuk mendapat jawaban atasnya, singkirkan dulu paradigma definitif dan sistematik yang biasa kita jumpai di keseharian. Cukuplah kau siapkan sekian lembar media dan alat tulis sebagai akomodasi uraian yang beragam. Karena jawabannya ada pada jumlah keserbanekaan mereka yang datang, mereka yang cukup menjadi tiang pancang di balik layar dan mereka yang tak pernah datang namun melanjutkan penantian diam-diam atas apa yang diperdengarkan di BangbangWetan.
Menjadi satu kedurhakaan ideologis dan eksistensial bila tidak menyertakan satu nama setiap perbincangan mengenai BangbangWetan dilalukan. Nama itu adalah sosok yang tak pernah kita melihatnya menguap. Persona yang kehangatannya mengalir dalam senyum, uluran tangan dan berat suaranya. Beliau yang tingkat kepakaran serta gelombang kharismatiknya bukan hanya sulit namun nyaris mustahil ditemukan pembandingnya di 3 dekade terkini dalam perjalanan kita sebagai bangsa.
Tidak perlu saya sebutkan nama karena keputusan beliau untuk menyingkir jauh dari hantu eksistensi menjadikan pekewuh bagi banyak pihak yang sedang memperjuangkan keberadaannya, diakui dan tenar karenanya. Lebih penting dari itu adalah terus menyusun glossary ilmu hidup yang dengan cuma-cuma disebarluaskannya.
Dirgahayu BangbangWetan di tonggak tahun kesebelas usiamu. Salam takzim untuk sebuah nama, tentang siapa penghormatan dan rindu tidak akan pernah tunai kuselesaikan.
Rio NS, penggiat BangbangWetan yang menemukan keseimbangan diri pada musik rock dan sastra. Bisa disapa melalui akun Facebook: N Prio Sanyoto.