Reportase BangbangWetan Maret 2015
JIHAD, SYAHIDKU
REPORTASE BANGBANGWETAN MARET 2015
Sebagaimana Padhangmbulan, Majelis Masarakat Maiyah Bangbangwetan kali ini juga mengambil tema yang sama, yakni tentang Jihad dan Syahid. Ditemani gerimis, jamaah satu persatu berdatangan dan merapat di bawah tenda pelataran Balai Pemuda. Lantunan Qur’an dan rangkaian pembacaan sholawat membuka majelis seperti biasanya.
Amin, sebagai moderator menjabarkan prolog tentang Jihad dan Syahid, mengkomparasikan keduanya dalam isu Internasional yang sedang berkembang.
Banyaknya organisasi Islam yang mengatasnamakan Jihad di Jalan Allah dengan jalan yang radikal, membunuh sesama muslim sehingga menunjukkan bahwa Islam bukan Ar-rahman dan Ar-rahim. Amin menjelaskan bahwa Jihad adalah aktifitas yang bersungguh-sungguh, namun diterjemahkan secara berbeda oleh saudara-saudara muslim yang ekstrimis seperti ISIS dan FPI. Imam, perwakilan dari PMII Sepuluh Nopember menjelaskan bahwa Jihad selayaknya meniru apa yang sudah diajarkan oleh Sayyidina Nabi Muhammad dan para Sahabatnya sampai pada para ulama.

Untuk menghangatkan suasana diskusi, Amin kemudian membuat simulasi dialog dengan membagi jamaah menjadi dua kelompok, yakni Kelompok yang (seolah-olah) pro-Jihad ISIS dan Kelompok yang kontra Jihad ISIS, masing-masing diberi kebebasan menggunakan sudut pandang dan pendapatnya. Seorang jamaah yang pro Jihad ekstrimis melontarkan pendapatnya bahwa agama yang diyakini oleh ISIS adalah benar dan sudah sesuai dengan sunnah Nabi Muhammad, perkara ada yang berseberangan dengan pandangan ISIS maka butuh untuk diluruskan dan diberantas karena tidak sesuai dengan ajaran Nabi Muhammad.
Jamaah lain yang menggunakan sudut pandang ISIS memberikan pendapatnya bahwa banyak faktor yang menyebabkan kita harus lebih agresif dan aktif melawan orang-orang yang non-Muslim yang menindas orang-orang Muslim. Salah satunya karena Islam banyak dijajah setelah runtuhnya kejayaan Islam sehingga perlu direbut kembali. Kemudian jamaah lainnya lagi yang juga melihat sudut pandang ISIS, dia mengatakan bahwa mungkin saja ISIS bisanya membunuh sebagai wujud ketegasan dan kesungguhan.
Jika jihad dengan jalan halus pun tidak bisa, maka terdesak pilihannya dengan jalan kekerasan dan membunuh karena di tempat lain pun seperti Palestina orang Islam ditindas dan dibunuh. Amiko, salah satu jamaah perempuan yang kontra terhadap jalan jihad ISIS memberikan pendapatnya bahwa Jihad kekerasan telah mejelekkan citra Islam. Sementara kita bisa melakukan jihad dengan cara memulai dari diri sendiri, misalnya Jihad seorang dokter yang sedang bersungguh-sungguh dengan menyelamatkan pasiennya. Jika dengan hal tersebut bisa kita lakukan, maka kita bisa memberikan pengertian bahwa Islam itu indah.
Kecuali jika Negara non-muslim melakukan serangan terhadap kita, maka boleh saja kita melakukan perang. Tidak bisa membunuh dengan alasan yang tidak kuat, karena tindakan membunuh adalah tindakan yang menghilangkan nyawa manusia, sementara nyawa manusia itu ciptaan Allah. Danang, memberikan pendapatnya terlepas dari pro-kontra tehadap jalan ISIS. Jihad itu adalah usaha yang mengeluarkan segala kekuatan, kesungguhan, kesanggupan, dan keyakinan yang kita yakini benar. Benar kita harus tegas, tetapi jika tegas sampai menghilangkan nyawa manusia itu bukan tegas melainkan pembunuhan.
Kemudian Syafiq, juga memberikan tanggapannya bahwa tidak selayaknya sesama muslim saling perang dan harus berhati-hati akan adanya indikasi adu domba, ketakutannya bahwa fenomena ISIS ini terdapat settingan global. Faisol, mengkhawatirkan bahwa kita harus bisa memilah informasi media dan tidak terlalu terlibat arus media yang sudah dikuasai kepentingan. Dia juga menaggapi tentang Jihad ISIS, seharusnya cara ISIS berperang dan memperlakukan tawanan harus meniru Rasulullah diantaranya yakni wanita, anak-anak, dan orang tua tidak boleh dibunuh.
Mas Zainul, vokalis Kiakanjeng yang turut hadir tidak sekedar menyumbangkan suara emas melalui sholawatan, juga diberi kesempatan menanggapi pendapat para jamaah. “Kalau tadi sudah banyak poin dari jamaah yang pro maupun kontra, maka tinggal kita semua yang menaruh poin-poin mana yang harus diambil dan poin mana yang terpenting.
Setelah banyak mendengar komentar teman-teman, saya malah teringat album Cak Nun yang judulnya Isyarat Zaman, disitu terdapat hadist Qudsi. Bada al-islamu ghariban wa saya’udhu ghariban, awalnya Islam itu gharib (terasing,-red) maka pada suatu saat nanti jika ditentukan oleh Allah akan gharib pula. Saya tidak tahu apakah sekarang sudah saatnya wa saya’udhu ghariban, saya tidak berani ngonceki terlalu dalam, hanya saya mengambil dari poinnya. Kalau Jihad itu adalah kesungguhan, makna bersungguh-sungguh itu kan banyak sekali. Kalau sungguh-sungguh dalam membela agama Allah, lho, yang dibela ini Maha Besar, kita itu siapa bukankah Allah yang membela kita.
Al-Qur’an saja yang menjadi firman Allah dijaga sendiri oleh Allah. Ada satu ayat yang saya jadikan pedoman, yaa ayyuhal laziina amanu quu anfusakum wa ahlikum naro. Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka. Jadi saya bersungguh-sungguh saja menjalankan makna dari ayat tersebut. Saya bersungguh-sungguh dalam menghidupi keluarga sebagai wujud jihad saya. Rasulullah pernah bilang kepada umatnya setelah perang Badar bahwa Jihad perang Badar ini adalah jihad yang kecil dan ada Jihad yang lebih besar, yakni Jihadun bin nafs, perang melawan diri kita sendiri,” jelas Mas Zainul yang dilanjut dengan persembahan sholawat Tholama ’Asyku Gharami.
Imam menambahkan kesimpulan setelah jalannya diskusi diatas, bahwa karakter seperti inilah yang menjadi ciri khas orang-orang Indonesia, yang mengutamakan cinta damai, welas asih, dan gotong-royong. Kemudian tadi ada teman jamaah yang mengatakan bahwa adanya skenario dibalik fenomena ISIS dan pergolakan di Timur Tengah, itu bisa saja terjadi, mungkin adanya Sumber Daya yang ingin dimanfaatkan sehingga dimunculkan ISIS.
***
Manusia, Abdullah , Khalifatullah
Memasuki sesi diskusi kedua, Sabrang, Kyai Muzamil, Cak Rahmad, dan Taufiq ‘Monyong’ bergabung ke panggung. Giliran pertama, Yai Muzamil memberikan mukaddimah. “Saya kira teman-teman maiyah disini kalau diilustrasikan sebuah rumah, mungkin teman-teman disini ada yang sudah punya ‘rumah’, ada yang baru punya ‘rencana’, ada juga yang mungkin sudah punya ‘pondasi’, dan seterusnya. Jangan pekok, ini maksudnya adalah ilustrasi.
“Islam pekok kalau dia sering melakukan tindak kekerasan, karena mereka tidak mempunyai ilustrasi. Jadi selalu menafsiri sebuah pernyataan secara tekstualis, padahal di alam raya ini memiliki banyak bahasa dan simbol.”
– Kyai Muzammil
Sementara berada di maiyah ini kita tidak boleh hanya menfasirkan segala macam informasi secara tekstual. Jadi jangan menilai bahwa apa yang yang ditampilkan dan diucapkan itu merupakan hakikinya. Kaum-kaum fundamentalis, Islam golongan keras, kelompok-kelompok pemerkosa pemikiran, rata-rata mereka tekstualis. Jadi kaku dalam menerjemahkan hadist-hadist. Seperti jenggot, mereka menafsirkan jenggot itu sebagai fisik jenggot. Karena Nabi Muhammad itu mempunyai jenggot maka kita mestinya memelihara jenggot. Sementara hadist jenggot itu bisa jadi bukan tekstualis, tapi merupakan simbol. Bagi orang yang memahami itu sebagai teks, maka laki-laki mesti memiliki jenggot supaya mendapatkan pahala karena sunnah nabi. Padahal dalam setiap hadist bisa memiliki banyak makna dalam satu kata.”
“Kalau saya kembalikan pada ilustrasi tadi, disini mungkin banyak yang sudah memiliki rumah lengkap, ada yang baru memiliki rumah namun belum memiliki pintu, ada yang memiliki rumah tapi belum ada keramiknya, dan seterusnya. Maksud saya ketika kita mendapatkan informasi apa saja kita mampu menempatkan informasi tersebut dimana. Sebelum kita membahas Jihad itu apa, kita harus memiliki peta rumah dulu.
Kalau Islam, maka kita anggap Islam adalah sebuah rumah. Karena pemahaman bisa benar kalau tempatnya benar, jadi jihad ini mau ditempatkan dimana. Contohnya rukun Islam, rukun Islam ada lima. Rukun Islam kalau diilustrasikan sebagai rumah, syahadat menjadi pondasinya, sholat sebagai tiangnya, temboknya puasa, zakat sebagai pintu dan rumahnya, sementara haji sebagai atapnya. Itu hanya ilustrasinya rukun Islam dan bisa dirubah tergantung persepsi masing-masing.
Sementara Jihad, tidak bisa hanya diidientikkan dengan perang secara fisik. Meskipun ada literatur yang mengatakan bahwa Jihad adalah perang dengan saling membunuh. Yang perlu kita lakukan kita harus tahu petanya dulu, misalnya sholat. Kita harus mencari petanya sholat supaya ketemu tujuannya, jihad seperti itu juga.”
“Jihad, secara bahasa dari kata Jahadah ya jahadu, jahdan, atau juhdan. Artinya juhdan itu kemampuan (at-thoqoh) atau jahdun yang artinya kesulitan (masaqqoh). Diambil dari kata ini, Jihad itu jahadan yujahidu mujahadata’an, melakukan sesuatu dengan mengerahkan kemampuan maksimal karena sesuatu ini mengandung resiko (jahdun).
Jadi melakukan sesuatu dengan mengorbankan sesuatu yang lain untuk mendapatkan kemuliaan. Sampean-sampean datang kesini juga termasuk Jihad, karena pada jam segini biasanya lebih enak tidur tapi sampean kesini untuk memperoleh sesuatu yang mempunyai nilai lebih ukhrowi yang bukan hanya duniawi. Maka dalam Islam Jihad itu tidak dengan perang melawan non-muslim, justru Jihad tertinggi adalah Jihad melawan hawa nafsu. Hawa nafsu akan mengajak kita untuk turun derajatnya, menjadi level hewan atau semacamnya.
Untuk mempertahankan derajat kita menjadi manusia saja itu butuh pengorbanan dan perjuangan, apalagi kalau ingin menaikkan derajat, akan membutuhkan perjuangan yang lebih berat. Hal ini juga termasuk Jihad. Setiap hari kita sebagai manusia bisa jadi melakukan Jihad. Kalau kata Cak Nun, jadilah manusia dulu, kalau bisa naiklah menjadi Abdullah (hamba Allah) kemudian naik lagi menjadi khalifatullah. Melihat kualitas tersebut tidak bisa dilihat dari penampilan. Kembali lagi kepada Jihad, Jihad yang paling berat adalah Jihad melawan nafsu. Adalagi jihad melawan syetan dan jihad melawan orang kafir.”
‘Diijinkan’ Jihad, Bukan Diperintahkan
“Syetan itu mengalir dalam darah manusia, min syaril waswasil khonnas, mereka membisikkan. Jihad juga berarti melawan orang-orang yang dholim atau orang-orang kafir. Kafir ini artinya tertutup. Orang kafir adalah orang yang tertutup pikiran dan hatinya sehingga merampas hak hidup orang lain, merampas harta orang lain, merampas tanah air seperti para Belanda dulu. Di Surabaya ini terdapat banyak saksi perlawanan terhadap Belanda. KH. Hasyim Asy’ari menulis Resolusi Jihad pada Sepuluh Nopember agar para santri mengerahkan seluruh kemampuannya melawan Belanda. Kemudian manusia yang merampas hak agama, karena perkara agama dan keyakinan ini hak yang subtansial dalam hidup manusia.
Dalam QS. Al Hajj : 39 Udzinu lilladziina yuqotaluna bi annahum dholimu wa innallaha ‘ala nashrihim laqodiir, diijinkan kepada orang-orang yang diperangi karena mereka telah didholimi dan sesungguhnya Allah benar-benar punya kuasa untuk menolong orang-orang yang didholimi itu. Seruan jihad pada Ayat ini adalah ‘diijinkan’, bukan ‘diperintahkan’, kedua kata tersebut sangat berbeda maknanya. ‘Diijinkan’ mengandung makna bahwa ada tuntutan, yang sifatnya mendesak, dalam konteks saat itu umat Islam didzolimi terus-menerus, difitnah, disiksa kemudian turunlah ayat tersebut. Nah, semua ayat tentang Perang harus dipahami melalui pintu ini. Perang saat itu bukan dalam rangka hujumi (menyerang, ofensif,-red) tapi dhifa’i (mempertahankan diri, defensif,-red).”
Mas Zainul menjeda diskusi dengan lagu Rhoma Irama ‘Kata Pujangga’ yang dilanjut dengan satu nomor sholawat. Selanjutnya Taufiq ‘Monyong’, seorang seniman Surabaya yang berpenampilan ‘nyentrik’ memberi pemaparannya mengenai Jihad. “Apa yang saya sampaikan hanya sekedar apa yang saya tahu. Saya disini sebagai seorang seniman. Saya lihat disini banyak teman-teman intelektual muda, seniman, para santri, para pemikir, praktisi dan bermacam-macam background. Kalau kita bicara tentang Jihad, harus tahu dulu apa yang mendasar bagi kita. Sama dengan ketika kita melihat dan mendefinisikan hidup kita itu seperti apa.
Sebagai seniman tentu memiliki pilihan dan saya tidak bisa memaksakan orang lain untuk sama dengan pilihan saya. Estetika, setiap orang memiliki cara pandang yang berbeda, orang melihat keindahan itu bisa tumbuhan, lukisan, bangunan, atau bisa dikatakan Kyai Muzamil tadi adalah rumah itu sendiri, dan estetika bisa juga catatan sastra, syair-syair, bisa juga musik. Tuhan menciptakan makhluknya dengan dimensi yang berbeda-beda, proses penciptaannya pun berbeda. Mungkin orang lain menganggap bahwa apa yang saya lakukan ini berasal dari komunitas Bromocorah. Saya lahir di Lumajang, di sebuah dusun yang jauh dari perkotaan, dan setiap saat itu selalu diagitasi dengan kegiatan mengaji, tapi saya move on.
Setiap saat harus diajari qiro’ah, pagi pergi ke sekolah, ngarit-angon wedhus, sore ekstrakurikuler dan maghrib kembali ke pondok, begitu terus rutinitas saya. Suatu saat ada sebuah kesadaran, kalau saya masuk dalam ruang mainstream itu, saya tidak akan melihat dunia yang lain. Saya sholawatan, ikut nge-band juga dan sering juga mengikuti lomba joget untuk memenuhi kebutuhan estetika saya. Saya mengikuti Cak Nun mulai tahun 1994 ketika masa Orde Baru, saya juga coba mengaji di tempat lain sampai beberapa kali tertangkap bersama teman-teman pergerakan saya waktu itu. Saya sekedar mencoba memuaskan pemikiran saya untuk mencari tentang apa itu estetika. Saya memikirkan bagaimana cara anak muda sekarang berfikir itu seperti apa dan saya akan coba merombaknya.
Saya tidak belajar dengan orang tua, saya belajar dengan orang tua hanya ingin menambah literasi, kemampuan-kemampuan referensi saya, karena peradaban masa sekarang hanya membaca saja bukan mencipta. Tentang Jihad ini kita harus memahami pandangan-pandangan adanya konspirasi, ada motivasi-motivasi yang lain dibalik itu semua. Keluarnya sebuah pikiran dalam berkarya adalah Jihad, jika karya itu didasari dari pemikiran yang murni. Tidak mungkin seni itu berasal dari pemikiran yang jorok, kalaupun ada maka itu termasuk vandal, pengrusak pikiran, pembusukan terhadap ideologi dirinya sendiri. Kita seniman sama-sama menginspirasi, sama-sama menciptakan karya dalam dunia seni. Kesenian harus menjadi jawaban terakhir dari persoalan-persoalan yang tidak dibukukan.
Kesenian dan kebudayaan adalah jalan yang sangat lebar dan luas untuk membuka kita agar tidak hanya melihat Jihad dalam pandangan banyak orang sebagai medan konspirasi. Fenomena ISIS ini bisa menghentikan generasi-generasi yang cerdas, banyak generasi cerdas diluar sana yang tidak mempunyai forum untuk aktualisasi sehingga mereka terjerumus masuk dalam jaringan ISIS, jaringan celono cingkrang yang menganggap bahwa mereka keren. Kita harus bertarung sendiri dalam melakukan sebuah jihad pemikiran kita untuk mengaktualisasikan pemikiran cerdik kita sehingga menghasilkan sebuah karya. Sehingga karya tersebut menjadi inspirasi orang lain untuk merubah cara hidup dan peradaban mendatang”, Pungkas Taufik.
Kesulitan, Sahabat Yang Harus Dipahami
Selanjutnya Sabrang memulai dengan bertanya kepada Kyai Muzamil, “Berjihad itu urusan melawannya atau berjuangnya?”
“Berjuang mas.” Kyai Muzamil menjawab Sabrang.
“Berarti berjuang melawan hawa nafsu ini urusan berjuang. Ini kita berjuang untuk menghadapi kesulitan, jadi nomor satu yang harus kita sayang adalah ketika mendapat kesulitan. Karena adanya kesulitan akhirnya kita punya kesempatan untuk berjihad. Berarti ada kewajiban untuk mendo’akan kesulitan.” Sabrang memberikan penjelasan awalnya dengan bercanda dan menarik para jamaah untuk lebih bersantai dalam diskusi Jihad malam ini.
“Sikap kita terhadap kesulitan berarti bukan dimusuhi, tetapi dijadikan sahabat, partner, bahwa dengan kesulitan kita punya kesempatan melakukan Jihad.
Kesulitan bukanlah musuh yang harus dilawan, tetapi sahabat yang harus dipahami. Sementara kalau berjuang itu asumsinya harus melakukan sesuatu, apa benar? Misalnya, kalau ada sebuah kecelakaan dan korbannya sedang diangkut dengan Ambulance, oh, saya berjihad agar dia bisa segera mendapat Rumah Sakit. Sebagai sesama pengguna jalan, cara saya berjihad, saya minggir memberi jalan dan diam saja. Berarti diam saja dan tidak berbuat sesuatu apakah juga termasuk jihad?,” tanya Sabrang lagi.
“Betul, betul…berarti itu termasuk kontekstual,” Kyai Muzamil menjawab pertanyaan Sabrang dengan sambutan tawa jama’ah. Diskusi akhirnya menjadi suasana yang cair dan aktif.
Sabrang melanjutkan, “Saya ingin memilah asumsi bahwa Jihad itu harus berbuat sesuatu. Kadang-kadang berbuat sesuatu dengan tidak berbuat apapun itu juga termasuk berbuat sesuatu. Jadi bisa dibolak balik. Untuk mengetahui konsep yang tepat dalam berjihad, berarti kita harus tahu betul titik permasalahannya seperti apa yang mau kita jihadkan. Sehingga sikap kita dalam berjihadpun jelas.
Caranya dengan menunggu untuk tidak melakukan apa-apa atau berbuat sekuat-kuatnya melakukan sesuatu. Karena kita sudah mempunyai hipotesa bahwa kedua-duanya juga termasuk Jihad. Kemudian pertanyaan selanjutnya adalah kita harus mengetahui goal kita kemana, kita berjuang melawan apa. Kalau kita tidak memiliki bayangan apa-apa atau target apa-apa terus kita ngomong Jihad, berarti ora cetho kuwi, ora usah jihad-jihadan. Ternyata Jihad itu tidak sederhana ketika dirumuskannya.
Pertama, Jihad melawan hawa nafsu. Aku kok ya gak setuju, terus kalau dilawan nanti hilang beneran hawa nafsumu sehingga nanti kamu tidak punya keinginan apa-apa. Itupun kamu harus berjihad juga untuk melawan tidak ingin apa-apamu tadi, gak selesai-selesai jihadnya, bolak-balik gitu terus. Permasalahannya adalah berjuangnya, jadi bagaimana kita bisa menunggangi dan mengontrol hawa nafsu. Kemudian kedua yang disampaikan Kyai Muzamil tadi, berjihad melawan syetan, penjelasan ini saya skip dulu karena kita harus tahu konstelasi syetan itu bagaimana, jin bagaimana, iblis bagaimana, karena semuanya merupakan spesies yang berbeda-beda. Setahu saya syetan itu selalu digandengkan dengan jin dan manusia, tidak pernah berdiri sendiri. Sekarang permasalahannya melawan syetan atau menaklukkan syetan.
Kemudian yang ketiga tadi, berjuang melawan orang kafir, berjuang melawan yang ketidakadilan manusia, berjuang melawan yang kebodohan manusia, dan segala macam konsepnya. Apakah ketiganya itu seperti sebuah klasifikasi kelas, kelas satu, kelas dua dan kelas tiga? Jadi kamu harus bisa melawan dirimu sendiri, baru melawan syetan dan melawan manusia. Ataukah semuanya berkesinambung ketika kamu mengalahkan dirimu sendiri maka kamu tahu posisi syetan dimana sehingga tahu bersikap dengan menghadapi manusia itu seperti apa?”
Pertanyaan tersebut ditanyakan Sabrang kepada Yai Muzammil.
“Bisa kedua-duanya…”
Kyai Muzammil menjawab dengan gurauan serius dan disambut tawa jamaah.
“Berarti alangkah baiknya jika masing-masing disini mempunyai teori itu dalam hidupnya dan mempelajari mana yang sedang dilakukan. Mungkin Jihad tidak perlu besar, bisa jadi dengan memperhatikan yang ada disekeliling, kita bisa tahu posisi kita dimana dan menemukan koordinat antara nafsu, syetan dan manusia itu dimana. Sehingga kita jelas Jihadnya itu seperti apa.
Yang ingin saya pecah disini adalah Jihad tentang berjuang, tidak sinonim dengan harus melakukan sesuatu, tergantung interpretasi dari sebuah keadaan. Kemungkinan keadaan yang banyak mungkin bisa menghasilkan bentuk Jihad yang bermcam-macam. Pada Bangbangwetan lalu saya bercerita tentang konstruksi kebenaran, tentang gambar, tentang pixel dan segala macamnya. Sama halnya dengan itu, bahwa Jihad masing-masing manusia akan berbeda. Kalau kita meminjam dari ilustrasi dari Kyai Muzammil tadi, ketika kita tidak tahu kita sedang memasang pintu atau jendela maka didalamnya nanti akan selip. Jadi betapa pentingnya sebuah pemahaman untuk mengetahui apa itu yang dinamakan Jihad,” Jelas Mas Sabrang.
Selanjutnya Dokter Ananto, yang beberapa kali terlihat mengambil foto dengan ‘tongsis’nya di atas panggung memulai uraiannya. “Saya datang kesini ingin difoto untuk nanti ditunjukkan kepada anak saya bahwa bapakmu ini juga ikut ngaji, jadi seumur-umur sekarang kamu juga harus ngaji. Tadi pertama kali ketika datang kesini dan tahu mau ngomong masalah ISIS, langsung ngelu ndasku. Ketemu mas Sabrang, Kyai Muzamil, dan teman-teman lainnya, tambah ngelu. Tapi ketika mendengar mas Taufiq bilang bahwa Jihad itu bisa dimanifestasikan menjadi sebuah karya buku, saya langsung senyum.
Karena menurut kriteria mas Taufiq tadi, Alhamdulillah saya sudah membuat buku. Ketika saya membuat buku, saya menghabiskan waktu tiap malam selama dua tahun, Ternyata itu juga namanya Jihad.” Dokter Ananto menceritakan pengalamannya dalam membuat buku dan jamaah bertepuk tangan mengapresiasi beliau. “Ada dua buku, tadinya saya mau memberikan buku saya ini kepada jamaah yang namanya Aisyah dan Abdullah.” Dokter Ananto kemudian memberikan buku tersebut kepada jamaah yang bernama Adullah, sementara karena tidak ada jamaah yang mengaku namanya Aisyah, buku tersebut akan diberikan kepada Cak Nun.
Dokter Ananto melanjutkan, “Menurut saya Jihad itu kata kuncinya yang pertama adalah kita menjalankan kewajiban dan amanah sesuai dengan Al-Qur’an dan Sunnah Rasul. Ketika melakukan itu maka semua resiko yang terjadi ada pada jalan Jihad. Ini kriteria menurut saya, kamu anggap benar gak pathek’en, kamu anggap salah yo gak pathek’en.
Yang kedua, kata kuncinya bismallah, sebab dulu saya bingung ketika satu kelompok tentara membunuh kelompok lainnya disebut Jihad, tapi kelompok tentara lainnya ketika membunuh kelompok lainnya lagi tidak disebut sebagai Jihad. Menurut saya kuncinya yang berbeda, yakni bismillah. Jadi kalau kita melakukan dengan bismillahirrahmanirrahim, apapun yang menjadi resiko nantinya akan kita anggap sebagai resiko berjihad.Ada kriteria lagi yang saya anggap bahwa tataran dalam hidup ini ada tataran syari’at, thariqat, haqiqat, dan ma’rifat. Menjalani apapun yang kita lakukan dalam kehidupan sehari-hari, kita perlu juga memahami apakah kita sedang melakukan tataran syari’at, atau thariqat, atau haqiqat, ataukah ma’rifat.
Ketika kita sudah melakukannya ditambah dengan kata kunci yang pertama dan kata kunci yang dua, maka itu bisa memudahkan kita untuk memetakan kita ini sedang berjihad atau tidak. Saya menganggap bahwa Jihad ini mesti susah, kalau tadi apa yang disampaikan sama mas Sabrang ketika tidak melakukan apa-apa juga termasuk Jihad, saya masih belum sampai pada tataran itu. Karena yang saya pahami, Jihad ini mempunyai resiko yang tidak menyenangkan bagi saya dan saya masih bersikeras dan yakin memutuskan untuk melakukan itu.”
Selanjutnya Pak Suko Widodo yang baru bergabung dipersilahkan Amin untuk wedhar ilmu perihal Jihad. “Tahun 1963-1965 ada pemuda yang dianggap melakukan Jihad, namanya Ustman dan Harun. Untuk mengenang jasanya Indonesia membuat kapal perang korvet Usman-Harun, namun ketika kapal itu dinamakan Usman-Harun, Singapura protes keras karena kedua orang itulah yang telah meluluhlantakkan Pelabuhan Singapura. Kira-kira Usman dan Harun dikatakan Jihad atau tidak waktu itu? Pada masa Orde Baru ketika ada orang yang bergerak dalam Pergerakan Islam itu dinamakan berjihad, gampangnya secara bahasa. Tapi tadi Kyai Muzamil sudah menjelaskan apa itu Jihad.
Kalau saya biasa memakai bukunya Ronggowarsito, Jihad ini mesti berkaitan dengan kebenaran, bener-luput olo-apik ning dunyo kari sing arani. Maka mungkin Usman dan Harun bisa dianggap berjihad, tapi bagi Singapura, mereka adalah pengkhianat. Jihad mempunyai nilai subjektifitas tergantung sudut mana yang digunakan. Misalnya si Abdul diberikan pesan oleh orang tuanya untuk giat belajar agar mendapatkan beasiswa, akhirnya dengan segala cara dia berusaha sampai mencontek untuk mendapat nilai A, kira-kira dia berjihad atau tidak? Jadi bisa dilihat dari sudut pandang mana bisa dikatakan berjihad. Kalau menurut saya dalam kehidupan manusia itu ada dua perspektif, satu perspektif privat atau sektor, yang kedua soal perspektif publik.
Privat itu soal pribadi, kalau saya bekerja keras biar nanti saya bisa membelikan rumah untuk istri saya, membelikan mobil dan sebagainya, menurut saya itu bukan Jihad karena itu urusan pribadi. Tapi kalau seperti yang dilakukan mas Ananto tadi seperti membuat buku yang kemudian untuk kemaslahatan umat, maka menurut saya itu termasuk bentuk Jihad. Karena dia melakukan effort yang tidak dilakukanpun tidak apa-apa. Tadi Kyai Muzamil sudah memberikan dasarnya, dan menurut saya berjihad itu melakukan sesuatu yang lebih dari batas kewajibannya. Kalau Anda pintar dan mendapat nilai bagus itu tidak ada apa-apanya, tetapi kalau Anda pintar dan ilmunya untuk orang banyak, Anda berkarya dan menyumbangkan harta Anda, itu sudah termasuk Jihad, gak usah jihad atek nyowo-nyowoan rek. Jadi menurut saya Jihad itu adalah usaha atau ikhtiar untuk memberikan manfaat bagi banyak orang” Jelas Pak Suko.
Cak Rahmad menambahkan apa yang telah disampaikan narasumber-narasumber sebelumnya, “Dalam segi tema, saya merasa bahwa saya tidak melakukan Jihad apapun, tetapi kalau orang lain menilai saya sudah melakukan Jihad, maka saya meminta agar penilaian tersebut dihapus. Yang dimaksud ini Jihad apa, kalau jihad akbar maka Jihad yang memerangi hawa nafsu. Tapi menurut saya bahwa penekanannya pada menunggangi dan mengontrol hawa nafsu.” Cak Rahmad juga bertanya kepada Kyai Muzammil, “Potensi hawa nafsu ini lebih mengajak kepada keburukan ataukah kebaikan?”
“Jadi perlu dibedakan antara nafsu dan ‘hawa’. Kalau nafsu itu normal, jadi seperti manusia membutuhkan makan dan dia ingin makan. Tetapi kalau hawa nafsu, melakukan sesuatu yang normal tadi tetapi tidak on the trek” Jawab Yai Muzammil.
“Berarti hadist Rasulullah itu benar bahwa kita harus melawan hawa nafsunya bukan nafsu. Artinya sepanjang hidup kita setelah akil baligh selalu melakukan Jihad akbar untuk mengendalikan hawa nafsu setiap detik setiap waktu, akhire suwe-suwe iki dudu akbar maneh. Karena setiap pergerakan kita pasti ada pengendalian nafsu yang dipimpin oleh iman dan taqwa, kemudian di setiap pergerakan itu merupakan Jihad.
Kalau akhir-akhir ini kita perlu benar-benar digalakkan untuk melawan hegemoni komunikasi yang dikuasai oleh segelintir pihak, ISIS tiba-tiba dijadikan simbol Jihad, jadi Jihad diidentikan dengan kekerasan. Dan hegemoni sekarang, celono cingkrang dan jenggot dikira sedang berjihad. Kalau kata Kyai Muzamil tadi Jihad diartikan secara tekstual yang didorong dari informasi media. Mungkin di masa mendatang akan muncul lagi kasus seperti ISIS” pungkas Cak Rahmad.
***
Selanjutnya memasuki sesi diskusi tanya jawab. Dian Wijayanto, salah satu jamaah bertanya kepada Kyai Muzammil. Sampai dimana batas toleransi untuk menghadapi pluralitas di Indonesia dalam konteks agama Islam selain dalam batas aqidah. Kalau menganggap adanya pluralitas yang bebas, jadinya malah liberal dan akhirnya mengaburkan batas, misalnya tentang nikah beda Agama. Dia juga meminta tanggapan dari Taufiq ’Monyong’ tentang temannya, seorang seniman yang suka menggambar perempuan telanjang, yang menurutnya bahwa gambar tersebut merupakan seni, keindahan Tuhan itu ada pada penciptaan tubuh manusia dan keindahan itu ada pada tubuh wanita. Jadi merasakan indahnya Tuhan itu melalui tubuh manusia. Menurut konteks tersebut, apa relasi antara seni dan agama yang mungkin ada batas agar tidak boleh dilanggar.
Agus, jamaah asal Wonosobo meminta penjelasan bahwa manusia harus muslim dulu baru mukmin kemudian hujjatul islam dan terakhir menjadi mujjahiddin. Kalau saya memahami Jihad ini adalah ‘prihatin’, perine bathin. Mas Agus memberikan permisalan, “Andai saja di ruangan hanya ada saya seorang, dan ada uang yang perlu dibagikan ke lima pembukuan.
Kalau mau, bisa saja uang itu saya masukkan ke kantong karena tidak ada orang yang tahu. Sementara saya berani memerihkan batin untuk tidak mengambil uang itu, berarti saya telah melakukan Jihad.” Adalagi permisalan yang dilakukan mas Agus, “Ketika sopir bus membawa penumpang 60 orang kemudian dia mau menabrak warung kopi didepan yang hanya ada 5 orang. Harusnya memutuskan untuk mengorbankan yang mana, yang 60 orang ataukah yang 5 orang? Kalaub5 orang tadi adalah Kiyai sementara 60 orang tadi teroris bagaimana?” tutup mas Agus disambut riuh tepuk tangan jamaah yang lain.
Yanto, jamaah dari Jambangan meminta Sabrang bisa wedhar ilmu terkait konsepsi uang. Makin hari makin lama uang nilainya makin rendah, “Dulu waktu kecil saya beli gorengan seharga 50 rupiah sekarang harganya lebih dari 500 rupiah.”
***
Berjihad Dengan Seni
Taufiq ‘Monyong’ merespon pertanyaan jamaah terkait tauhid dalam perspektif karya seni. “Seni ini memiliki banyak aliran, kalau kita belajar tentang seni, ada masa Renaisance, Bounet, Rembran, dsb. Jadi tidak selalu menggambar tentang apa yang menjadi ekspektasi teman-teman saat ini. Kalau ada yang mengatakan bahwa estetika adalah bentuk tubuh manusia, bisa saja seperti itu. Sebenarnya ada perbedaan antara seniman dengan tukang gambar.
Kalau tukang gambar, dia melihat apa yang dia lihat. Sementara seniman, menciptakan sesuatu yang tidak ada menjadi ada. Kalau membuat suatu karya yang sudah ada berarti itu karya copy-paste. Kalau saya sekarang membuat suatu mindset bahwa agama menjadi sebuah potret peradaban zaman. Karena itu saya mengajak anak-anak muda sekarang keluar dari mainstream apakah kita akan tetap menggambarkan visual-visual pada zaman dulu yang membuat kita tidak berubah dan tidak menghasilkan karya yang original.
Kita harus menjawab tantangan kebudayaan itu apa, bukan hanya sekedar menikmati karya kebudayaan itu. Sekarang yang harus kita pertanyakan adalah karya seni apa yang bisa menjawab zaman. Kalau kita ngomong kaligrafi, bukan hanya arab tapi jawa juga punya kaligrafi. Kaligrafi itu ada di Jawa, Madura dan sebagainya hanya saja kita tidak meneruskannya sehingga lenyap. Tantangan zaman itu sudah ada dalam otak kita, hanya saja harus memiliki strategi. Seni-pun sama dengan bidang kedokteran dengan membuat organ-organ virus baru. Misalnya satu dokter berjihad untuk menemukan obat dari virus HIV, sementara virus HIV itu buatan temennya. Dalam kasus ini dimana letaknya Jihad, pengobatan dan obatnya? apakah penyakit itu bagian dari konspirasi Jihad dan obat itu adalah jawaban terhadap Jihad?”
Kyai Muzammil meneruskan penjelasan Taufiq, “Seni itu kan keindahan, sekarang adakah yang mampu menciptakan keindahan melebihi apa yang diciptakan oleh Tuhan? Berati yang seniman ini siapa? Tuhan. Kok kita mesti mempertentangkan seni dengan agama. Jadi sekarang kalau kita lihat kepada Fiqih, Fiqih adalah suatu hukum yang legal dan formal. Dan terkadang wilayah formal ini sering ingin menjangkau ke seluruh segi kehidupan yang sebenarnya bukan wilayah Fiqih. Jadi kalau ada yang tanya lukisan ini halal atau haram? Lho, lukisan kok ditanya halal dan haramnya, apakah wilayah Fiqih ini sampai sana. Fiqih itu urusan legal dan formal, kan kita tidak tahu hatinya orang.
Gus Mus beberapa tahun lalu pernah membuat lukisan Inul Daratista,digambarkan sedang goyang ngebor yang dikelilingi para Kyai. Kita tahu siapa itu Gus Mus, beliau Kyai tapi juga seniman. Maka dari itu kita perlu melihat kembali bahwa kenapa ayat turun pertama kali adalah ‘Iqra’, mengajarkan kita supaya mampu membaca. Selama ini kita hanya diajari memilah halal dan haram, padahal dalam seni tidak seperti itu. Sekarang yang harus ditanam dalam masyarakat adalah bagaimana masyarakat mempunyai jiwa seni dan tahu bagaimana cara membaca seni. karena kita tidak bisa menilai karya seni dengan perspektif lain yang bukan seni. Akhirnya tidak akan ada pertemuan diantaranya dan tidak bisa membuat hatinya tergetar. Jadi ketika kita melihat suatu karya seni, hati kita bisa bergetar mengingat Allah yang Maha Indah.”
Kyai Muzamil kembali menanggapi pertanyaan dan uneg-uneg jamaah tentang batas pluralitas dalam beragama. “Dalam Islam ada ibadah mahdhah dah ibadah ghairu mahdhah. Kalau urusan ibadah mahdhah, lakum dinukum waliyadin. Kalau konteksnya adalah ibadah ghairu mahdhah, kita harus bekerjasama. Nabi Muhammad malah hutang-piutang dengan orang Yahudi, makan bersama orang Yahudi. Kok sekarang dikirimi makanan dari orang Nasrani pikirannya langsung ‘Oh jangan, ini haram.’ Ini kan mempersulit hidupnya sendiri. Nabi Muhammad juga sering diberi hadiah dari orang Nasrani dan tidak pakai tanya ini menyembelihnya bagaimana”
“Ada sabda Rasul begini,
“Al-mukmin man aminahu nas ‘alaa anfusihim wa amwalihim, orang mukmin itu adalah orang yang membuat orang lain merasa aman atas harta dan jiwanya. Jadi kalau ada orang yang bisa mengamankan orang lain dari keburukannya, berarti orang itu memiliki jiwa yang mukmin.”
Terus kalau muslim, Al-muslimu man salima al-muslimuna min lisanihi wa yadihi, muslim itu adalah orang yang aman lisan dan tangannya. Tangan itu jangan secara tekstual dalam memahaminya, misalnya ada orang yang tanda tangan tapi merugikan orang lain. Kemudian sabda Rasul tentang Al-Mujjahid. Al-Muhajjir, muhajjir adalah orang yang hijrah, orang yang menyingkir dari apa yang dilarang oleh Allah. Kalau Al-Mujjahid, man jahaddah manahallah, orang yang berjuang untuk tidak melakukan apa yang dilarang oleh Allah. Jihad itu juga bermacam-macam.”
Tanggung Jawab Terhadap Limitasi Pengetahuan
Selanjutnya Sabrang menanggapi pertanyaan. “Entah ini nanti apa yang saya sampaikan akan mengandung bahaya karena pengetahuan juga mengandung bahaya. Kalau kamu belum tahu dan melakukan kesalahan jadinya kebodohan, sementara kalau kamu sudah tahu tapi melakukan kesalahan jadinya dosa. Jadi pengetahuan bisa mengandung bahaya juga. Tadi dipertanyakan ada bus isinya 60 orang, mau menabrak sebuah warung kopi yang disitu ada 5 orang.
Ternyata 60 orang dalam bis itu adalah teroris dan 5 orang yang di warung itu adalah Kyai. Saya memahami bahwa ada akar yang sama, bahwa disitu ada kesombongan yang tidak kita sadari. Kita merasa bahwa kebenaran yang kita cari dan kita fahami merupakan kebenaran yang universal. Setahu saya yang mempunyai kebenaran universal hanya nabi-nabi, sementara kita hanya mencoba mencari kebenaran-kebenaran itu melalui kebenaran personal. Dan kebenaran personal itu pasti ada limitasinya. Kenapa saya bilang sombong, karena kamu belum mengetahui limitasi pengetahuanmu.
Kalau cerita tadi, bisa dibuat beda lagi dan saya tambahi informasinya, ternyata 60 orang teroris tadi pergi mau tobat ke pesantren, sementara 5 orang Kyai tadi berkumpul mau merusak umat. Diteruskan lagi informasinya, merusak umat itu dalam rangka ingin menyadarkan umat bahwa kerusakan agama itu terjadi sehingga kamu perlu mencari sendiri. 60 orang tadi tobatnya bisa jadi apus-apusan, berpura-pura, karena ingin mengebom pesantren. Lha informasi itu akan terus-terusan dan bisa bolak-balik gak berhenti-henti. Jadi tergantung pada limitasi informasi yang kita miliki. Kalau kamu tidak mengerti maka hitunglah pada informasi yang kamu miliki.” Terang mas Sabrang yang kemudian memberikan analogi lain, “Kalau ada anak kecil yang kencing di celana, Ayah atau Ibunya tidak akan marah. Soalnya dia memang belum tahu. Coba sekarang setelah kamu dewasa, sengaja kencing di celana.
Manusia bertanggungjawab atas limitasi pengetahuan yang dia miliki. Tidak bisa diantisipasi, karena kemungkinannya tidak terbatas. Seperti tadi, tentang respon gambar telanjang. Untukmu tidak baik, itu respon buruk bagimu. Tapi mungkin bagi dia, itu merupakan perjalanan untuk mencari keindahan sehingga dia bisa meresapi keindahan dunia. Kan bisa saja, kita tidak pernah tahu perjalanan manusia seperti apa. Kalau kamu tidak mengerti seni, tidak tahu setiap ‘tetesan air’ di dalam hatimu, bagaimana kamu bisa merasakan keindahan alam. Tanpa seni, bagaimana kamu bisa mendengarkan fatwa hati yang disuarakan Tuhan dengan cara yang sangat halus.”
“Kata-kata Ronggowarsito itu saya sangat setuju, baik-buruk, bener-ora bener dan seterusnya itu tergantung sopo sing ngarani. Tidak ada satu bendapun di dunia diluar kita yang memiliki arti positif ataupun negatif. Tidak ada, semuanya netral. Yang memberi nilai positif ataupun negatif itu manusianya sendiri. Memberi arti positif ataupun negatif itu bergantung limit pengetahuan dan pengalaman yang dia miliki.
Sehingga dia tidak bisa mengklaim itu negatif ataupun positif, yang bisa kita lakukan adalah berdiskusi kenapa kamu melihat positif sementara yang lain melihatnya negatif dengan tidak saling menyalahkan dan saling membenarkan sehingga kamu bisa belajar kebenarannya dan dia bisa belajar kebenaranmu. Sama-sama tumbuh dan tidak saling menyalahkan. Menurut saya yang perlu dibangun adalah society yang seperti itu. Kesadaran pertama yang harus ditanam, adalah lebih banyak informasi yang tidak kamu tahu daripada yang kamu tahu. Kalau kesadaran itu tertanam maka kamu tidak akan gampang menyalahkan.
Terdapat kasus yang sederhana, ada orang yang maling ayam itu benar atau salah? Oh, mencuri itu salah. Sebentar, kalau kasusnya dia mencuri karena tidak bisa memberi makan dan pemilik ayam tidak punya kesadaran untuk memberi sedekah kepada yang maling ini, berarti yang salah pemilik ayamnya. Tapi si pemilik juga tidak tahu kalau dia punya kewajiban untuk memberi berarti tidak akan terjadi untuk saling sedekah. Ora rampung kuwi, argumentasine iso mbolak mbalik. Maka dari itu kita perlu tahu limitasi pengetahuan kita, mengetahui limitasi pemahaman kita dan berlaku sesuai itu. Karena kebenaran juga akan berkembang terus. Kalau ada orang yang mengerti kebenaran sejati, hidupnya sudah beda.”
Proses Terbentuknya Uang
“Semua titik kebenaran yang kita pahami adalah benar, dia hanya akan menjadi salah ketika kita mengenal kebenaran yang lebih besar. Bagaimana dengan kebenaran yang lebih besar? Kebenaran yang lebih besar adalah bagaimana kita bisa memahami kejadian-kejadian dan konsep di alam semesta, kebenarannya semakin besar dan memahami adanya konsistensi keindahan Tuhan. Kita mengumpulkan kebenaran-kebenaran personal untuk mencari kebenaran bersama.”
Sabrang kemudian melakukan percakapan dengan jamaah,
“Mas, kalau ada uang kertas seratus ribu, itu berharga atau tidak?
“Berharga,” Jawab Yanto yang tadi memberikan pertanyaan kepada mas Sabrang.
“Kenapa berharga, mas?” tanya mas Sabrang
“Bisa dibelikan kopi dan macam-macam.”
“Kenapa dia bisa dibelikan kopi dan macam-macam?”
“Karena orang-orang juga menganggap dia berharga.”
“Berarti, orang-orang melakukan persetujuan bersama kalau itu berharga bukan aslinya berharga. Jadi dasarnya dia berharga karena adanya kesepakatan bersama bahwa itu berharga. Nek asline yo mek kertas thok, mas.
Saya bukan ahli ekonomi, tetapi saya akan sharing apa yang saya tahu. Uang itu yang sekarang disebut sebagai fiat money. Konsepnya, misal ada emas di bank, kalau kamu bawa emas kemana-mana akan beresiko. Sehingga bank mengeluarkan surat bahwa kamu punya emas di bank, jadi surat itu bisa kamu tukar kepada siapa saja, bahwa siapa saja yang membawa surat itu akan bisa menukarkan dengan emasnya di bank. Masalahnya di zaman modern, apakah kamu akan punya jaminan bahwa satu emas itu hanya menjadi satu uang. Karena itu bukan ditanganmu, kamu sendiri juga tidak tahu bagaimana prosesnya. Emas sak gephok dijadikan uang seribu itu kan kita tidak tahu prosesnya. Dimana-mana uang itu akan inflasi, bukan hanya di Indonesia. Dimana nilai mata uang akan turun dan semakin turun.
Untuk memahami ini kita harus tahu sistem ekonomi dulu. Bagaimana bon dibuat, uang dicetak, untuk bayar bon itu ada bunganya, bagaimana membayar bunganya, jaminannya adalah KTP-KTP manusia sehingga kamu dibayar pajak, kemudian pajaknya digunakan untuk membayar bunga pencetakan uang. Silahkan pelajari economic buble. Kalau kita mau mempelajari saham, dalam Islam ini saham termasuk dalam riba’. Karena saham ini jual potensi, bukan barang. Saya punya ladang jagung, belum panen, tapi jagung ini akan menghasilkan segini ton lho. Atau perumpamaan lain, aku punya pabrik kecap, nanti profitnya segini lho. Saham itu seperti itu, jadi potensi yang dijual dan bukan barang sebenarnya. Sepengetahuan saya, Islam melarang itu, Jual beli dalam Islam harus ada barangnya”.
“Itu ghoror namanya, sama dengan menjual manuk mabur.” Celethuk Kyai Muzamil.
Cak Rahmad kemudian meminta Pak Suko Widodo menanggapi tentang media massa dimana semakin banyak dan semakin mudah kita mengakses berita, maka semakin merasa bahwa dirinya yang benar. Rata-rata tagline yang mau dipopulerkan, pasti menohok dan tidak ada pilihan lain-lainnya. Pak Suko memberi tanggapan, “Kita gampang menyalahkan, kita gampang membakar orang. Karena kebenaran itu macam-macam lahirnya, dari rasional dan pengetahuan, dari empiris, dari niat. Kalau filsafat macam-macam, salah satunya budidaya yaitu kebudayaan. Sekarang kebudayaan Jawa ada atau tidak, kebudayaan alon-alon wathon kelakon, nggak ada.
Semua serba instan, bahkan jumlah handphone sekarang jumlahnya melebihi jumlah penduduk Indonesia, rata-rata tiap orang hapenya lebih dari satu. Saya baca artikel ada orang Indonesia yang ingin mengembalikan waktu ke jaman 1980-an dimana tidak ada ponsel, karena kita dikepung oleh penjajahan teknologi yang tidak kita sadari. Dalam forum Bangbangwetan ini Cak Nun pernah menyampaikan bahwa kita sudah kehilangan kegarudaan kita, kita hanya mampu menjadi emprit-emprit kecil. Itu sebetulnya yang akan dibangun ditempat ini, dan cara mencari kebenaran tidak benarnya sendiri.”
Dialektika Syetan dan Manusia
Cak Rahmad menyampaikan pertanyaan titipan ke Sabrang, “Sebelumnya telah dijelaskan bahwa diluar dari manusia bersifat netral, tidak ada positif dan negatif. Kalau syetan bagaimana, dalam Al-Qur’an yang digunakan sebagai sumber informasi literer menjelaskan bahwa syetan itu musuh manusia. Mestinya kan negatif?”
“Kan itu dengan asumsi bahwa syetan diluar manusia. Syetan, jin itu diproduksi oleh manusia sendiri. Bagaimana manusia yang ditunggangi oleh hawa. Kalau kamu mau melawan syetan, lawanlah dirimu sendiri, yang ada di dalam . Manusia adalah sutradara atas dirinya sendiri. Kalau ada aktor disitu yang tidak dalam sutradaramu, malah kamu yang disutradarai oleh dia, ya itu syetan. Kamu tidak berdaulat atas dirimu sendiri,” Jawab Sabrang.
Kyai Muzammil menambahkan, “Kalau kita mendengar kata musuh, jangan langsung menganggap negatif musuh itu. Sayyidina Ali pernah mengatakan, musuh yang cerdas itu lebih baik dari teman yang bodoh. Berarti tidak selamanya musuh itu tidak baik. Jadi kenapa kita jangan alergi dengan pluralitas, karena pluralitas itulah yang menciptakan kecerdasan. Tanpa adanya pluralitas kita akan monoton. La iqra hafiddin, karena pluralitas agama itu menguntungkan umat beragama. Fastabiqul khairat, berlomba-lombalah dalam kebaikan.”
Sabrang, “Perkembangan Islam sangat pesat justru ketika memasuki dalam society yang plural. Dan saya mau menambahkan tentang permasalahan Syetan tadi, katakanlah asumsi itu benar syetan itu ada diluar kita, dia kan negatif. Lho, dia kan potensi negatif atas dirimu. Ketika kamu tahu potensi itu agar kamu tahu untuk tidak melakukan hal itu. Hal tersebut menjadi positif juga buat kamu. Sepertinya ada hadist Qudsi yang bilang, kalau kamu berniat baik, kamu sudah mendapatkan poin. Kalau sudah bisa melakukan, poinmu bertambah. Kalau kamu berniat buruk, belum dihitung. Kalau tidak melakukan, mendapat poin. Berarti kebaikan dia adalah tidak melakukan hal yang buruk, jadi potensi yang burukpun bisa menjadi positif kalau kita bisa menyikapinya dengan benar.”
Teori Egosistem
Sabrang kemudian menanggapi pertanyaan mengenai teori egosistem. “Ada egosistem dan ada ekosistem. Egosistem itu yang seperti piramid, kalau yang ekosistem itu yang sifatnya melingkar. Kita lihat sifat utamanya dulu. Kalau yang Egosistem, makin lama sistem berjalan, jaraknya akan semakin jauh antara yang dibawah dan yang diatas. Kalau ekosistem, jaraknya akan mendekatkan jarak yang diatas dan yang dibawaah.
Kalau makmur, makmur bareng. Kalau pinter, pinter bareng. Tergantung kita mau mengimplikasi yang bagaimana pada bidangnya. Perkara kelompok tadi yang bisa saja membuat ekosistem, anda sudah mempelajari belum apakah itu ekosistem. Kalau itu ekosistem dalam bentuk kebenaran, yang terjadi tidak adanya doktrinasi. Kalau itu ekosistem dalam bentuk ilmu, maka yang terjadi adalah diskusi saling bertukar ilmu, semuanya berproses dalam menemukan kebenaran, bukan benere sopo sing liyane manut.
Kalau benarnya hanya milik satu orang dan beberapa orang, yang lainnya manut wae, itu adalah Egosistem bukan ekosistem. Karena ekosistem itu saling menumbuhkan satu sama lain. Ada juga sistemnya yang dipatuhi dan yang lainnya manut, tapi jarak diantara mereka semakin mendekat, misalnya dalam thariqat, ada mursyid dan lain-lainnya itu memang Egosistem yang hirarki, namun tataran yang dibawah saling menumbuhkan dan saling belajar maka jadinya ekosistem. Jadi tergantung bagaimana mengaplikasikannya dimana. Misalnya dalam hal ekonomi, kamu bikin lingkaranmu sendiri dengan teman-temanmu yang sefaham dengan konsep ekosistem.
Jadi akan terjadi sinergi disitu dan terjadi kekuatan yang saling mendukung ekosistem. Kalau semua dalam lingkaran itu menyunggi konsep ekosistem bersama, nek sugih yo sugih bareng, nek kere yo kere bareng. Jadi tidak ada sikut-sikutan disitu. Yang membedakan mereka adalah usahanya, gigihnya, tapi bukan curangnya. Tidak masalah ketika dalam lingkaran itu ada yang lebih rajin, lebih kreatif sehingga berlombanya adalah berlomba menjadi kreatif. Jadi lombanya itu akan mengubah ekosistem itu menjadi lebih baik. Yang seperti ini maka dibutuhkan sosok yang berani mendobrak apa yang sudah ada, bukan berati kita harus disconnect dari apa yang sudah ada. Tapi kamu juga punya batas apa yang terkoneksi apa yang tidak. Kamu mungkin yang bagian menanam beras, temanmu menanam lombok, dan lain-lain.”
Kesombongan Yang Baik
Sabrang juga menanggapi pertanyaan tentang kesombongan. “Apapun di dunia ini itu penting, hanya bagaimana menempatkannya. Kesombongan itu kan tidak bisa berdiri sendiri. Sombong terhadap apa, sombong terhadap siapa. Kalau kamu sombong terhadap rasa rakusmu, maka itu penting. Kalau kamu sombong terhadap keburukan-keburukan dalam dirimu ya tidak masalah.
Sombong, disisi lainnya ada merendahkan. Kalau sombongmu itu merendahkan yang lain, setahu saya itu tidak baik. Tapi kalau sombongmu kemudian meninggikan dirimu, berarti sombong disini harus berada pada hal yang tepat, sombong pada ketergantungan, sombong pada kebodohan. Saya pikir apapun yang diciptakan oleh Tuhan itu penting, kalau tidak penting ngapain diciptakan Tuhan, hanya bagaimana kita mengolahnya.”
Kyai Muzammil menambahkah, “Kesombongan yang buruk itu kesombongan yang menolak kebenaran. Kesombongan yang tidak mau menerima kebenaran. Disatu sisi, sombong itu banyak manfaatnya. Undzur maa qoola wala tandzur man qoola, lihatlah apa yang dikatakan dan jangan lihat siapa yang mengatakan.”
Cak Rahmad menutup kesimpulan diskusi. “Paradigma kita tadi sudah diobrak-abrik oleh Kyai Muzamil dan mas Sabrang, jangan menjadikan informasi malam ini sebagai ilmu yang sudah pasti kebenarannya, karena kebenaran memiliki limitasi.
Teori tentang ekosistem yang disampaikan mas Sabrang tadi agak menggelitik saya, dalam Bangbangwetan ini kita sudah sampai mana. Di dalamnya sudah ada lingkaran-lingkaran kecil. Ayo kita bersama belajar menunggangi dajjal yang membuat Facebook, dengan meramaikan forum diskusi positif yang ada disana.”
Memasuki jam 03.00 dini hari, Bangbangwetan dipungkasi dengan sholawat bersama yang dipimpin oleh Mas Zainul dan ditutup do’a oleh Kyai Muzammil.
[red-BBW/Masfufatul Qibtiyah]
Menarik sekali. Akar Temanya adalah Jihad, namun dalam perjalanan diskusinya bisa sampai ke masalah-masalah lain dalam hidup dan kehidupan.
Satu hal yang paling inti menurut saya yang bisa diambil adalah, kebenaran suatu nalar seseorang itu relatif dan semakin lama semakin berkembang berbanding lurus dengan penemuan-penemuan kebenaran yang diyakini lebih benar atau lebih besar nilai kebenarannya.
Dapat diibaratkan, pencarian kebenaran adalah sebuah eksperimen, ketika kebenaran sudah diyakini itulah disebut hipotesis atau teori. Dan sebuah hipotesis atau teori pasti tidak mempunyai kebenaran mutlak, tapi relatif menunggu eksperimen-eksperimen dan hipotesis-hipotesis lain yang akan ditemukan.
Bahwa kebenaran menurut manusia itu relatif, tapi kebenaran menurut Allah itu Mutlak. Permasalahannya adalah, bagaimana kita mengetahui (bukan hanya menganggap atau meyakini) suatu kebenaran adalah benar-benar kebenaran menurut Allah? Mungkin itu inti dari apa yang disampaikan mas Sabrang.
Terimakasih.