Kolom Jamaah

Pengantar Minum Kopi: Low Luck Law Lock

Pengantar Minum Kopi: Low Luck Law Lock
Oleh: Rio NS (Mas Rio)
Terbit di BMJ (Buletin Maiyah Jatim): Bulan OKTOBER 2015

…-hendaklah terdiri atas kaum cendekiawan, atau setidak-tidaknya, memiliki kadar kecendekiawanan yang mencukupi untuk takaran tugasnya sebagai pemimpin bangsa, sebagai masinis sejarah, dan sebagai buruh(nya).

[Emha Ainun Nadjib,”Tidak. Jibril Tidak Pensiun” ]

pengantar minum kopiSekian lama “terpaksa” menghabiskan waktu sebagai karyawan menuntut saya untuk berpikir, berperilaku, bertindak bahkan menempatkan rasa sebagai orang yang mesti patuh kepada apa yang disebut sebagai kompetensi. Di awal keterlibatan, saya diikutkan dalam sebuah sesi pelatihan yang dimaksudkan untuk membuka semua indera mengenai apa dan bagaimana serta dimana ruang lingkup gerak saya.

Di perjalanannya kemudian, pelatihan-pelatihan, sesi penyegaran dan tentu saja uji kepantasan harus saya ikuti. Kemampauan pencapaian saya atas setiap batasan dan indikator kerja itu sendiri wajib saya lampaui. Kesemuanya memilki tujuan yang sederhana saja: agar saya dianggap layak oleh atasan dan institusi kerja untuk tetap menempati posisi dimana saya berada.

Menurut saya, ini wajar belaka. Setidaknya, hal sama kita lihat diterapkan di hampir semua pranata dari yang bersifat filantrophy, soaial, pemerintahan, militer hingga yang menyangkut urusan hobby dan klangenan. Untuk menandai jenjang tertentu, beberapa lembaga memberikan predikat, golongan dan hirarki. Di tempat lain, keahlian atau spesifikasi ini mendapat tanda-tanda penghargaan, dari lencana, brevet, atau sekedar selembar kertas bernama sertifikat. Jangan lupakan juga, di sebagaian lingkup yang lain, kelulusan atas iji kompetensi tertentu mendapat imbalan dalam bentuk materi dan financial yang karenananya banyak dari mereka yang berlomba-lomba untuk bisa memperolehnya.

Ada satu adagium di dunia militer yang sangat saya suka “seorang panglima harus lebih ahli dari prajuritnya”.  Kalimat ini sedikit banyak menjadi salah satu penyemangat saya untuk tetap aktual. Setidaknya, aktaualitas ini banyak diperlukan bagi saya untuk bisa lebih memudahkan fungsi pengarahan yang dituntut untuk bisa saya lakukan terhadap team di bawah saya.

Yang tidak bisa saya hindari adalah dengan semangat ini pula saya sampai pada kenyataan bahwa mereka yang ada di atas saya harus jauh lebih expert di dalam setiap pernik yang berkenaan dengan tugas dan kewajiban dunia saya. Ironisnya lagi, saya mengharapkan pada stadium yang amat sangat agar mereka yang ada di kursi-kursi berwibawa menyangkut negara dan pemerintahan negeri saya memiliki cupu manik yang sama, ialah kompetensi.

Permasalahannya kemudian adalah dikarenakan demokrasi dan republic menjadi pilihan para founding father sebuah entitas bernama Indonesia maka kompetensi tidak diperlukan benar keberadaannya. Cukup dengan dua kata: akseptibilitas dan efektifitas, maka seorang atau sekelompok orang bisa menjadi mereka yng prominen, menngepalai dan mengendalikan satu, dua atau beberapa lembaga.

Sebagai satu bentuk pemikiran, saya tidak bermaksud menggugat demokrasi. Lebih jauh, keawaman saya pun tidak mengandung cukup muatan untuk ikut memperbaiki pilihan demokrasi macam apa dan mekanisme yang dijalankan di dalamnya. Tempat dimana saya ndoprok ini mengantarkan saya pada satu kenyataan masam bahwa saya hanya bisa mengekspresikannya dalam bentuk ungkapan, “hoalah…mbok yo a….”

Berputar-putar di pernyataan tanpa contoh nyata dan anda ingin permisalannya? Yuk, marii..  Seorang raja yang methode penetapannya diambilkan berdasarkan garis herediter, pasti belum pernah menjadi raja sebelum dia diangakat atau dilantik. Artinya, sungguh gegabah bila persayarata untuk menjadi seorang bupati misalnya adalah pengalaman.

Kecuali dia adalah calon incumbent yang beruntung . Namun juga simplifikasi yang menyesatkan rasanya bila kita menjadikan “belum berpengalaman” ini sebagai pembenar bagi kesalahan-kesalahan, gagap tindakan dan sumbang pengucapan yang dilakukan oleh bapak atau ibu bupati. Maksud saya, menjadi keawajiban bagi beliau untuk menyiapkan umbo rampe selengkap-lengkapnya ketika memutuskan untuk mencalonkan diri.

Kesiapan inbi jangan berhenti pada penumpukan capital dan inventaris dukungan dan berpikir bahwa hal lain-lain menyangkut kompetensi “dipikir karo mlaku”.  Geram benar rasanya melihat pak atau ibu bupati gelagapan menjawab pertanyaan wartawan, member keterangan pers, mengumumkan sesuatu,  atau mesti tertunduk sopan berlebihan berhadapan dengan pak atau ibu bupati dari kadipaten lain. Mestinya pak atau ibu itu paham benar bahwa mereka adalah representasi dari kadipetan dengan segenap wilayah, penduduk dan kedaulatan yang melengkapinya. Bukan lagi personal lepas yang tidak mengakar kepada itu semua.

Daftar ini menjadi lebih panjang kalau kita menariknya ke ruang yang lebih luas. Sebut saja bagaimana para wedana, asisten wedana dan para lurah dan demang di bawahnya bertindak atau memutuskan segala sesuatu berkenaan dengan otoritas yang mereka punya. Kegeraman ini semakin memuncak kalau saya mendengar bagaimana kohesitas, keseragaman pikir dan irama yang mereka nyanyikan sungguh tidak beraturan, clometan hingga taraf blaming each other.

Hooop…. Saatnya menuangkan kembali kopi ke lepek  agar panasnya lebih bersahabat dan sruputannya membawa nikmat sambil tak lupa saya persilakan anda untuk…mangga dipun unjuk…

 Oleh: Rio NS (Mas Rio)

–ooo0ooo—

— Lolak-lolok: idiom yang pernah popular di tahun 80-an untuk menggambarkan kondisi dimana  seseorang tidak bisa berpikir, berucap dan bertindak sebagaimana seharusnya dia bisa.