Reportase Juguran Syafaat September 2014
Reportase

Reportase Juguran Syafaat September 2014

Juguran Syafaat edisi September kali ini membahas tema menarik yaitu Animisme, Dinamisme dan Litererisme. Acara dimulai pukul sembilan malam. Jamaah tampak satu persatu merapat di Pendopo Wakil Bupati Banyumas. Suasana tampak syahdu ketika acara dimulai. Kukuh memimpin jamaah membaca Al-Quran Surat Nuh secara tartil terpimpin.

Seusai tadarusan, Rizky melanjutkan acara dengan mempersilakan Kukuh bercerita tentang pengalaman bertransaksi ala maiyah yang saling menguntungkan. Kukuh juga menyapa dulur-dulur Maiyah yang hadir. Tampak hadir dari Banyumas, Purwokerto, Cilacap, Purbalingga, Majenang, hingga Tangerang. Ada tamu khusus yang hadir dari Nahdlatul Muhammadiyyin Jogja yaitu Harianto dan Adib, juga dari Bangbang Wetan Surabaya yaitu Agung.

Titut Edi (seniman cowongan) dari Padepokan Cowongsewu, memantik diskusi dengan menyatakan bahwa orang yang ingat asal usulnya itu insya Allah akan selamat. Titut menghangatkan suasana dengan menyanyikan lagu ciptaannya berjudul Balapan Tengu dan Kadal Nunggang Jaran. Para jamaah terhibur dengan penampilan Titut Edi yang sudah lama tak hadir di Juguran Syafaat.

Rizky kembali memandu acara dengan bercerita tentang majelis Maiyah. “Seperti yang disampaikan Cak Nun, majelis Maiyah ini bukan majelis taklim, tapi majelis takrif. Kalau taklim itu alim, ilmunya meluas. Tapi jika takrif, itu arif, ilmunya mendalam. Orang alim ulama itu ceramahnya banyak karena ilmunya luas. Tapi kalau orang arif itu diramu dengan kebijaksanaan,” kata Rizky.

Reportase Juguran Syafaat September 2014

Isme, Isasi, Istik

Masuk ke tema, forum diolah oleh Kusworo sebagai moderator, “Rasa syukur saya benar-benar jangkep, karena dulur-dulur dari beberapa tempat bisa datang. Terus juga baru pernah selama Juguran dihelat bisa datang sebanyak ini anak kecil. Sayangnya Tuhan, cintanya Tuhan, rejekinya Tuhan, sudah tidak perlu diminta, sudah pasti sebuah keniscayaan,” ujar Kusworo.

“Kita itu sekarang sudah kehilangan pangkalnya informasi. Mulai terasa Allah membukakan hakikat berita itu ketika pilpres kemarin berlangsung. Siapakah sesungguhnya media massa, yang ternyata media massa yang berbeda menghasilkan hasil quick count yang berbeda. Dan itu masih berlangsung sampai sekarang meskipun dalam hal yang lebih halus. Media massa seharusnya menjadi panduan kita untuk mereferensikan informasi. Informasi kita butuhkan agar kita berkeputusan dengan benar. Tetapi berita sekarang susah dibedakan dengan infotainment. Misal kemarin ada judul berita: Tim Transisi atau Intervensi? – Lho, ini gosip apa judul berita? Kalau judul berita kan sudah jelas Sepak Terjang Tim Transisi,” ujar Rizky.

“Ada akhiran isme, isasi, istik. Misalnya, orang berorientasi materi. Dia dikatakan menjadi kata sifat: materialistik, kata kerja: materialisasi, kemudian kata benda: materialisme. Nah, ketika perjalanan orang mencari kebenaran kepada ruh pada jaman dulu, ketika berhenti dia akan menjadi animisme. Padahal kalau menggunakan kaidah tadi, seharusnya animisasi, karena itu kata kerja terus, karena kalau berhenti dia akan menjadi penyembah arwah. Sama dinamisme. Ketika dia berhenti maka dia akan menyembah benda-benda. Pun orang sekarang, setelah mesin cetak ditemukan dan kita budayanya baca tulis, maka ada orang yang melakukan budaya literasi, tetap menjadi kata kerja, tapi ada yang berhenti sehingga dia menjadi litererisme. Kalau orang yang berhenti ciri-cirinya adalah menggunakan teks-teks literatur untuk pembenaran atas kepentingannya atau untuk mengahakimi orang lain,” ujar Rizky.

Leave a Reply

Your email address will not be published.