Pertemuan Heterogen Menuju Manah Meneb
REPORTASE BANGBANGWETAN DESEMBER 2017 – MANAH MENEB
Puji syukur di penghujung tahun 2017 ini acara BangbangWetan bisa diselenggarakan kembali di Balai Pemuda, Surabaya. Ruang publik di Kota Surabaya ini menjadi tempat berkumpul para pemuda dari berbagai kota untuk berdiskusi, berkarya, dan berinovasi. Backdrop bertuliskan “Manah Meneb” dengan gambar hati di genggaman tangan telah dipasang sejak sore oleh para pegiat.
Sebelum memulai acara, Mas Amin mempersilahkan band “Big Jamb” untuk menghangatkan suasana malam hari itu. “Big Jamb” membuka hiburan malam itu dengan satu nomor lagu berjudul “Terlatih Patah Hati” sebagai penghantar kemesraan dengan para Jemaah Maiyah yang telah hadir di pelataran Balai Pemuda. Pembacaan sajak bertajuk “Anak Bangsa” yang disajikan oleh Komunitas Bambu Runcing Surabaya menjadikan malam itu semakin mesra. Kegembiraan Maulid masih terasa, lantunan endapan rasa cinta kepada Kanjeng Nabi dihaturkan oleh Jemaah yang dipimpin Cak Lutfi agar momentum Maulid tetap melekat dalam diri masing-masing jemaah.
Setelah khusyuk melantunkan shalawat, Mas Amin memulai forum dengan memandu JM untuk mengelaborasi tema “Manah Meneb”. Dalam sebuah kesempatan, Mbah Nun pernah mengingatkan betapa penting menjaga hati dalam kondisi bahagia. Tidak boleh berputus asa dengan kasih sayang Allah dalam kondisi apapun. Dalam prolog telah diuraikan bahwa segenap pembahasan tentang hati memang tidak segera menemui titik akhir. hampir dalam setiap Maiyahan kita bersama menguliti pengetahuan tentang hati. Dalam pengajian ini pula berkali-kali kita menyelaraskan keseimbangan posisi hati sehingga tetap pada posisi waspada dalam berbagai keadaan. Pertanyaan yang muncul adalah: Hati yang mana? Waspada dari apa? Meneb yang bagaimana?
Jamaah diberikan kesempatan untuk menyampaikan pendapat. Tema BangbangWetan kali ini dianggap tema yang dalam oleh jemaah. Manah adalah krama inggil dari hati. Meneb berarti mengendap. Jika dihubungkan dengan kondisi saat ini, kita perlu berfikir dengan hati. Sebagai contoh, ketika kita memperoleh informasi, informasi tersebut harus di endapkan dulu, di-filter apakah informasi ini baik atau buruk. Kita proses dalam hati sebelum dibagikan kepada orang lain.
bermaiyah untuk mengkreatifi semua ilmu yang ada, mencari kebenaran menurut Allah. Kita perlu mengolah peran dalam menyikapi berbagai informasi yang masuk ke dalam diri kita. Ada kalanya kita berposisi di depan, di tengah, ataupun di belakang. Seperti semboyan pendidikan yang telah melegenda, “Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani.”
Muzammil merespon tema Manah Meneb dengan mengingatkan JM akan bulan Maulid. Beliau mengajak untuk membaca shalawat di akhir acara meskipun jemaah sudah mengawalinya dengan shalawat pula, karena Allah tidak akan menolak doa yang diawali dengan shalawat dan diakhiri dengan shalawat.
Dalam kesempatan ini, Beliau juga menguraikan perbedaan mengapa orang Bangkalan tidak se-meneb orang Sumenep? Hal itu karena orang Bangkalan lebih fulgar, lebih terang-terangan. Orang Sumenep lebih tenang, lebih kuat menyimpan. Contohnya Kyai Zawawi Imran yang asli orang Sumenep. Beliau kalau marah lebih diam dan disimpan, berbeda dengan orang Bangkalan akan langsung terang-terangan.
Makna kata “Su” adalah lebih. Sumenep artinya lebih menjero atau lebih mendalam. Maka dari itu kita kalau berfikir melebar dalam melihat sesuatu dari sisi kanan dan kiri, tidak hanya dari satu sudut pandang. Hal itulah yang dimaknai berfikir jauh ke depan atau jauh ke belakang. Seperti kata Pak Nevi dalam suatu kesempatan Maiyahan, “kita harus bisa menarik busur jauh ke belakang. Bangsa Indonesia ini dihilangkan masa lalunya. Akhirnya, kita tidak lagi berangkat dari belakang.”
Pada sebuah kesempatan, Kyai Muzammil pernah bertemu dengan seseorang yang berpendapat bahwa Maiyah adalah sebuah padatan, sehingga gara gara ikut Maiyah ia menelantarkan keluarga, anak, dan istri. Sontak beliau merespon bahwa dengan bermaiyah kita menyerap cairan ilmu. Dengan bermaiyah kita memperoleh nilai-nilai yang dapat kita aplikasikan di kehidupan sehari-hari. Yang beristri akan lebih menyayangi istrinya, yang mempunyai anak semakin sayang kepada anaknya. Maiyah itu belajar kesejatian, tidak hanya cover-nya tetapi isinya. Belajar berfikir jauh ke belakang, berfikir jauh ke depan. Maka dalam melihat sesuatu seharusnya dilihat dari berbagai sisi sehingga pikiran luas dan lebih meneb.
Kalau ingin hidup tenang harus banyak meneb. Dengan banyaknya sudut pandang yang kita pakai akan menjadikan kita lebih meneb. Filosofi meneb itu seperti paku yang masuk ke dalam. Orang kalau meneb itu tidak mudah goyah hatinya.
Cara supaya bisa meneb adalah tidak bersifat materialistik. Setiap sesuatu itu harus dirasakan dengan hati. Mbah Nun belajar meneb dari Umbu Landu Paranggi yang dalam setiap titik kehidupannya meneb. Hal ini menjadikan pribadi Mbah Nun seperti paku yang tidak bisa digoyahkan. Kyai Muzammil kemudian mengajak jemaah untuk merasakan kehadiran Mbah Nun, “Saat ini Mbah Nun tidak hadir secara fisik bersama kita tetapi coba kalian duduk diam rasakan bahwa Mbah Nun hadir bersama kita. Bertemu guru tidak harus bertemu langsung dan mendengar suaranya. Cukup kita meneb-kan hati untuk tersambung dengan guru kita.”
Dalam salat juga terjadi praktek manah meneb. Kita dilatih untuk focus tanpa bertanya ini imamnya NU atau Muhammadiyah. Jaman sekarang banyak orang padu hanya karena masalah golongan. Kalau ingin meneb tidak usah mempermasalahkan masalah sepele. Hati kita akan terhalang oleh pikiran pikiran yang mengganggu.
Kyai Muzammil kemudian menceritakan pertemuan beliau dengan Umbu. Umbu menceritakan banyak hal tentang Mbah Nun. Pernah suatu Umbu mengajak Mbah Nun ngopi tetapi Mbah Nun tidak dihiraukan, tidak diajak berbicara sama sekali oleh Umbu. Ketika Em (Sebutan Umbu kepada Cak Nun) umur 45 tahun, umbu sempat menyuruh Em nyalon presiden tetapi tidak jadi, karena Em adalah satu-satunya di Indonesia. Pada suatu ketika Umbu berencana akan mempertemukan Em dg Gus Pal. Karena Gus Pal adalah orang yang mengetahui seluk beluk tentang Indonesia. Tetapi sayangnya Gus Pal meninggal pada November kemarin dan belum bisa mewujudkan pertemuan itu. Umbu pernah berputus asa dengan Indonesia, tetapi Cak Nun menyampaikan ada anak pemuda tiap bulan berkumpul di Surabaya, Jakarta, Jogja, Semarang, Jombang dan juga kota-kota lain yang siap untuk mengubah Indonesia.
Dalam kitab Al-Hikam disebutkan bahwa tidak ada yang bermanfaat kepada hati melebihi uzlah (nyepi) yang dengan nyepi itu orang tersebut memasuki medan berfikir, yaitu dunia rasa. Mbah Nun dengan Maiyah menempuh uzlah yang lain, tapa ngrame, meskipun berada di tengah kota Surabaya, meskipun berada ditengah tengah tarikan politik yang ada, Beliau tetap tidak terbawa oleh arus. Dalam nasehat yang lain Ibnu Atho’ilah pernah berkata, “Pendamlah dirimu dalam bumi yang gersang. Sesuatu yang tumbuh karena tidak dipendam tidak akan kuat dan tidak akan berbuah banyak.”
Pak Suko menanggapi dengan kaca mata yang berbeda. Sebetulnya setiap orang mempunyai mekanisme Alam pada titik tertentu. Mengendapkan diri itu sangat tidak gampang. dunia yang sedang terbuka itu perlu hati-hati. Banyak orang sibuk dg dirinya masing masing. Di Taichung, Taiwan ketika anak-anak muda berkumpul gadget tidak di gunakan. Bertolak belakang dengan kondisi pemuda Indonesia, banyak yang bermain samrtphone ketika khotib berkhotbah.
Ilmu komunikasi memiliki 3 level : komunikasi interpersonal, komunikasi intrapersonal, dan komunikasi massa. Dasar yang utama adalah komunikasi interpersonal yaitu dengan diri sendiri. Komunikasi interpersonal menuntut oengendapan dengan diri sendiri. Proses pengendapan itu tidak gampang karena saat ini banyak orang kehilangan kesadarannya gara-gara teknologi.
Kyai Muzammil merepson pertanyaan jemaah. Meneb itu bukan tujuan. Meneb adalah proses pribadi sebagai jalan muntuk menuju kepada Allah karena segala tujuan tak lain adalah Allah. “Meneb itu bukan sebuah tujuan, tapi sebuah proses. Anda harus punya pondasi yang kuat spiritualnya. Orang jawa punya filosofi sugih tanpa bondo, Ngluruk tanpo bolo, menang tanpo ngasorake. Itu merupakan filosofi menep. Saat ini parameter sugih selalu identik dengan harta, menang identik dengan pesta pola, ngluruk ya harus bawa pasukan. ”
Dr. Kris dari Malang turut merespon jemaah. “Manusia adalah makhluk paling akhir dalam siklus evolusi biologi. Saat kita duduk diam dan melamun itu sebenarnya sebuah pekerjaan. Naluri dasar kita diciptakan untuk bergerak. Hidup itu laksana naik sepeda, jika anda tidak bergerak akan terjatuh. Otak ada 3 lapisan: naluri, nurani, dan ambisi. Ketika kita lapar itu dipengaruhi 2 faktor yaitu need dan want. Kita harus mampu membedakan mana yang keinginan dan mana yang kebutuhan. Pada titik itu hidup harus berada pada naluri, nurani dan ambisi yang seimbang.”
Mas acang menambahkan, meneb bukan berhenti. Contohnya kisah nabi yusuf yang di dorong saudaranya ke sumur. Jika kita cermati secara mendalam, peristiwa itu pasti ada tujuannya. “Arus informasi 90% beredar di dunia maya, 10 tahun ke depan akan ada perubahan besar. Kita perlu waspada menghadapi perkembangan teknologi. Salah satu yang menghambat kreativitas manusia adalah rasa takut. Yang dilakukan Mbah Nun sampai saat ini adalah nggedekno hati kita, agar kita tidak kehilangan harapan dan tetap optimis dalam menghadapi perubahan zaman.”
Sistem organis manusia jika ada tekanan dari luar akan lebih tangguh, maka dari itu ada syariat puasa dalam islam. Puasa menjadikan sistem pencernaan kita seimbang. Masalah kita saat ini sistem pencernaan informasi tidak dilatih untuk puasa sehingga kita mudah untuk memposting atau menyebarkan berita tanpa adanya tabayyun.
Pak Suko memberikan pesan penutup. Kampus itu ruang pertemuan bukan ruang perjumpaan. Namun, di BangbangWetan ini jemaah Maiyah dari latar belakang yang heterogen bertemu dalam ruang yang sama. Media sosial merupakan sebuah pilihan setiap individu. Media itu bagaikan pisau bermata dua, satu sisi bisa ngracik sayur dengan baik dan satu sisi bisa mematikan orang dengan tajamnya. Malam ini kita berkumpul kuncinya adalah srawung untuk menambah silaturrahmi dengan makhluk Allah. Maka dari itu jangan terlalu sibuk dengan alat komunikasi. Ojo kagetan, ojo gumunan, ojo dumeh.
TEAM REPORTASE ISIM BANGBANGWETAN