Metaforatma

Penerima Mandat Kebersamaan

Oleh : Agung Trilaksono

(Untuk 12 tahun BangbangWetan)

 

Ada cerita yang pernah dituturkan almarhum Pak Ndut dan dikuatkan oleh inisiator BangbangWetan mengenai rapat yang menyepakati diselenggarakannya forum bulanan BangbangWetan. Sebelum rapat dimulai di kantor MPM, tiba-tiba Cak Nun menunjuk Mas Rachmad Rudiyanto untuk menjadi moderator pertemuan. Semua terperangah, nama Rachmad sama sekali tidak dikenal oleh pegiat-pegiat Maiyah yang sering melingkar di Padhang mBulan waktu itu. Meski demikian, karena sudah menerima mandat, Mas Rachmad tanpa canggung melaksanakan tugasnya dalam memberi arahan dan meminta usulan.

 

Terkait nama-nama inisiator dan pegiat awal yang mengikuti rapat itu, bisa dibaca di secarik kertas yang hingga kini tersimpan di rumah almarhum Pak Ndut. Beliau menyimpan kertas itu dan menjadikannya sebagai selembar “Jimat”.

 

Nama-nama yang hadir dan tertulis di “jimat” itulah yang selanjutnya menjadi “seksi sibuk” dalam pelaksanaan forum di setiap bulannya. Di bawah arahan kedua adik Mbah Nun, Cak Nang dan Cak Zakky, mereka yang namanya tertera dalam “jimat” menyiapkan tempat lengkap dengan tata panggung dan suaranya, nggelar tikar, menemukan nara sumber, dan menentukan tema.

 

Para inisiator itu masih terlibat dalam Maiyahan secara langsung. Di antaranya Cak Rudd Blora yang kini berkonsentrasi di simpul Lumbung Bailaroh. Kaji Harris masih berlalu lalang di BangbangWetan dengan gaya khasnya menenteng tas kecil di pundak beserta smartphone di tangan. Serta Acang, inisiator yang juga terlibat intens dalam perumusan Opinium. Last but not least, terrekam juga almarhum Cak Priyo Aljabar. Nama BangbangWetan tercetus dari beliau yang kita sebut dengan mendalam hingga kini.

 

Berawal dari selembar “jimat” itu muncul ide untuk memaparkan laporan keuangan dan jadwal setiap bulannya. Laporan ini berbentuk satu-dua lembar kertas dengan tulisan hitam-putih. Dari sini lah cikal bakal Buletin Maiyah Jawa Timur (BMJ) memancar.

 

Dalam perjalanannya, urusan teknis penyelenggaraan lebih sering ditangani oleh Pak Dudung E.P. Teman-teman pegiat BangbangWetan kerap menyebutnya Kumendan dengan panggilan akrab “ndan”. Nama-nama berikutnya bermunculan, ada : Sumitro Sumajah (Ki Mitro-almarhum), Sugito (Cak Gito), Hartono – Porong, Duo Kutorejo, Pak Munir dan Miftachul Huda (Paseban Mojopahit) serta masih banyak lagi yang penulis tidak mungkin menyebutnya satu persatu.

 

Pada era ini muncul sebutan Srikandi Maiyah. Mereka adalah sekelompok perempuan yang kerap kali melakukan perjalanan ke acara maiyahan. Jarak yang ditempuh dengan sepeda motor tidak tanggung-tanggung. Jalanan lintas provinsi mereka jamah demi datang ke BangbangWetan. Nama-nama yang tercatat antara lain: Renny Mulya, Okta, Dian, Fitri. Sebutan Srikandi Maiyah disematkan sendiri oleh Mbah Nun sebagai apresiasi atas ketangguhan mereka.

 

BangbangWetan terus tumbuh, nama-nama baru muncul. Uniknya, hampir semuanya terekrut secara alamiah di setiap event yang tergolong “besar”.

 

Sebut saja Aminullah, Rio, Ahid Anfal, dan Luthfie Alisyahbana. Ketika Pementasan Tikungan Iblis di Gramedia Ekspo, keempat wajah baru ini begitu berperan dalam penyelenggaraan acara. Aminullah yang sering menyebut dirinya Tarjo kemudian berperan sebagai Sekjend BangbangWetan menggantikan Pak Dudung. Ahid mendapat amanat untuk berjuang di posisi Pemimpin Redaksi BMJ. Lutfhie yang domisilinya berdekatan dengan jembatan Suramadu, selain memimpin para “penjaga ketertiban” di setiap acara Maiyahan Jawa Timur, juga memandu wirid dan sholawat di forum bulanan BangbangWetan.

 

Pergelaran “Hati Matahari” menjadi pintu gerbang selanjutnya bagi pegiat baru. Kala itu muncul sebutan Remus, kepanjangan dari Remaja Mushola. Karena sebutan Remaja Masjid mereka anggap terlalu berat dan suci. Remus juga kemudian diartikan sebaga Remaja kumus-kumus. Mereka terdiri dari 5 orang remaja energik: Very, Fajar, Chakam, Coky, dan Dimas. Very dan Fajar masih setia menjomblo dan bertahan nyengkuyung BangbangWetan. Chakam pelantun sholawat syahdu pada zaman itu berdampingan dengan Lutfhi serta Huda. Setelah menikah, Chakam kembali ke desa kelahirannya dan mengabdi sebagai seorang guru. Sementara Coky dan Dimas kemudian sibuk kerja di bidang yang mereka pilih.

 

Di era yang sama pula muncul nama Aris Kurniawan, Ibnu (oyek), Ranu, Cak Sun, serta Hari “Tello” Widodo. Meski secara umur mereka terbilang lebih tua namun peran dan kelincahan geraknya tidak kalah energik dengan para “Remus”.

 

Srikandi baru pun bermunculan. Ada Dewi Sulistyowati, Rany, Dwi Dhanie, Yetti serta isteri-isteri pegiat yang mulai aktif berpartisipasi.

 

Generasi Srikandi berikutnya adalah Wilda, Iva, Viha, Almas, dan Mayang. Bertahan agak lebih lama, Viha akhirnya menikah dengan Bayu (Pegiat Mocopat Syafaat) yang kemudian mengajaknya melanjutkan kisah hidup di Yogya.

 

Generasi demi generasj terus tumbuh silih berganti. Di generasi zaman now tersebutlah nama Yassin, Mustofa, Jambrong, Ajib, Widhi, Danang, Debby, Dicky, Syamsuri, Tamalia, Rohman, Sita, Dio, dan Rahma. Mereka melakoni “penugasan” sesuai minat, kemampuan, dan yang terpenting “takdir” yang telah ditetapkan.

 

Yang kemudian “tidak aktif” tentu tidak bisa dikatakan hilang. Banyak di antara mereka yang memilih hadir diam-diam. Sementara yang lain sibuk mengaplikasikan ilmu Maiyah di lingkungan keseharian sehingga tidak bisa rutin hadir secara fisik ke BangbangWetan.

 

Dari pertemuan-pertemuan antar personal di forum bulanan BangbangWetan muncul pula satuan-satuan komunal. Secara geografis mereka ada di seputaran kota Surabaya. Secara organisme definitif, ada yang tumbuh sebagai simpul dan sebagian lainnya berupa “lingkar” atau padatan. Paseban Majapahit (Mojokerto), Shulton Penanggungan (Pandaan), dan Damar Kedhaton (Gresik) adalah simpul yang bermuncuan di sekitar Kota Pahlawan.

 

Lingkar atau padatan yang cukup intens dalam kegiatan mereka diantaranya adalah Lingkar Barat. Kesatuan ini mewadahi jamaah BangbangWetan yang tinggal di Surabaya Barat. Berikutnya, ada komunitas Warkop Klopo yang mengkristal menjadi Januran. Masih ada komunitas Gardu Pojok, yang berlokasi di Menur. Dari ikatan primordial, lahir Bonek Maiyah dan Sisik Boyo. Di ujung utara Surabaya lahir SWS (Serdadu Wirid Surabaya),sedangkan di selatan tepatnya di kawasan bandara Juanda tumbuh Lingkar Sedati.

 

Rentang waktu 12 tahun, menyediakan waktu cukup panjang bagi BangbangWetan sebagai satu organisme untuk semakin mengenali organ-organ pendukung dan mekanisme yang berlangsung di dalam tubuhnya. Rentang usia itu menyediakan pula ruang baginya untuk tumbuh dan berkembang.

 

Satu alasan yang membuat banyak pegiat secara berkelanjutan nyengkuyung BangbangWetan adalah perasaan eman bila majelis ilmu ini menemui titik hentinya. Alasan berikutnya adalah penolakan mereka bila terjadi penurunan intensitas terhadap daya sebar nilai-nilai Maiyah.

 

Dua belas tahun sudah BangbangWetan menemani semua kalangan dan usia. Menjadi oase bagi simpang siur kepentingan, informasi, dan tangis yang tersimpan rapi atau permasalahan yang nyaris tanpa solusi.

 

Dua belas tahun pula forum yang sedianya rutin diadakan di Balai Pemuda ini beberapa kali harus berpindah rumah. Sekian nama tak terlihat lagi kehadiran ragawinya, berpuluh lainnya datang dan menemukan apa-apa yang tak mereka temukan dimanapun. Semua komponen yang pernah dan akan bersentuhan dengan BangbangWetan sedianya bersatu padu dan uluk rindu atas seteguk ilmu.

 

Catatan yang tersimpan di “folder” ingatan dan harapan tentang event bulanan yang salah satu kredonya adalah “Matahari memancar dari Timur” melekat kuat di setiap mereka yang berkhidmat, rutin menghadiri, intens mengikuti, atau sekedar singgah sekejap lalu pergi. Catatan ini merawat harapan menjadi nyata bahwa telah dan akan lahir “Rachmad-Rachmad” baru. Ia atau mereka yang tidak canggung menerima penugasan. Yang mampu menaggapi mandat sebagai bentuk kehormatan dan kepercayaan. Memiliki respon spontan, gasik, dan rasional memberi kesempatan bagi datangnya usul dan masukan. Mereka yang terbuka bagi arahan dari pendahulu dan kalangan yang lebih sering ditempa pengalaman. Tidak pernah merasa eksklusif mereka dengan nyaman berbaur dengan siapa saja. Darma bakti dan komitmen mereka kontribusikan dalam segala bentuk bagi tetap teguh terselenggaranya forum bulanan tercinta.

 

Tuhan menyeru hum al-muflihun (kaum yang beruntung) sebanyak 12 kali di kitab yang terjaga kemurniannya. Di dua belas tahun usia BangbangWetan, mereka yang beruntung dan ikut menyebarkan keberuntungan berkumpul untuk berbagi syukur satu dengan lainnya.

 

Agung Trilaksono : Penggiat BangbangWetan. Pemegang sabuk hitam di sebuah aliran bela diri. Baginya, bekerja bukan untuk mencari rejeki melainkan untuk mendapat percikan barokah dari rejeki. Bisa dihubungi di Facebook dengan nama akun : Agung Trilaksono

 

Catatan penulis: Sekali lagi mohon maaf bila banyak nama tidak disebut atau ada peristiwa-peristiwa yang kurang tepat presisinya. Semua disebabkan lemahnya daya ingat penulis semata.