Reportase

REPORTASE BANGBANGWETAN NOVEMBER 2016 ” KUDETA GRAVITASI “

img_1786

• INDONESIA RAYA 

Ada sesuatu yang istimewa pada pembukaan diskusi Forum Maiyah BangbangWetan (BbW), Selasa malam (15/11/2016), yang untuk kedua kali berturut-turut mengambil tempat di Pendopo Taman Budaya Cak Durasim. Usai pembacaan wirid dan sholawat, para Jannatul Maiyah (JM) bersama-sama berdiri untuk menyanyikan lagu nasional Indonesia Raya dan Satu Nusa Satu Bangsa, diiringi oleh Orkes Keroncong Kurmunadi.

Padunya berbagai macam tipe suara JM dalam satu harmoni kebersamaan yang khidmat, seolah melahirkan kembali persatuan rasa sebagai saudara sebangsa setanah air. Sebuah rasa yang akhir-akhir ini semakin luntur akibat banyaknya perbedaan pandangan dan pertikaian yang dipertajam secara sengaja maupun tidak sengaja.

Di bawah langit-langit Pendopo Cak Durasim yang bergaya etnik, acara bergulir ke sesi diskusi JM. Sebuah artikel Cak Nun berjudul “Ummat Islam Dijadikan Gelandangan di Negerinya Sendiri” dijadikan bahan bahasan untuk menyikapi perkembangan situasi nasional belakangan ini. Dari diskusi tersebut dapat dirangkum bahwa terdapat pihak-pihak tertentu yang sedang berambisi menguasai Indonesia.

Tentu saja yang paling merasakan dampaknya adalah rakyat Indonesia, khususnya umat Islam, sebagai penduduk Indonesia sekaligus umat dengan jumlah terbanyak. Kondisi umat Islam yang tengah lengah dan lemah saat ini juga dijadikan alat oleh pihak-pihak tersebut untuk menjalankan rencana-rencana mereka. Oleh karena itu JM selaku bagian dari Bangsa Indonesia dan umat Islam, perlu melakukan kudeta gravitasi.

•MEREBUT KEMBALI FITRAH MANUSIA

Secara umum, kudeta dipahami sebagai hal negatif; yaitu tindakan pengambilalihan kekuasaan secara paksa. Tetapi, kudeta yang digagas oleh Mas Acang ini malah mengandung semangat positif, karena dimaknai sebagai usaha fundamental / radikal / mendasar guna merebut atau mengembalikan sesuatu pada tempatnya. Lantas, apa yang dimaksud dengan gravitasi dalam konteks diskusi kali ini?

“Berangkat dari asumsi paling dasar; bahwa gravitasi menurut hukum Newton adalah sesuatu yang bisa menarik sesuatu yang lain. Sementara, yang kita sebut sebagai ultimate gravity adalah gravitasinya Tuhan. Selama ini, telah banyak gravitasi Tuhan yang dilanggar, atau dibuat samar sehingga dilanggar. Sehingga banyak orang menjadi tergelincir.” Mas Acang membuka penjelasannya, yang kemudian dilanjut dengan memberi sebuah analogi tentang gravitasi di luar angkasa.

Gravitasi diciptakan Allah untuk mengikat benda-benda langit supaya tetap pada orbitnya. Ketika suatu benda langit melawan gravitasi sehingga bergerak tidak sesuai orbitnya, maka ia akan berpotensi menabrak benda-benda langit lain. Sama seperti kereta api yang keluar dari relnya. Setiap manusiapun, kata Mas Acang, memiliki gravitasi masing-masing yang telah ditentukan Tuhan. Gravitasi tersebut membuat manusia menetapi orbit kemakhlukannya (fitrah). Inilah yang disebut ultimate gravity / gravitasi pamungkas atau garis Tuhan.

Apa yang terjadi bila manusia tidak mematuhi gravitasi Tuhan? Pasti akan timbul benturan-benturan dalam kehidupan manusia tersebut. Bisa berupa benturan ideologi, benturan budaya, atau benturan antar manusia yang muncul demi mempertahankan (gravitasi) kebenarannya masing-masing, sehingga bisa mengakibatkan penghilangan nyawa manusia. Dalam konteks inilah, Maiyah melakukan kudeta gravitasi; yaitu berusaha mengembalikan / merebut kembali orbit kemakhlukan manusia yang telah terkontaminasi oleh berbagai hal.

img_1795

• MEMBONGKAR ILUSI KUDETA DAN GRAVITASI

“Sebenarnya kita tidak akan pernah bisa dikudeta, kecuali kita menyediakan diri untuk dikudeta.” Mas Sabrang mencoba mengelaborasi makna kudeta dari sudut pandang lain, yaitu diri manusia.
Mas Sabrang berpendapat, bahwa sesungguhnya manusia diberi kedaulatan oleh Tuhan atas pemikiran dan keputusannya sendiri. Tidak ada seorangpun yang bisa mengudeta (mempengaruhi) orang lain untuk mengubah pemikiran dan keputusan orang lain.

Tetapi mengapa pada kenyataannya, kita sering merasa dipaksa oleh situasi / orang untuk mengubah pemikiran dan keputusan, padahal tidak sesuai dengan kebenaran yang kita yakini? Sebagai contoh; seseorang yang enggan sekolah, tetapi toh akhirnya ia memutuskan sekolah, karena takut dimarahi orangtua. Atau; seseorang yang mengejar uang karena tidak mau hidupnya sengsara.

Dari dua contoh tadi bisa ditarik kesimpulan. Seseorang yang lemah terhadap faktor-faktor luar yang melingkupi hidupnya dan tidak bersedia menghadapi resiko jika berselisih dengan faktor luar tersebut, maka ia akan membuat pertimbangan (ekonomi, politik, dll) yang mengakibatkan berubahnya keputusan dari titik semula.

Jadi sesungguhnya, manusialah yang mengudeta dirinya sendiri karena pertimbangan menghindari resiko tadi. Sementara faktor-faktor luar hanya merupakan ilusi, seolah-olah memiliki kemampuan mengudeta atau mengeluarkan manusia dari gravitasi Tuhan. Nah, ketidakpahaman terhadap ilusi kudeta ini dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk menggiring masyarakat supaya sesuai dengan kepentingannya.

“Jika kita berpikir bodoh, bisa dikatakan bahwa afur di kamar mandi memiliki daya sedot terhadap air. Namun, jika kita mau berpikir dalam skala yang lebih luas lagi, kita akan tahu bahwa bukan afur yang memiliki daya sedot, melainkan karena adanya gaya gravitasi bumi yang menarik air ke dalam afur.” Secara singkat, begitulah gambaran yang diberikan Mas Sabrang saat masuk pembahasan mengenai gravitasi.

Saat semesta pandang kita hanya afur dan air, maka yang bisa kita pahami hanya sebatas daya sedot afur. Saat semesta pandang kita menjadi lebih luas dengan melibatkan afur, air, dan bumi, maka bertemulah kita dengan pemahaman gravitasi bumi; sementara daya sedot afur menjadi ilusi belaka.

Semesta pandang ini masih bisa diperluas dengan melibatkan keberadaan ruang dan waktu. Berbeda dengan pengertian gravitasi bumi umumnya disebabkan oleh gaya tarik bumi; menurut teori Einstein, munculnya gravitasi disebabkan oleh keberadaan ruang dan waktu. Jadi, manusia tidak tersedot oleh gaya tarik bumi, melainkan manusia mengikuti jalur-jalur ruang dan waktu yang dibuat oleh bumi.

Pada titik ini, bisa dikatakan bahwa gaya tarik bumi yang kita pahami tadi, seperti halnya daya sedot afur, juga merupakan ilusi.
Bila ditarik lebih luas lagi, kita akan menemukan bahwa bumi dan benda langit lainnya mengelilingi matahari, karena adanya jalur-jalur ruang dan waktu yang dibuat oleh matahari (gravitasi matahari).

Perluasan semesta pandang ini pada akhirnya akan memuarakan kita pada tauhid; bahwa Tangan Allah-lah yang menciptakan ruang dan waktu sehingga tercipta jalur-jalur alam semesta (gravitasi). Semua ciptaanNya mengikuti jalur-jalur yang telah dibuatNya. Sistem gravitasi ini juga terjadi dalam diri manusia. Kekosongan kebahagiaan dalam diri manusia akan menciptakan jalur di mana ia akan mengorbit, mengikuti sesuatu yang bisa mengisi kekosongan tersebut. Seseorang akan mengorbit mengikuti uang, karena ia berpersepsi kebahagiaan adalah uang.

Setidaknya, ada dua pelajaran yang bisa diambil dari penjelasan Mas Sabrang, supaya tidak terjebak ilusi-ilusi yang me-miring-kan kita dari gravitasi Allah. Pertama, kita harus semakin memberanikan diri menghadapi resiko dalam bersetia mengorbit pada gravitasi Allah. Kedua, teruslah berusaha memperluas semesta pandang kita dalam memahami setiap hal.

• TIDAK GRAVITATIF, SIAP-SIAP DIKUDETA ALLAH

Selanjutnya, tiba giliran Kyai Muzzammil memaknai gravitasi. Seperti biasa, beliau merujuk pada ayat-ayat Al-Quran; kali ini, surat Al-Mursalat dan surat Al-Fathir. Bila disarikan, kedua surat tersebut menyatakan bahwa bumi memiliki kemampuan untuk mengumpulkan dan menahan segala sesuatu yang ada di langit dan di bumi, supaya langit dan bumi tidak tergelincir.

“Cak Nun pernah berpesan supaya kita berpikir dan berperilaku gravitatif. Berpikir lurus kepada Allah.” Demikian Kyai Muzzammil menyambungkan prinsip gravitasi dengan kehidupan manusia.
Berpikir dan berperilaku gravitatif memiliki motif semata-mata karena Allah dan berusaha menetapi gravitasi / hukum Allah (fitrah).

Berpikir serta bertindak gravitatif juga berarti tegak berprinsip, sehingga tidak terlarut oleh situasi; tetapi pada saat yang sama, menyesuaikan diri dengan ruang dan waktu (situasi). Contohnya, pendirian bangunan di atas tanah yang miring, Bila bangunan tersebut didirikan hanya berpedoman pada kemiringan tanah, maka bisa dipastikan bangunan tersebut akan ambruk, sebab melawan gravitasi. Namun, jika bangunan tersebut didirikan dengan mengacu pada perhitungan gravitasi dalam kondisi kemiringan tanah yang ada, maka bangunan tersebut akan mampu berdiri kokoh.

Hukum Allah pasti berlaku bagi setiap hal di alam semesta. Manusia memiliki pilihan untuk patuh atau tidak patuh terhadap hukumNya. Jika memilih tidak patuh, maka Allah akan mengudeta, dalam artian memberlakukan hukumNya; seperti contoh ambruknya bangunan yang tidak mengikuti gravitasi di atas. Cara Allah mengudeta sangat variatif. Bisa dengan cara manusia dikudeta manusia lain, dalam artian direbut kekuasaannya secara paksa.

Bisa dengan cara dikenai badai, banjir, atau ditenggelamkan seperti Fir’aun, di balik buminya seperti kaum Nabi Syu’aib AS., dan dihujani batu seperti kaum Nabi Luth AS.. Allah sangat berkuasa mengudeta siapa saja yang tidak gravitatif, lewat apa saja; sebab Ia bersembunyi di balik daun, air, gunung, angin, penyakit, dan seluruh ciptaanNya.

img_1799

•GLOBALISASI ANTI GRAVITASI 

Sudah sejak lama gaung kata ‘globalisasi’ terdengar di telinga masyarakat Indonesia, bak sebuah janji manis tentang masa depan yang lebih cerah. Tak hanya gaung, kita yang sekarang pun hidup dalam zaman yang disebut sebagai Zaman Globalisasi. Jika memang globalisasi semanis kedengarannya, mengapa yang terjadi pada masyarakat Indonesia justru hal sebaliknya? Kita semakin tak memiliki daulat terhadap sumber daya kehidupan dan bahkan terhadap pemikiran kita sendiri.

Dalam diskusi yang berlangsung semarak malam itu, Pak Toto Rahardjo mengumpamakan globalisasi sebagai pertandingan tinju jalanan antara dua petinju yang berbeda kelas. Ambil amsal Mike Tyson dari kelas berat melawan Chris John dari kelas bulu. Walau Chris John berlatih disertai doa siang dan malam, sangat kecil kemungkinan untuk menang melawan Mike Tyson.

Mengapa bisa seperti itu? Sebab globalisasi memiliki ilusi-ilusi manis yang berhasil menipu daya masyarakat Indonesia; menyurgakan neraka dan menerakakan surga. Pak Toto Rahardjo memberikan contoh-contoh; kapitalisme diilusikan sebagai pembangunan, dan hutang diilusikan sebagai bantuan.

Untuk memuluskan rencananya, globalisasi sanggup bermain cantik di tiga tempat, yaitu mengubah regulasi supaya pro pasar; mendesain pendidikan dan media supaya cara berpikir, gaya hidup, selera masyarakat berubah sesuai kepentingan pasar; serta perebutan modal antara negara dan rakyat. Permainan tersebut mencita-citakan agar masyarakat dunia menjadi konsumen / pembeli guna menggelembungkan modal para pemain besar globalisasi.

Karena cita-cita tersebut telah tercapai, sekarang masuklah ke tahap berikutnya, yaitu konsentrasi kapital / pemusatan modal. Pemusatan modal ini membutuhkan proyek-proyek skala besar semacam reklamasi pantai dan sekaligus membutuhkan operator-operator handal.

Sistem globalisasi ini jelas-jelas melawan gravitasi Tuhan. Manusia harus menjadi konsumen, tidak boleh menjadi produsen. Cara berpikir dan tindakannya digiring oleh ilusi-ilusi yang didesain demi kepentingan pemegang modal. Kedaulatannya terhadap sumber-sumber kehidupan, seperti tanah dan air, dirampas oleh kebijakan privatisasi.

Dalam rangka mengembalikan orbit kemakhlukan manusia yang telah terkontaminasi oleh berbagai macam ilusi, supaya bisa bersetia pada gravitasi Allah, Pak Toto Rahardjo menyampaikan dua cara.

Pertama; sesuai pesan Cak Nun dalam acara Padhang mBulan Nopember 2016, Jannatul Maiyah diwajibkan berkebun di kebun Maiyah. Menanamlah terus. Bisa dalam bentuk usaha memperbaiki cara berpikir, memperkuat keluarga, berinisiatif memperkuat sinergi serta memperlebar pintu ekonomi, dan sebagainya.

Kedua; berpuasa. Prinsip puasa diejawantahkan sebagai sikap menahan diri atau berani mentidakkan sesuatu atau memboikot produk-produk yang disediakan oleh para pemodal besar. Sebagai contoh, tidak membeli apa yang memang tidak benar-benar kita butuhkan, lebih bagus bila bisa membuat / memroduksi sendiri, lebih memilih membeli makanan dari pedagang kecil daripada membeli di restoran waralaba asing, berhenti menonton televisi, serta menghindari apa-apa yang sekiranya tidak perlu dihadapi.

Bentuk-bentuk konkrit dari puasa ini perlu dirumuskan dan disepakati antara Jannatul Maiyah, agar bisa melahirkan gerakan bersama yang memiliki efek lebih besar dibandingkan gerakan individu.

Semoga, kita semua dimampukan untuk bersungguh-sungguh dan konsisten dalam menetapi gravitasi Allah.

 

red : ew/wd/fjr/dng/vh/ht