Kolom Jamaah

Peneguhan Keniscayaan Watak Teater

Oleh: Julak Imam

Watak teater adalah kolektifitas. Kebersamaan. Reriyungan.

Bila merujuk pada “dugaan” analisa di atas, maka teater adalah metodologi keilmuan yang hakekatnya mengajarkan kebersamaan. Ia mengajarkan peniadaan egosentrisme masing-masing pelaku. Nyengkuyung kepentingan bersama. Reriyungan. Maiyahan.

Kolektifitas watak teater tesebut adalah keniscayaan. Bahkanpun ia berlabel teater monolog.

Teater monolog tetap membuka ruang kebersamaan terhadap keberadaan peran pemain lainnya, yang sungguhpun pemain yang dimaksud tak harus tampil juga di atas panggung. Sebut saja, sang pemain teater monolog masih butuh bantuan pemain penata lampu, penata latar panggung, penata musik, penata rias wajah, dan seterusnya.

Artinya apa? Artinya dimensi teater ternyata mengajak kita untuk sadar akan keniscayaan dialektika. Kesadaran akan keberadaan kemampuan pihak lain untuk menutupi kekurangan pada kemampuan kita. Kemafhuman akan adanya peran penting aspirasi pihak lain guna menambal kekosongan yang ada pada aspirasi kita yang juga sama penting. Dan seterusnya.

Bila demikian, teater itu sendiri adalah refleksi dialektis keanekaragaman yang tak terhingga pada jagat raya, alam semesta. Alam semesta adalah teater itu sendiri. Dan Alloh adalah Maha Teater. Maha Sutradara. Maha Aktor.

Di Kabupaten Balangan, Kalimantan Selatan, yang saya pernah hidup 20 tahun lebih di sana, ada satu teman yang kerjanya berdagang keliling atau mangapung (mengejar) pasar. Di sini istilahnya mbakul dina pasaran alias klithikan. Sang teman, dalam seminggu, ia tiga kali mengajar esktra kurikuler teater di sekolah lanjutan tingkat pertama dan atas.

Yang menarik dari sang teman ini adalah caranya dalam mengajar. Ia mengajarkan teknis berteater. Namun yang ia utamakan adalah pelajaran nilai nilai kehidupan. Sentuhan ruhani. Bukan qua teknis ansich.

Misalnya, teater menurutnya adalah miniatur sosial dalam bermasyarakat. Sehingga teater harus menghasilkan sosok aktor sejati. Sosok aktor sejati itu adalah sosok pribadi yang berjiwa pejuang, berwatak rendah hati, dan berlaku cerdas. Dan sosok tersebut musti terbawa dalam kehidupan kesehariannya. Itu menurutnya.

Metode pengajaran teater yang mengutamakan pada nilai-nilai seperti itu, tentu saja dengan cara yang inovatif sedemikian rupa, justru membuat anak didiknya tak merasa bosan.

Hasilnya, anak anak didiknya cenderung lebih awet bertahan. Sedang guru teater sebelumnya, entah mengapa tidak mampu lama mengajar. Konon menurut kabar, anak anak didiknya berangsur angsur malas untuk datang latihan.

Melihat karakter metodologi keilmuan teater yang seperti tersebut di atas, maka tak heran bila seniman teater itu dikenal punya pendirian yang kuat, rendah hati, cerdas, tentu saja ya tidak egois dan tidak sombong. Simpelnya: paham empan papan dan patrap.

Bila ada yang bersifat egois, sombong, tidak paham empan papan dan patrap, itu mah hanya yang bersangkutan sedang lupa atau khilaf akan essensi ajaran berteater.

Maka uri-uri bapak Emha Ainun Nadjib bersama teman teman para seniman lintas usia dari usia kepala 20 sampai kepala 80 dalam Reriyungan Teater se Jogja, mohon maaf, hemat saya, selain sebagai ajang silaturrohmi, juga tak kalah pentingnya adalah bertujuan meneguhkan kembali keniscayaan watak teater. [JI]

Terlahir di Surabaya, Julak Imam adalah penggiat sastra yang melintasi jarak Surabaya, Kalimantan Selatan hingga Yogyakarta. Sambil menunggu selesainya buku kumpulan karya esai dan cerpen, antologi puisinya sudah diterbitkan. Pernah menjadi jurnalis di beberapa media cetak, saat ini Imam berfokus pada warung kopi yang ikut terimbas global pandemi

Leave a Reply

Your email address will not be published.