Arsip, Reportase

Reportase BbW Juni 2016 Berbukalah DENGAN KE-ADIL-AN

HALAMAN kompleks Balai Pemuda yang memang telah ramai sejak sore perlahan-lahan mulai dipadati banyak orang. Tak lama selepas sholat tarawih di masjid-masjid sekitar Balai Pemuda berakhir, mengalunlah lantunan surah Ar-Rahman yang dilanjutkan dengan sholawat kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW.

Hari itu, Senin, 20 Juni 2016 bertepatan dengan malam 16 Ramadan 1437 H, Bangbang Wetan (BbW) kembali dilaksanakan sesuai jadwal setelah pada bulan Mei menep, menyatu, dan bermesraan dengan ibu dari segala acara Maiyahan, Padhang mBulan, dalam rangkaian Ihtifal Maiyah di Mentoro, Sumobito, Jombang.

bbw-juni-5

BbW Juni yang mengambil tema “Berbukalah Dengan ke-ADIL-an” dihadiri kembali oleh guru kita, Cak Nun, setelah 3 bulan menemani BbW dari tempat yang berbeda. Menemani beliau, juga ada Kyai Muzzammil, Pak Ali Masyhar (kepala SKK Migas Jabanusa), dan Ibu Hesti Armiwulan serta Pak Suko Widodo yang mewakili kalangan akademis.

Namun sebelum beliau-beliau yang memberikan paparannya, seperti biasa Mas Amin, Mbak Viha dan Mas Acang beserta empat jamaah yang dipilih secara acak terlebih dahulu menyapa para jamaah yang lain sembari sedikit memaparkan pendapat tentang tema pada malam hari itu. Selain menjabarkan tentang tema, Mas Amin juga menanyakan hal-hal umum terkait latar belakang keempat jamaah yang naik ke atas panggung dan juga tentang awal mula pertemuannya dengan Maiyah. Keempat jamaah ini pun menceritakan tentang pengalaman awal mula mengenal Maiyah dan bagaimana persepsi mereka tentang tema.

bbwjuni3

Mbak Viha sebagai perwakilan tim tema BbW yang memulai pembahasan tema menjelaskan bahwa yang menjadi titik tekan dalam keadilan adalah soal adil. Isu-isu tentang keadilan itulah yang kemudian mendorong manusia untuk membuat perangkat-perangkat seperti hukum dan peraturan sehingga diharapkan tercipta suatu keadaan adil yang nanti pada akhirnya menuju ke arah makmur (kemakmuran). Mas Acang yang juga dari tim tema menambahkan bahwa adil juga berlaku terhadap diri sendiri. Mas Acang mengambil contoh dari kata-kata Cak Nun di Mocopat Syafaat (Jogjakarta) beberapa waktu yang lalu bahwa kalau kita sholawatan terus itu tidak adil terhadap diri kita, karena adil itu jangan hanya berlaku bagi hati (kalbu), tetapi kita juga harus berlaku adil terhadap otak (intelegensi).

“Semakin seseorang itu luas cakrawala berfikirnya, semakin jembar atine, semakin padhang pikirane, semakin banyak referensinya, semakin memahami cara dan sudut pandang orang lain, akan semakin berpeluang untuk bisa bersikap adil” – Mas Acang.

Sejenak setelah mendengarkan pembacaan puisi dari teman-teman penggiat BbW yang malam ini membawakan puisi dari rubrik ‘Lubuk’ (puisi-puisi dari Cak Nun yang dibuat dan diupload di caknun.com bertepatan dengan Bulan Ramadan) Mas Acang kembali memaparkan wedharannya tentang hukum dan keadilan.

bbw-juni-6

Keadilan itu tidak semata-mata menghukum orang yang bersalah dengan hukum yang berlaku. Mas Acang mencontohkan dengan kisah seseorang di jaman kekhalifahan Umar bin Khattab yang tak dihukum walau mencuri, karena dia mencuri setelah dua bulan tak dibayar oleh majikannya. Serta kisah seseorang di jaman Rasullullah yang melakukan “pelanggaran” di bulan Ramadhan namun tidak dihukum karena orang tersebut tidak mampu membayar kafarat. Keadilan memberikan kita kesempatan untuk melihat dari sudut pandang, jarak pandang, dan cara pandang. Banyak hal yang dibutuhkan untuk mencapai titik keadilan. Bagi seseorang yang menjalankan puasa karena terpaksa, maka setiap berbuka akan dianggapnya “hari raya kecil” untuk melampiaskan penahanan dirinya ketika berpuasa. Berbanding terbalik dengan kaum “marjinal” yang menahan lapar dan minum sepanjang waktu hidupnya. Sangat penting untuk berbuka dengan keadilan, bukan pelampiasan.

Setelah pembabaran Mas Acang, tak ketinggalan para jamaah juga turut membagikan ilmu dan pandangannya tentang tema. Keadilan harus sesuai porsi dan kebutuhannya masing-masing, demikian pendapat Mas Aris dari Surabaya tentang syarat keadilan. Kemudian Mas Yahya dari Sidoarjo menjelaskan bahwa seakan-akan kita berpuasa terhadap keadilan dan sudah saatnya kita berbuka terhadap keadilan sesuai porsinya masing-masing. Kita dihanyutkan oleh kondisi sosial yang ada di Indonesia. Seolah-olah kita sudah dalam kondisi adil, tetapi pada kenyataannya kita masih berada dalam ketidakadilan. Selanjutnya estafet mic menuju Mas Dian dari Tulungagung yang menyatakan bahwa berbuka harus dengan keadilan, baik keadilan dengan diri sendiri maupun keadilan yang berasal dari luar diri. Selanjutnya, Mas Dwi dari Surabaya menyatakan bahwa puasa adalah sekolah untuk mencari titik tengah dari keadilan.

Tepat pukul 22.10, setelah jamaah memaparkan pendapatnya tentang tema, kembali teman-teman BbW kembali naik ke atas panggung untuk memberikan hiburan berupa lantunan lagu dengan aransemen dadakan tanpa latihan sebelumnya.

Pak Suko mengambil alih peran sebagai moderator dari Mas Amin untuk memandu jalannya diskusi bersama Cak Nun, Kyai Muzzammil, Pak Ali Masyhar, dan Ibu Hesti Armiwulan.

bbwjuni-2

Kyai Muzzammil yang semakin hari semakin mendapat tempat di hati para jamaah mulai memberikan wedaran ilmunya. Suasana khas pun tersaji. Guyonan-guyonan cerdas nan mesra antara Kyai Muzzammil dan Pak Suko selalu mengiringi setiap pagelaran BbW, tak terkecuali malam itu.

 

Ibadah Yang (seharusnya) Paling Sunyi

Kyai Muzzammil mengawali wedharan ilmunya dengan definisi puasa. Puasa adalah ibadah yang paling sunyi, namun yang terjadi dalam lingkungan masyarakat modern adalah kegaduhan dan keramaian dalam hal apapun. Mulai dari melarang para pedagang untuk jualan makanan, debat tentang slogan “hormatilah orang yang berpuasa”, dan lain sebagainya. Jangan-jangan kita sedang mendemonstrasikan puasa, bukan benar-benar sedang berpuasa? Pertanyaan reflektif dari Kyai Muzzammil mulai mengganggu pemikiran mainstream  jamaah.

Kyai Muzzammil menambahkan referensi dari Al-Hikam untuk menguatkan pendapatnya. Dalam Al-Hikam dijelaskan bahwa “tidak ada amal yang lebih bisa diharapkan diterima oleh Allah SWT melebihi amal yang dirahasiakan”.

Islam Agama Keadilan

Kata adil dalam bahasa Arab berasal dari salah satu Asmaul Husna yaitu Al-‘Adlu. Salah satu pengertian adil adalah inshof  yang berarti berada di tengah. Adil tidak memihak terhadap sesuatu hal, harus berada di tengah-tengah. Keadilan membutuhkan objek untuk menjadikannya benar-benar adil. Kyai Muzzammil mencontohkan bahwa ‘Allah adil kepada manusia’, ‘pemimpin adil terhadap rakyatnya’, ‘guru adil terhadap muridnya’. Sambil menjelaskan tentang keadilan, Kyai Muzzammil mengajak jamaah untuk bersama-sama melantunkan Asmaul Husna dalam bentuk lagu. Suasana khusyuk melingkari jamaah yang mengingatkan pada suasana ngaji di surau-surau pedesaan.

bbw-juni-7

Allah adil dalam memberikan hak dan menentukan kewajiban kepada makhluknya. Adil keluar (yang berkaitan dengan orang lain) merupakan dampak dari keadilan dalam diri sendiri. Keadilan dalam diri sendiri adalah keadaan ketika manusia bisa menyeimbangkan pemenuhan dan pengelolaan terhadap rohaninya.

Manusia terdiri dari jasmani dan rohani. Jasmani adalah alat dari kerohanian yang ada di dalam diri kita. Menurut Al-Ghazali, rohani terdiri dari nafsu, akal, hati, dan ruh. Nafsu memiliki dua kepentingan yaitu syahwat dan emosi. Akal adalah alat untuk mengatur, berfikir dalam memahami sesuatu. Yang bisa membuat manusia berlaku adil adalah hatinya. Hati nurani bertugas mengatur segala hal yang berkaitan dengan rohani. Jadi, yang dimaksud berbukalah dengan keadilan adalah selalu sertakan hati nurani dalam segala perilaku kita sehari-hari.

Islam adalah agama keadilan. Islam mengedepankan nilai sebagai titik tekan keagamaannya. Tingkah laku dalam kehidupan bermasyarakat adalah salah satu indikator keislaman. Islam berada di tengah-tengah dalam segala sesuatu. Salah satu contohnya adalah sunnah makan. Makanlah asal tidak kekenyangan. Bersedekahlah tapi jangan seluruh hartamu disedekahkan. Demikian Kyai Muzammil mengakhiri penuturannya.

Pak Ali Masyhar yang mendapat giliran berikutnya menungkapkan bahwa beliau selama ini diam-diam menyimak Cak Nun dalam pengajian-pengajiannya melalui media elektronik. Pak Ali mengungkapkan kekagumannya terhadap keberlangsungan Maiyahan yang semalam suntuk tanpa lelah membahas hal-hal berkaitan tentang keberlangsungan bangsa.

 

Falyatallatof,  Belajar Memahami Kelembutan

Lepas tengah malam, jamaah semakin khusyuk mengikuti Maiyahan malam itu. Cak Nun memulai pemaparan ilmu dengan mengelaborasi segala yang disampaikan di Padhang mBulan dan oleh narasumber sebelumnya supaya ada akselerasi ilmu dan pemahaman.

bbw-juni-1

Yang pertama, Maiyah bukan organisasi, Maiyah hanya menyiapkan manusia untuk menjadi benar-benar manusia. Yang kedua, salah satu ciri manusia adalah mempunyai kesanggupan untuk mempertanyakan dan menyiapkan kesanggupan yang lain untuk menjawab pertanyaannya. Cak Nun mencontohkan dengan memahami Laa Ilaha Ilallah. Dipahami dulu tentang Laa Ilaha yang selaras dengan pertanyaan, kemudian dicari mana Ilallah yang selaras dengan jawaban dari pertanyaan. Inilah yang dilupakan oleh proses pembelajaran dalam bidang apapun.

Tidak ada yang salah dengan kalimat berbukalah dengan keadilan. Salah satu watak keadilan adalah tidak boleh tidak mengaitkan sesuatu yang terkait. Misalnya melihat badan tanpa melihat jiwa, itu adalah salah satu ketidakadilan. Jangan ada satu unsur dalam rangkaian hidup ini yang tidak kita perhitungkan. Kemudian Cak Nun menggiring pembicaraan terhadap Pancasila. Pancasila adalah urutan untuk menggapai sila kelima. Mulai dari sila pertama sampai sila keempat adalah urutan untuk mencapai keadilan sosial. Titik keadilan harus tetap diterapkan dalam kondisi apapun.

Yang paling substansial untuk disebar dalam Bulan Ramadan adalah Falyatallatof, memiliki tradisi kelembutan untuk memahami konteks-konteks, memahami simbol-simbol, dan memahami amsal-amsal. Ramadan adalah bulan kontemplasi. Kita harus masuk kepada tingkat terlembut yang bisa kita capai. Titik yang terkecil dari makhluk Allah di dalamnya adalah alam semesta yang ada kita di dalamnya. Besar dan kecil adalah dinamika. Kita dinamis antara kecil dan besar, di antara mikro dan makro. Hidup adalah hologram, jangan percaya terhadap materialisme.

Nafsu adalah pendaran-pendaran dari petugas Allah yang mempengaruhi akal untuk tidak obyektif, mempengaruhi hati untuk tidak jujur, mempengaruhi syahwatmu untuk berlaku buruk, dan mempengaruhi perut untuk membesarkan “budaya kuliner”, untuk menciptakan demand dan supply  ekonomi Ramadan yang lebih tinggi dari pada bulan-bulan lainnya. Seharusnya Ramadan adalah ibadah yang paling sunyi, bukan beramai-ramai. Demikian penuturan Cak Nun merespon pernyataan Kyai Muzzammil tentang puasa.

 

Syiam dan Shoum

Penjelasan Cak Nun kemudian bergeser kepada penjelasan antara syiam dan shoum. Syiam adalah menahan makan dan minum mulai dari terbitnya fajar sampai terbenamnya matahari. Sedangkan Shoum adalah pemaknaan dan aplikasi syiam dalam segala bidang dan aktifitas hidup. Kalau shoum tidak diterapkan terhadap segala policy dalam setiap pengelolaan maka hancurlah dunia ini. Harus ada pembatasan-pembatasan yang jelas dalam segala bidang. Salah satu poin puasa adalah imsak yang berarti mengendalikan atau menahan. Imsak dilagukan untuk mengingatkan bahwa sebentar lagi kita harus mengendalikan dan melakukan puasa.

IMG_9251

Cak Nun menggiring lagi pembahasan mengenai sikap masyarakat modern terhadap bulan Ramaddan. Yang menjadi fokus dan dirindukan oleh masyarakat modern adalah pada Ramadannya, bukan puasanya. Padahal Ramadan adalah kulit, sedangkan puasa adalah isinya. Cak Nun sedikit menggunakan kalimat idiomatik untuk menggugah hati jamaah memahami simbol-simbol kelembutan yang disebut falyatallatof.

“Kenapa tidak engkau Ramadankan seluruh hari-hari sepanjang hidupmu!? Kenapa tidak engkau Ramadankan hatimu dan akal pikiranmu!? Kenapa tidak engkau Ramadankan harta bendamu!? Ramadan berlaku terhadap hidupmu sepanjang masa, karena di dalam konteks Ramadan itu engkau sadar untuk shoum, sadar untuk syiam” – Cak Nun.

 

Ramadan Sebagai Madrasah

bbw-juni-11Rasulullah menyatakan bahwa Al-ramadlanu madrasatun. Ramadan adalah  madrasah atau sekolah. Selama Ramadan adalah waktu untuk belajar, metodenya adalah puasa. Setelah berakhirnya Bulan Ramadan adalah praktek untuk melanjutkan shoum, bukan berfoya-foya dan bebas melakukan apapun diluar kegiatan menahan dan mengendalikan.

Oleh Allah kita dilantik sebagai manusia dengan syahadat. Setelah itu kita dilantik untuk disiplin dengan salat. Setelah disiplin kita dilantik untuk matang secara sosial spiritual dengan zakat. Dengan zakat kita bertauhid secara horizontal sebagai syarat untuk bertauhid secara vertikal. Kalau kita sudah dididik dengan syahadat, shalat, dan zakat, maka kita siap untuk melakukan shoum.

 

Kafir Atau Muslim?

Cak Nun melanjutkan pemaparan dengan pertanyaan yang menggiring jamaah untuk berpikir dan merasakan. “Koen iki kafir opo muslim?”, berikut pertanyaan Cak Nun yang dilontarkan kepada jamaah. Kafir dan muslim tidak bisa berdiri sendiri, pasti ada konteks yang mengiringinya. Kafir adalah menentang atau menutupi kebenaran, sedangkan muslim adalah memperjelas kebenaran. Kalau ada yang bilang “saya muslim.” Artinya adalah saya Islam terhadap Allah tetapi saya kafir terhadap yang bukan Allah. Tidak ada muslim dan kafir tanpa konteks. Cak Nun kemudian mencontohkan dengan hal-hal yang lebih realistis yaitu ‘onde-onde’. Kalau kita tidak yakin terhadap ‘onde-onde’ berarti kita kafir terhadap yang orang lain sebut terhadap ‘onde-onde’. Kita bisa mengganti ‘onde-onde’ dengan hal apapun. Kita bisa menentukan kafir atau muslim terhadap sesuatu hal, itu kebebasan kita. Kita bebas menentukan apapun dalam kehidupan kita.

“Aku bersyahadat kepada Allah dan Rasulullah, dan jangan bermimpi yang selain Allah dan Rasulullah aku syahadati, dan jangan ada siapapun yang memaksaku untuk taat kepadamu selain Allah dan Rasulullah” – Cak Nun.

Demikiran akhir penuturan Cak Nun tentang kebebasan dalam melakukan apapun. Microphone kembali kepada Pak Suko sebagai moderator.

Setelah duet Dimas dan Opik sebagai penampil puisi dan lagu di atas panggung berakhir, Ibu Hesti menambahkan pemaparan dari sudut pandangnya. Ibu Hesti adalah seorang dosen dan aktivis perempuan. Pernah ada pikiran dalam benak Ibu Hesti bahwa “sebenarnya Allah adil atau tidak?”, kemudian beliau mencari jawaban dari pertanyaannya sendiri. Ketika ada pembagian bahwa laki-laki mendapat dua bagian, sedangkan perempuan satu bagian. Beliau menemukan bahwa adil tidak harus sama, adil adalah setara dengan melihat antara hak dan kewajiban. Ketika perempuan mendapatkan satu bagian, maka itu untuk dirinya, sedangkan lak-laki mendapatkan dua bagian bukan hanya untuk dirinya sendiri, melainkan juga untuk anak dan istrinya. Dalam Pancasila sila kedua menyatakan bahwa manusia harus adil kepada siapapun. Sila kelima pun menyatakan bahwa keadilan harus tercapai untuk seluruh masyarakat Indonesia. Ibu Hesti juga menambahkan bahwa ada banyak ilmu yang diambil dari sinau bareng Cak Nun ketika bertemu beberapa waktu yang lalu di Untag, Surabaya. Di bagian akhir, Ibu Hesti menghubungkan dengan fungsi negara yang disusun dalam BPUPKI bahwa Negara Indonesia adalah negara pengurus, bukan negara kekuasaan, tetapi sekarang beralih menjadi negara kekuasaan.

bbwjuni4

Sesi tanya jawab yang ditunggu-tunggu jamaah pun tiba. Beberapa jamaah mulai naik ke atas panggung untuk mengeluarkan pertanyaan dan uneg-unegnya. Kyai Muzzammil mengawali respon pertanyaan dari jamaah. Keadilan bukan berarti kesamaan. Jadi, yang benar bukanlah perjuangan menuntut kesamaan atau kesetaraan gender, tetapi keadilan gender. Manusia diciptakan berbeda-beda dalam rangka keadilan supaya saling melengkapi satu sama lain. Kyai Muzzammil mencontohkan tentang beberapa alat penyusun sepeda yang saling melengkapi. Keadilan adalah menempatkan sesuatu pada tempatnya. Ban ditaruh di tempatnya ban, lampu ditaruh di tempatnya lampu. Semua hal diciptakan untuk berada di tempatnya masing-masing. Tuhan mengamanati tugas dan fungsi yang berbeda-beda dalam setiap apa yang diciptakannya. Tugas manusia adalah mencari tahu dimana tugas dan fungsinya.

Cak Nun memulai jawaban dari pertanyaan para jamaah tentang reinkarnasi. Bebaskan dirimu dari wacana macam-macam tentang segala hal yang aneh-aneh. Kita belum tahu beda antara agama dan tidak beragama. Seluruh pengetahuan tentang kematian sifatnya relatif, tidak perlu terlalu mencari kepastiannya, cukup ditadabburi saja.

Salah satu jamaah menanyakan tentang bagaimana kejelasan kasus lumpur Lapindo di Sidoarjo. Cak Nun kemudian mengundang Mas Slamet yang merupakan salah satu saksi hidup korban lumpur untuk langsung menjawab pertanyaan jamaah. Mas Slamet menceritakan banyak hal tentang kasus semburan lumpur yang telah berlangsung sejak bulan Mei tahun 2006 tersebut. Mulai dari jumlah keluarga yang menjadi korban, luas tanah yang terdampak lumpur, tak adanya peran serta yang nyata dari Bupati Sidoarjo dan Gubernur Jawa Timur, hingga proses dan peran serta Cak Nun sehingga akhirnya para korban lumpur bisa bertemu langsung dengan Presiden (Susilo Bambang Yudhoyono) dan pihak-pihak yang terkait dengan lumpur Lapindo. Saat ini, keseluruhan kasus lumpur sudah selesai berdasarkan perjanjian antara korban lumpur dan dengan pihak-pihak yang terkait lumpur Lapindo sesuai dengan kesepakatan yang dimediasi oleh Cak Nun dan dibantu beberapa jamaah BbW pada saat itu.

Wak Mad (Rahmad Rudianto), salah seorang penggiat BbW yang juga ikut langsung memediasi korban lumpur dengan Cak Nun menambahkan dan mengajak para jamaah untuk saling bersilaturahmi dan belajar berinteraksi di antara para jamaah agar segala informasi yang valid tersebar merata, terutama dalam kasus lumpur.

Sebenarnya masih ada pertanyaan jamaah yang belum sempat dijawab. Namun, untuk memberikan kesempatan kepada jamaah untuk makan sahur, maka BbW Juni harus diakhiri sedikit lebih awal dibanding biasanya. Tepat pukul 02.50 Kyai Muzzammil memimpin doa yang dilengkapi oleh Cak Nun untuk menyempurnakan majelis ilmu dan menjadikannya manfaat bagi seluruh makhluk di bumi, khususnya untuk jamaah Maiyah.

 

(Tim Reportase BangbangWetan)