Reportase

REPORTASE BANGBANGWETAN OKTOBER 2016 – TAAT

img_1355

Pendopo Cak Durasim ( 16 oktober 2016 )/BangbangWetan/Reportase/TAAT

Hal yang sangat mendasar dari kekeliruan masyarakat selama ini adalah mengartikan Taat sebagai Patuh. Ketaatan disamakan sebagai kepatuhan. Untuk mencapai ketaatan, seseorang (seolah-olah) harus (mau tidak mau, suka tidak suka) melakukan segala pekerjaan yang diperintahkan oleh orang lain yang berwenang. Salah kaprah ini kemudian membuat manusia membutuhkan banyak alasan untuk melaksanakan segala hal yang berhubungan dengan ketaatan. Padahal kodrat pertama sebagai makhluk adalah taat kepada Sang Pencipta.

Kerap kali manusia melaksanakan salat lima waktu karena takut dosa dan akhirnya masuk ke dalam pintu neraka. Di samping itu, manusia mengharapkan kebahagiaan surga. Kepatuhan yang sudah mainstream di kalangan masyarakat membuat manusia berhenti pada capaian rutinitas ibadah semata. Hasilnya adalah melakukan ibadah tanpa kenikmatan rohani.

 

  • TAAT SANGAT DEKAT DENGAN CINTA

Kemudian Dia menuju kepada penciptaan langit dan langit itu masih merupakan asap, lalu Dia berkata kepadanya dan kepada bumi: ‘Datanglah kamu keduanya menurut suka hati (tou’atan) atau terpaksa.’ Keduanya menjawab,”Kami datang dengan suka hati.”

QS Fussilat:11

 

Melalui ayat tersebut, Kyai Muzammil membuka pemahaman terkait definisi Taat, yang dalam bahasa arab disebut Tou’at. Dalam pengetian ini, taat adalah melakukan sesuatu dengan kerelaan hati. Ayat tersebut menggambarkan ketaatan langit dan bumi kepada Allah untuk memenuhi panggilanNya. Terdapat dua kata yang dapat dijabarkan dari kata Tou’atan, yakni ‘sukarela’ (suka hati) dan terpaksa. Seluruh dimensi fisik, dalam hal ini langit dan bumi, sebagai bagian dari alam semesta pasti taat kepada penciptanya. Tak terkecuali dimensi fisik manusia. Jasad pasti mengikuti sunnatullah. Salah satu bentuk ketaatan jasad adalah menua pada waktunya. Ia lahir, tumbuh, sehat, sakit, dan mati sesuai kehendakNya.

 

Hanya kepada Allah-lah sujud segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan kemauan sendiri atau pun terpaksa, (dan sujud pula) bayang-bayangnya di waktu pagi dan petang hari.”

QS Ar-Ra’d:15

 

Dalam dinamika kehidupan, manusia tidak dapat lepas dari naik-turunnya kerelaan hati. Sepanjang hidup, manusia berjuang untuk mempertahankan ketaatan pada maqom tertinggi yang bisa dicapai. Berhasil atau tidaknya pelaksanaan taat tergantung seberapa besar kadar kerelaan atas pelaksanaan perintah-perintah Allah. Ada golongan manusia yang beribadah karena taat, ada pula yang terpaksa. Maka Allah mengirimkan Nabi dan RasulNya untuk menyeru agar manusia senantiasa taat. Dalam perjalanan dakwah, seorang nabi tidak memaksa kaumnya untuk taat kepada Allah. Setiap seruan dilakukan dengan kelembutan dan cinta sehingga kita digiring secara tidak sadar untuk taat pada para Nabi dan Rasul dalam rangka kepatuhan kepada Allah.

Di samping itu, Kyai Muzammil juga menuturkan bahwa semua kebaikan yang ada di dunia hakikatnya adalah tetesan dari Nur Muhammad SAW. Kebaikan-kebaikan yang kita temui di dunia hanya terdapat pada Allah dan Nur Muhammad. “Ibarat memancing, dakwah para nabi mampu mengambil ikan tanpa membuat air menjadi keruh.” tutur Kyai Muzammil lebih lanjut. Perumpamaan ini menggambarkan betapa para nabi dan Rasul teramat lembut mengajak orang lain taat kepada Allah. Bukan dalam bentuk paksaan-paksaan, melainkan mengedepankan cinta dan kasih sayang.

Saat ini banyak pemimpin atau pemegang kekuasaan yang tidak mampu merengkuh hati masyarakat dengan cinta. Mereka lebih mengedepankan tindakan represif baik secara halus maupun terang-terangan agar ditaati. Mereka pun tidak jarang menggunakan hukum untuk melindungi dirinya sendiri. “Kalau ingin ditaati, jangan sering memaksa, jangan terlalu banyak menggunakan bahasa ancaman. Muhammad itu Nabi yang terasa berat olehnya apa yang menjadi penderi­taanmu. Jadilah orang yang memiliki kasih sayang, maka orang lain akan taat kepadamu.” demikian tambah Kyai Muzammil.

Ditekankan kepada pemegang otoritas (Ulil Amri), mereka perlu meneladani sikap nabi yang mendahulukan pemenuhan ummat sebelum memenuhi kepentingan dirinya. Menjadi pemimpin saat ini bukan lagi tentang menciptakan ketaatan rakyat melalui penegakan hukum saja melainkan membangun kebaikan moral dan menunjukkan cinta. “Bukankah segala sesuatu yang didasari dengan kerelaan tidak perlu dipaksakan untuk dilakukan.” Kyai Muzammil menekankan Sekali lagi bahwa taat sungguh teramat dekat dengan cinta.

img_0675 

  • KUDA-KUDA KEBAHAGIAAN TERLETAK PADA KETAATAN

Setelah mendapatkan landasan pemahaman terkait pengertian taat dari Kyai Muzammil, Mas Sabrang mewedhar pemaparan tentang penerapan konsep sukarela dalam muamalah (tindakan) sehari-hari. Tingkatan ketaatan manusia (dapat) diklasifikasikan menjadi tiga golongan, yaitu (1) manusia yang melakukan sesuatu secara sukarela namun masih mengeluhkan beratnya; (2) manusia yang secara sukarela dan gembira setelah melakukan ketaatan; dan (3) manusia yang sudah tidak butuh konsep apapun untuk melaksanakan ketaatan. Tingkatan ketiga adalah golongan ikhlas, inilah yang telah menyatu dalam gelombang fitrah sebagai Makhluk Allah. Tanpa mengingat sebab-sebab pelaksanaan ketaatan, mereka adalah manusia yang tidak lagi memerlukan alasan untuk taat kepada Allah.

Taat bukanlah sekadar perilaku mematuhi. Taat merupakan kuda-kuda untuk melakukan suatu kepatuhan. Kuncinya adalah kesukarelaan. Untuk menjadi makhluk yang taat kepada Tuhan, manusia harus melepaskan diri dari sifat keterpaksaan. Antitesisnya, menyuruh manusia untuk taat justru sama saja dengan menjauhi ketaatan. Menuju kesukarelaan dimulai dari menanggalkan motif duniawi yang bisa jadi memberatkan hati untuk ikhlas. “Cinta itu butuh pengorbanan,” sambung Mas Sabrang, “… yang ngomong begitu, dia belum paham artinya cinta.” Sejalan dengan Kyai Muzammil, bahwasannya taat dekat dengan cinta. Mereka yang benar-benar cinta pasti tidak lagi merasa terbebani, sebab mencintai tidak memerlukan konsep pengorbanan dan tidak membutuhkan pamrih kepada yang dicintainya.

        “Orang modern berkata, Lakukan apa yang kamu cintai, kerjakan dengan terus-menerus sampai kamu ahli di bidang tersebut, orang akan membutuhkanmu dan jangan mau jika tidak dibayar.” ujar Mas Sabrang pada saat menjelaskan persoalan aplikasi ketaatan di dunia pekerjaan. Banyak orang yang bekerja karena sukarela, cinta, dan senang hati justru lebih banyak mendapatkan bobot keilmuan daripada yang sekedar rutinitas saja. Mereka yang rela melakukan apa saja yang dia lakukan tidak butuh kata sukses untuk mendapat kebahagiaan.

        Maqom orang rela adalah derajat yang lebih tinggi di mata Tuhan. Wujud kecintaan pada ketaatannya itulah yang membuat seseorang dicintai lebih dari mereka yang beribadah dengan terpaksa. Terhadap orang-orang taat, Allah membukakan jalan untuk segala macam permasalahan. Mereka yang taat tidak membutuhkan garis finish untuk mendapatkan kebahagiaaan. Karena pada kerelaan itulah letak kebahagiaan.

 

  • MEMAHAMI DIRI DAN MENEMUKAN KEUTUHAN

        “Hikmah itu bersifat statis ataukah dinamis?”, Mas Acang menggelitik pembicara malam itu dengan sebuah pertanyaan yang dilatarbelakangi cerita terkait konsistensi seseorang dalam ketaatan.

Karena ketelatenan seseorang menjadi expert di bidang tertentu. Sayangnya keahlian tersebut tidak dapat diterapkan di tempat lain karena perbedaan situasi dan kondisi. Diilustrasikan bahwa seorang pemancing men­dapatkan hasil tangkapan yang berbeda bergantung tempat ia melakukan aktifitasnya. “Apakah hikmah itu harus didapat melalui proses jangka panjang dan observasi secara terus-menerus seperti ‘ilmu titen-nya’ orang Jawa?”, lanjut Mas Acang yang kemudian mengambil contoh lain. “Orang tua cenderung mempercayakan tanggung jawab kepada anak yang (dipandang) lebih taat dibanding anak yang perlu diperintah terlebih dahulu untuk mau melaksanakan suatu kegiatan. Dengan demikian, Apakah pemberian tanggung jawab sering dipercayakan kepada yang terbiasa sukarela?”.

       Mas Sabrang menjawab pertanyaan tersebut dengan menggiring ingatan jamaah. Dataran bumi yang kita sangka diam ini ternyata sepanjang waktu bergerak di luar kesadaran kita. Begitupun hikmah, tidak dapat diukur skala statis atau dinamisnya. Manusia tidak memiliki standar ukuran baku yang bisa diterapkan kepada semua nilai kehidupan.

Hidup berada dalam keseimbangan yang bergerak, seperti gasing yang terus berputar untuk statis tegak pada posisinya. Kehidupan di dunia tidak akan bisa lepas dari dua kutub positif dan negatif. Dinamikanya tidak mudah dirumuskan. Dalam satu titik kejadian, manusia dapat mengambil hikmah yang tak terbatas intensitasnya.

Variabel perbedaan hikmah yang diambil oleh masing-masing individu sangat beragam, baik kutub positif maupun negatifnya. Keseluruhannya bergantung sudut pandang dan jarak pandang yang digunakan. Beragam mekanisme dapat dibayangkan, tetapi tidak ada satu pun yang dapat memastikan makna yang diambil seseorang dari dalamnya. Manusia tidak bisa memberi kerangka pada hikmah, kecuali dengan perolehan hikmah yang lebih tinggi.

Mas Sabrang menambahkan bahwa berdamai dengan kesakitan adalah salah satu cara mengenal diri sendiri. “Jangan hanya mencari kebahagiaan dalam hidup. Pahamilah kebahagiaan, kesedihan, kemarahan, kekecewaan dan semua aspek kehidupan. Karena itu adalah bagian dirimu. Hidup adalah mencari keutuhan bukan mencari kesenangan. Karena tanpa utuh kamu tak akan menemukan dirimu yang sesungguhnya”

 

  • ANALOGI PENDULUM DALAM KEHIDUPAN

Lebih lanjut, Mas Sabrang menguraikan ilmu komprehensi manusia terhadap sebuah keada­an. Hidup manusia selalu ada pada dinamika positif-negatif. Komprehensi atau pertimbangan lebih luas diperlukan untuk mengambil keputusan yang tepat dan merupakan sebuah tanggung jawab besar.

Mas Sabrang kemudian menjabarkan analogi dari sebuah pendulum. Kalau kesadaran terletak pada ujung pendulum, ilmunya pun masih pada ujung pendulum, dinamika ayunannya menjadi jauh. Artinya, akan semakin luas rentang ketidak-stabilan yang dihadapi. Rentang tersebut terkait dengan kondisi tauhid manusia yang dinamis, mudah terombang-ambing keadaan. Masih goyah keimanannya oleh sedih-senang, kaya-miskin, baik-buruk, dan berbagai antitesis lain. Semakin ke pusat pendulum, semakin pendek pula rentang ketidak-stabilan penyikapan terhadap sesuatu, Pusat pendulum menandakan tingkat tauhid yang statis bergerak. Jika dalam hidup manusia hanya berharap kestabilan pada rumusnya, maka dia harus bersiap kecewa. Hidup manusia selalu ada pada dinamika positif dan negatif. Bahkan konsep syahadat pun bersifat sangat dinamis. Tiada Tuhan selain Allah.

Pencapaian manusia untuk tetap seimbang dalam sebuah dinamika memang tidak mudah. Untuk tidak merasa sedih, kita tidak bisa menghindari kesedihan melainkan harus berdamai dengan kesedihan itu sendiri. Untuk tidak basah kuyup dalam hujan, manusia tidak bisa menghen­tikan hujan. Yang harus dilakukan manusia adalah berteduh atau memekarkan payung, kecuali mereka yang sudah sungguh-sungguh bersiap terhadap keda­tang­an hujan. “Pada mulanya hanya ada Aku (Tuhan), kemudian diciptakan Engkau (manusia). Adanya Aku dan engkau ini menjadikan sebuah keterpisahan, ada jarak antara keduanya sehingga muncul rasa kangen. Rindu. Dan pada akhirnya timbul keinginan untuk saling mendekat.” ungkap Mas Sabrang sekaligus menjelaskan bahwa sebenarnya manusia berasal dari Allah dan senantiasa mencari keutuhan kembali dengan Sang Pencipta.

Jawaban dari keraguan atas keseimbangan diri sesungguhnya adalah kesiapan terhadap dinamika untuk mengambil hikmah sebanyak-banyaknya. Bersedia untuk siap dalam berbagai kondisi yang dihadapi bisa jadi bekal untuk menemukan diri sendiri. Bagian dari mengenal diri adalah merangkul semua aspek. Mengakui keberadaan setiap bagian dari diri sendiri agar tidak ada satupun darinya yang menuntut eksistensi. Tidak melulu mencari kesenangan, namun mencari keutuh­an. Tanpa utuh, manusia tidak akan menemukan diri yang sejati.

img_0678

  • MASYARAKAT REMAJA DAN MASYARAKAT DEWASA

       Menjawab pertanyaan dari Mas Dahlan, “Bagaimana membuat seseorang taat dan patuh meski tanpa memberikan hukuman atau sanksi?” Kyai Muzammil menegaskan sekali lagi bahwa ketaatan itu bukan melulu soal kepatuhan. “Apakah manusia akan taat kepada Allah dan Rasul, ataukah menyerah pada ajakan atau rayuan dunia? Manusia yang menyerah dan kalah adalah yang tergoda pada ajakan dan rayuan dunia. Orang-orang yang menyerah pada harta, tahta, wanita, sebenarnya sedang mengalami sebuah penderitaan, mereka mengibarkan bendera putih, bertekuk lutut pada dunia.” Hukum dunia tidak menciptakan ketaatan, tapi kepatuhan. Di atas hukum ada moral, di atasnya lagi ada cinta. Kalau hanya sekadar hukum, pemerintah dipastikan menjadi pemaksa yang tidak ragu melakukan berbagai cara melalui peraturan-peraturan tegas.

Ada tiga tingkatan manusia berdasarkan tingkatan ketaatan. Manusia Hukum, Manusia Moral, dan Manusia Cinta. Dalam pemerintahan, saat ini banyak ditemukan ‘Manusia Hukum’. Hal ini tercermin pada pemerintahan yang gagal dalam mengelola rakyat, terlalu sering memaksakan kehendak, dan gagal menciptakan kenyamanan bagi rakyatnya. Banyak pemimpin yang mengedepankan hukum tetapi dalam artian negatif. Yang mereka lakukan adalah menuntut dan meminta pertolongan kepada hukum untuk melin­dungi dirinya. Manusia Moral dan Manusia Cinta semakin jarang ditemui. Merekalah sesungguh­nya yang terus-menerus menebarkan kebaikan perilaku dan perkataan terpuji.

Mengonfirmasi keadaan yang terjadi akhir-akhir ini, Mas Sabrang mengungkapkan bahwa masyarakat kita masih dalam kategori Masyarakat Remaja. Karakter masyarakat ‘pacaran’ yang sampai sekarang melekat di lingkungan kita. Hal ini menguntungkan bagi sebagian pihak untuk menggiring opini dalam memilih calon pemimpin dengan janji dan hal-hal yang sifatnya psikologis. Mereka menawarkan bualan melalui kata-kata, membuai bak rayuan layaknya pasangan yang sedang berpacaran. Sebaliknya, sedikit sekali Masyarakat Dewasa, yakni masyarakat yang mengedepankan logika berpikir. Mereka dapat merespon informasi dengan berbagai sudut pandang yang realistis. Selain itu, mereka tak mudah dibohongi oleh sekadar warta yang ditampilkan media. Diperlukan mengingat kembali dan mengatur ulang prioritas apa saja yang menjadi lingkar perhatian kita agar  bisa menjadi Masyarakat Dewasa.

 

  • BERSYUKUR TERHADAP KETERBATASAN

Sebuah pertanyaan dari Mas Bagus “Apakah masa depan bisa dirasionalkan mulai dari saat ini?” dibeberkan Mas Sabang melalui konsep ilmu Jawa weruh sakdurunge winarah dan analogi permainan bilyard. Syarat mengetahui masa depan adalah mengetahui seluruh komponen yang memungkinkan suatu hal akan terjadi. Hampir tidak mungkin manusia dapat secara tepat menebak-nebak masa depan. Teramat sulit memahami seluruh komponennya, sedangkan kemampuan indera milik manusia sangatlah terbatas. Otak manusia didesain hanya fokus pada suatu hal, tidak untuk memahami semua komponen. Ketika sedang fokus membaca buku, otak tidak dapat sekaligus fokus mendengar hal-hal yang diucapkan padanya. Dengan kata lain, jika hanya mengandalkan otak untuk berpikir, ia tidak dapat sekaligus menangkap banyak peristiwa.

Pengetahuan tentang masa depan adalah kehidupan yang sangat tidak mengenakkan. Manusia yang diberi pengetahuan tentang masa depan sudah pasti sukarela menanggung semua konsekuensinya.

Yang mampu menampung banyak pemahaman adalah rasa dan pengalaman. Mereka yang terbiasa menggunakan rasa dalam memproses segala informasi seringkali punya kemampuan untuk memahami berbagai situasi, sebab yang paling tuning dengan mekanisme alam semesta adalah rasa. Melalui rasa, manusia punya banyak sambungan yang luas dengan alam semesta, dan dimungkinkan dapat mengintip masa depan. Meskipun demikian, sesungguhnya tidak menyenang­kan untuk mengetahui masa depan. Memberikan pengetahuan tentang masa depan mengandung tanggung jawab yang besar, karena hal tersebut akan mempengaruhi perjalanan hidup manusia yang lain. Oleh karena itu hanya orang-orang yang mampu memikul tanggung jawab besarlah yang diberi titipan pengetahuan tentang masa depan. Saat ini hal terpenting yang bisa dilakukan justru men­syukuri ketidaktahuan. Dari sanalah kita tahu dari keadaan tidak tahu dan selanjutnya mengalami kenikmatan dalam penemuan-penemuan.

Mas Acang sedikit menambahkan bahwa Cak Nun pernah mengatakan bahwa jika semua orang tahu lima menit masa depan kita, dunia akan hancur. “Dunia hancur ketika manusia sadar bahwa dunia adalah ilusi,” demikian tanggapan Mas Sabrang. Manusia yang bisa melihat masa depan adalah manusia yang tahu bahwa dunia sekadar ilusi. Hal ini pun dikuatkan oleh Kyai Muzammil bahwa dalam Qur’an dijelaskan pula bahwa ‘hidup di dunia adalah ilusi.’

 img_0682

  • DUA SAYAP YANG MENGEPAK KE LANGIT

Pertanyaan Mas Harjito dari Trenggalek tentang “Doa bagaimana yang diterima oleh Allah?” dijawab Kyai Muzammil dengan melantunkan penggal nyanyian, Afdholu ‘du’a, Alhamdulillah ‘doa terbaik adalah Alhamdulillah’. Bersyukur dalam keadaan apapun meski berat. Allah menyukai orang-orang yang bersyukur, senantiasa mengambil sisi baik dari setiap keadaan. Kyai Muzammil kembali mengutip ayat berikut ini.

 

“Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yang lurus; ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir.”

QS Al-Insan: 3

 

Dengan demikian hanya ada dua jalan bagi manusia, yakni menjadi orang-orang yang bersyukur atau menjadi kafir. Manusia sendirilah yang memilih.

Keutamaan syukur ini juga diperkaya oleh Mas Sabrang terkait alasan doa paling baik adalah syukur. “Tuhan itu Maha Memberi. Baik atau buruk? Semuanya sesuai dengan sangkaan hambanya. Sesuai sangkaan, berarti tergantung bagaimana manusia menyikapi keinginannya. Alam tidak melihat baik-buruk. Tidak ada baik dan buruk kecuali manusia memberi makna. Satu-satunya makhluk yang punya tolak ukur atas itu hanya manusia.”

        Mas Sabrang mencontohkan salah satu kisah hidupnya yang seharian mengalami kesialan. Ketika bangun tidur merasa sial, maka seharian kesialan kecenderungan akan terus menghampiri. Berbeda halnya bila saat bangun tidur kita merasakan syukur. Kyai Muzammil menambahkan pernyataan Mas Sabrang dengan hadist ‘Tuhan Maha Memberi sesuai sangkaan para hambaku’.

Semua hal yang dialami manusia bisa menumbuhkan kualitas perjalanan kemanusiannya. Jangan menuntut apapun kepada Tuhan, karena tidak pernah cukup kita bersyukur terhadap apa yang kita miliki. Berhubungan dengan Tuhan tidak selalu urusan meminta tetapi adalah urusan bersyukur. Semakin kita bersyukur dan berusaha, Tuhan akan semakin terharu dengan kebodohan manusia dalam mencari ridhoNya.” Demikian penjelasan Mas Sabrang tentang doa.

Selanjutnya Mas Sabrang menegaskan bahwa segala konsepsi baik-buruk yang terbangun telah didefinisikan manusia sejak ia tumbuh. Manusia sendiri yang punya keputusan untuk mengambil kebaikan-kebaikan yang ada, bukan semata-mata Allah yang memberikan. Sementara Malaikat saja sujud pada manusia, berebut menyampaikan berkah dan kebaikan kepada mereka yang berprasangka baik kepadaNya. Allah melalui malaikatNya akan memberi sesuai apa yang kita sangkakan. Semua yang dialami manusia, baik atau buruk, ada karena dia harus tumbuh melalui ilmu-ilmu yang terdapat di dalamnya. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan selain keridhoan manusia terhadap ketetapan. “Mulailah memahami sesuatu sebagai jalan untuk mendekatkan diri dengan Allah. Bersyukur itu cara mengartikan peristiwa dengan baik. Terlalu banyak hal yang luput kita syukuri, bahkan untuk merincinya saja bisa jadi kita kehabisan alasan keinginan untuk meminta.” terang Mas Sabrang.

Mas Acang kembali memaparkan hal yang pernah diceritakan Cak Nun terkait relasi kerelaan melakukan sesuatu dengan dikabulkannya doa dari Tuhan. Misalkan ada dua orang anak, yang satu perlu disuruh dahulu agar mau melakukan sesuatu, sedangkan anak yang kedua tanpa disuruh sudah sadar untuk melakukan sesuatu. “Dari kedua anak ini kepada siapakah kita akan menitipkan dan mempercayakan sesuatu?” tanya Mas Acang kepada para jamaah.

Mas Acang menekankan bahwa segala hal yang menimpa kita sesungguhnya merupakan sebuah pemberian. Inilah syukur. Ketika berdoa bukan berarti kita sedang meminta sesuatu kepada Allah. Pengertian doa itu sendiri adalah ‘menyapa’, sebuah ungkapan keakraban yang penuh cinta kepada Sang Pencipta.

Berdoa dilakukan dengan sikap berharap dan cemas, yakin pasti sampai, namun khawatir pula jika tidak didengarkan. “Ibarat sayap, keduanya (yakin dan khawatir) harus mengepak bersama agar mampu naik dan mencapai langit.” Masih menyoal doa, lebih lanjut Mas Sabrang menyatakan istilah rentang Insya Allah. Kita harus yakin terhadap doa, tetapi tidak boleh memastikan. Ketika anak busur direntangkan, kita harus sungguh-sungguh yakin, meski persoalan ketepatan sasaran adalah urusan Allah semata.
; Redaksi ISIMBangbangWetan 2016 – [redaksi@bangbangwetan.org]