Kolom Jamaah

Pohon Pancasila


Oleh : Ahmad Kafil Mawaidz

Hampir 3 bulan berlalu hingga akhirnya saya beranikan diri memulai menulis tulisan ini. tulisan ini terinspirasi oleh kejaran pertanyaan manusia multidimensional, Emha Ainun Nadjib yang dilontarkan pada jamaah sinau bareng pada 19 agustus 2017 lalu di halaman gedung DPRD. Marja’  Maiyah tersebut memberikan beberapa pertanyaan kepada jamaah yang hadir pada waktu itu tentang Pancasila. Yang pertama adalah harapan untuk Indonesia di masa depan; kedua tentang makna Pancasila dari berbagai sudut pandang bahasa; dan yang terakhir adalah asal usul Pancasila sehingga menjadi ideologi bagi bangsa ini. Di antara pertanyaan diatas, Mbah Nun sempat menyinggung, kalau Pancasila diibaratkan pohon, maka kita harus mengidentifikasinya secara jelas mana akarnya, mana batangnya, mana buahnya, agar kita mengerti kedudukan masing-masing sila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dari situ muncullah judul yang ingin saya tulis, yakni pohon pancasila.

Kenapa pohon? Karena pohon merupakan salah satu landasan berkehidupan yang pernah diungkapkan Mbah Nun dalam beberapa forum Maiyahan. Landasan ini tak lepas dari isi Al-Qur’an surat Ibrahim ayat ke dua puluh empat. “Kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya menjulang ke langit”.

Kembali ke topik utama, saya mencoba menguraikan apa yang ada dalam benak saya selama ini. bukan apa-apa, saya hanya ingin menghilangkan beban untuk menulis artikel yang tidak punya kepantasan untuk dipublikasikan ini.  yang pertama marilah kita identifikasikan dulu bagian-bagian dari pohon. Ada banyak buku biologi yang anda bisa baca mengenai bagian-bagian pohon, untuk memudahkan alur maka kita ambil lima bagian dari struktur pohon yang ada. Kelima bagian tersebut yaitu biji, akar, batang, daun, dan buah.

Biji pohon saya ibaratkan sebagai sila pertama yang isinya Ketuhanan yang Maha Esa. Kenapa saya ibaratkan biji sebagai sila pertama? Karena biji merupakan cikal bakal masyarakat madani, di mana mereka mempercayai adanya tuhan sebagai penguasa tunggal kehidupan mereka, tempat bergantung, berdoa, dan memohon harapan. Ini menyangkut wilayah rohani keyakinan masing-masing warga negara yang dipilih sendiri oleh masing-masing pribadi sesuai dengan kedalaman ilmu dan kepercayaannya. Esensialnya akan berdampak pada sila-sila selanjutnya. Sebuah biji akan meniadakan dirinya untuk ikhlas menjadi pohon yang bisa dinikmati buahnya oleh banyak orang. Begitu pula dengan sila pertama seharusnya sudah melebur ke dalam jiwa sebagi bekal yang kokoh yang outputnya adalah kemanfaatan perilaku sosial bagi sesamanya tanpa memandang suku, ras, dan agamanya.

Selanjutnya, akar pohon saya menifestasikan sebagai lambang sila kedua, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Manusia yang adil pasti beradab dan manusia yang beradab akan selalu mengusahakan keadilan. Adil berarti menempatkan segala sesuatu pada koordinat yang tepat, dengan kata lain tak boleh berat sebelah, harus seimbang. Seseorang tidak akan pernah mencapai keseimbangan tanpa pemantapan tauhid dari dalam dirinya yang tercermin pada sila pertama. Sikap adil dan beradab merupakan landasan dasar kemanusiaan yang harus terus menerus diusahakan oleh semua warga negara. Kalau kita sudah kehilangan keadilan dan keberadaban akibatnya adalah hilang pula rasa kemanusiaan.  Akibat selanjutnya bagibsetiap pribadi akan gampang melakukan perusakan yang akan berimplikasi pada kehancuran-kehancuran pemberadaban yang terus-menerus berlangsung. Bagai pohon yang kehilangan akar, bangsa ini akan mudah dipecah belah dari sudut manapun. Puncaknya, nama Indonsia akan jadi sejarah beserta cerita masa lampau.

Lanjut menuju sila selanjutnya, yaitu sila ketiga diibaratkan sebagai batang yang kokoh. Sebuah batang akan melambangkan kekuatan dari sebuah pohon. Selama ini kekuatan utama indonesia bukan keragaman agama, ras, budaya, suku, dan ormasnya melainkan rasa persatuan dak kesatuan untuk memiliki dan merawat Indonesia secara kolektif. “Persatuan Indonesia” Begitulah isi dari sila ketiga Pancasila. Dengan komitmen bersatu tanpa memandang latar belakang personality maupun identity demi sebuah negara yang menjadi wadah kehidupan mereka yang bernama Indonesia.

Sila keempat merupakan manifestasi nyata dari kehidupan bersosial bermasyarakat, berbangsa, bernegara. Rakyat memanagemen kebersamaan dalam hidup di dunia agar satu sama lain saling mendapatkan kenyamanan, keselamatan, kedamaian dalam menjalani hidup. Hal ini terintegrasi dalam peraturan undang-undang, AD – ART, Kepres, Kekepdes, atau apapun itu untuk saling menjunjung tinggi nilai kemanusian yang diwariskan generasi sebelum mereka. Sila yang berbunyi Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan, Perwakilan menegaskan kembali fungsi manusia sebagai khalifah atau pemimpin yang diutus oleh tuhan untuk mengolah bumi dengan mengedepankan hikmah serta kebijaksanaan. Tidak hanya itu sila tersebut juga mengajarkan sebuah kerjasama yang menyangkut keputusan bersama dengan saling bermusyawarah agar terjadi kerelaan masing-masing, melebur egoisme demi terwujudnya kemashlahatan bersama. Sila keempat ini mencerminkan daun-daun pada pohon yang meneduhkan, mengayomi, menjamin ketentraman, mengatur irama angin, mengorganisir klorofil dari matahari agar poohon tetap bertumbuh dengan subur.

Pada bagian terakhir dari sebuah pohon adalah buah, dan ini saya umpamakan sebagai sila kelima. Sebagai pengerucut atau cita-cita keempat sila sebelumnya Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia adalah sebuah keniscayaan yang harus dicapai bersama. Tujuannya agar tak terjadi kesenjangan, gejolak, ketimpangan sosial yang akan menjadi sumber segala kerusakan, karena semuanya merasa tertindas, semuanya ingin menang, tak ada kerelaan, tak ada pemahaman yang luas, terjadinya kesempitan berpikir, kekerdilan mental, kebobrokan budaya. Sebuah keadilan sosial adalah cara kita menentukan koordinat posisi kita sebagai manusia bermandatkan khalifah bumi supaya terjadi keselamatan akhlak bersama-sama dihadapan tuhan pada waktunya nanti.

Sila kelima adalah tujuan utama dari Pancasila. Begitu pula dalam idiom pohon, tujuan akhirnya adalah buah. Meskipun nantinya buah akan bertansformasi kembali menjadi biji dan pohon berdasarkan siklus daur kehidupan.

 

Ahmad Kafil Mawaidz adalah jamaah maiyah yang menekuni dunia kepenulisan , bisa disapa di twitter : @kafil_mawaidz