Reportase KC United Nation of Nusantara
Sesi Pertama
Mathar Kamal memandu diskusi sesi pertama yang menghadirkan beberapa pembicara yang merupakan perwakilan dari PP IPNU, PB HMI dan KASUM (Komite Aksi Solidaritas Untuk Munir). Amsar juga turut hadir dan naik keatas panggung atas ajakan Mathar Kamal.
Khoirul Anam dari PP IPNU (Ikatan Pelajar Nahdhlatul Ulama) yang merupakan salah satu sayap organisasi Nahdhlatul Ulama menjadi pembicara pertama. Khoirul Anam merespon tema yang diusung Kenduri Cinta kali ini dan mengkorelasikannya dengan peristiwa beberapa bulan terakhir yang merupakan salah satu proses politik yang cukup panjang dan menguras banyak energy bangsa ini, mulai dari pemilihan legislatif hingga pemilihan presiden. Proses yang cukup panjang tersebut menurut Anam kemudian menjadikan bangsa ini membutuhkan sebuah ruang yang cukup luas untuk kemudian bersama-sama untuk bermusyawarah dan bersepakat bagaimana langkah selanjutnya yang akan ditempuh oleh bangsa ini. Menurut Anam, untuk menyelesaikan persoalan kompleks yang dihadapi bangsa ini membutuhkan peran yang cukup luas dari seluruh rakyat Indonesia, terlebih bangsa ini baru saja melewati sebuah proses demokrasi yang ternyata cukup menciptakan jarak yang sangat lebar dan nyata, yang masih terlihat hingga hari ini. Peran pemuda sendiri menurut Anam juga sangat penting dalam menyelesaikan bangsa ini, sayangnya pemuda yang saat ini direpresentasikan oleh pelajar dan mahasiswa ternyata sangat sedikit sekali yang berminat untuk berkecimpung di dalam dunia organisasi kepemudaan saat ini. Menurut Anam, keberadaan organisasi-organisasi kepemudaan saat ini memegang peran yang cukup vital dalam mengawal perubahan yang tentunya diharapkan terwujud dari pemerintahan yang baru ini.
Menurut Anam, di Indonesia sendiri terdapat kurang lebih 4000 organisasi yang bergerak di berbagai bidang, semua organisasi ini memiliki peranan yang penting dalam memberikan edukasi kepada masyarakat di berbagai bidang, entah itu politik, budaya, agama, pendidikan, kesehatan, social dan kemasyarakatan tentunya. Secara khusus, Anam juga mengatakan bahwa forum Maiyah Kenduri Cinta ini juga memiliki peran yang penting, dimana konsistensinya setiap bulan dalam menyediakan wadah bagi masyarakat yang hadir mampu memberikan ilmu yang sangat luas cakupannya di kehidupan sehari-hari.
M. Arif Rosyid dari PB HMI yang sudah kedua kalinya hadir di Kenduri Cinta memaparkan bahwa Indonesia itu dibangun bukan berdasarkan prinsip semua untuk satu dan satu untuk semua, melainkan Indonesia dibangun berdasarkan semua berfikir untuk semua dan semua bekerja untuk semua, sehingga keberadaan semua elemen bangsa memiliki peran yang sama dalam membangun masa depan Indonesia. Sehingga menurut Rosyid, apapbila ada sekelompok orang yang kemudian berfikir pragmatis untuk mencari keuntungan bagi kelompoknya sendiri, dari situlah awal mula kehancuran bangsa ini.
Menurut Rosyid, apabila seluruh elemen bangsa ini mengedepankan prinsip semua bekerja untuk semua dan semua berfikir untuk semua, maka kesenjangan sosial yang terjadi di Indonesia saat ini tidak akan terjadi di masa yang akan datang. Terlebih saat ini Indonesia mayoritas penduduknya adalah mereka yang berada dalam usia-usia produktif. Keadaan ini menurut Rosyid akan memungkinkan Indonesia untuk menentukan pilihan diantara dua: ancaman atau peluang. Dari mayoritas penduduk yang sedang dalam usia produktif ini, Indonesia memiliki pilihan untuk menjadikan mereka ancaman atau peluang. Dan keputusan pilihan itu tidak hanya ada ditangan pemerintah saja, melainkan para pemuda yang tersebar di berbagai organisasi maupun yang tidak berorganisasi juga memegang peran yang cukup penting dalam menentukan pilihan Indonesia diantara keduanya.
Khirul Anam dari Komite Aksi Solidaritas Untuk Munir merespon tema Kenduri Cinta kali ini dan mengkorelasikan dengan lagu “Dari Sabang Sampai Merauke”. Lagu ini merefleksikan wilayah teritorial Indonesia dibangun, dimana Indonesia hanya diperkenalkan hanya dalam nama “berjajar pulau-pulau”, sehingga konstruksi berfikir kita saat ini adalah wilayah teritorial, bukan orangnya. Akhirnya, manusia Indonesia tidak menjadi Indonesia karena hanya berfikir territorial saja, tidak berfikir secara substansi yang sebenarnya. Sehingga, relasi yang kebangsaan yang terbentuk di Negara ini adalah relasi teritorial, bukan relasi kemanusiaan.
Nanang Hape yang pada kesempatan ini hadir bersama kelompoknya, Wayang Urban, mengkorelasikan tema Kenduri Cinta malam itu dengan dunia Wayang. Dalam kesenian wayang, wayang itu baru hidup jika dalangnya silam. Artinya, penonton tidak melihat dalangnya, melainkan wayangnya. Apabila wayangnya bagus, maka dalangnya akan menjadi bagus. Menurut Nanang, Wayang adalah refleksi kehidupan sehari-hari. Nanang mencoba mengajak jama’ah yang hadir untuk tidak melupakan akar, karena sejak awal para narasumber hampir semua berbicara tentang masa depan yang direpresentasikan sebagai berseminya buah dalam sebuah pohon. Nanang mencoba menarik jama’ah untuk berbicara tentang akar agar semua yang hadir tidak melupakan sejatinya diri dari setiap manusia. Menurutnya, Indonesia ini terbangun dari berbagai suku. Suku dalam bahasa Jawa artinya adalah kaki; sikil.
Menurut Nanang, apabila Indonesia ingin melihat dirinya 50 tahun ke depan, maka salah satu syaratnya adalah melihat bagaimana 50 tahun ke belakang yang terjadi di Indonesia. Nanang mengibaratkan seperti sebuah jangka (alat tulis untuk membuat gambar lingkaran), karena menggunakannya harus berputar, maka Indonesia juga harus menggunakan cara yang sama.
Wayang, menurut Nanang bisa menjadi juru warta, yaitu sumber cerita jangka ke belakang dari Indonesia yang kemudian bisa digunakan untuk menjangka Indonesia ke depan bagi generasi saat ini. Seorang seniman akan berusaha untuk menyampaikan gagasan melalui kesenian yang digeluti, dan dalam kerangka Indonesia kemudian ia akan berusaha mengenal budaya-budaya sleain dari latar belakang kesenian yang ia geluti. Nanang bercerita pengalamannya dalam mempelajari jenis nada Adzan di tiap-tiap daerah di Indonesia yang ternyata memiliki banyak jenis nada dalam cengkoknya. Adzan di Aceh akan sangat berbeda dengan Adzan di Jogja, misalnya. Bagi seorang seniman, ia akan menggali lebih dalam lagi sesuai dengan jenis kesenian yang ia geluti, sehingga ia menemukan hal-hal yang baru dalam memahami nada cengkok Adzan tersebut. Dan menurut Nanang, saat ini orang-orang yang lebih menjaga kebudayaan lebih banyak dari kalangan seniman.
Wardi SH memaparkan Trifalak Tunggalistik yang merupakan sebuah ilmu yang sudah memiliki Hak Cipta sejak tahun 2010. Trifalak Tunggalistik lebih mengedepankan ilmu yang ada dalam diri manusia sendiri, menurut Wardi sendiri bahwa apapun yang ada di dunia saat ini, teknologi apapun yang ada di dunia saat ini sudah ada dalam diri manusia. Menurut Wardi, bangsa adalah ciptaan Tuhan sedangkan negara adalah sesuatu yang dibentuk oleh manusia yang berkumpul dalam sebuah bangsa, Indonesia misalnya adalah sebuah negara yang dibentuk oleh BPUPKI yang merupakan representasi bangsa Nusantara saat itu.
Selepas Wardi memaparkan Trifalak Tunggalistik, Mathar Kamal memancing beberapa jama’ah yang hadir untuk merespon semua yang sudah dipaparkan oleh narasumber yang berbicara diatas panggung. Ahmad Dhuha dari Pemalang yang hanya bersekolah hingga SMP merespon tema yang diangkat Kenduri Cinta dan mempertanyakan mengapa tidak menggunakan bahasa Indonesia saja. Hal ini sejalan dengan fenomena yang terjadi di masyarakat Indonesia saat ini, menyatakan cinta Indonesia namun dengan bahasa Inggris, I Love Indonesia. Sepintas memang fenomena ini mengagumkan, mencerminkan bahwa masyarakat Indonesia sudah semakin maju karena mampu berbahasa Inggris, namun jika dilihat dari sisi yang lain hal ini membuat mental bangsa ini semakin mundur karena tidak merasa bangga dengan bahasanya sendiri.
Diaz dari Jakarta mengungkapkan responnya kepada perwakilan dari organisasi kepemudaan yang hadir di Kenduri Cinta malam itu. Menurut Diaz, mayoritas dari pejabat yang menjabat sebuah jabatan di pemerintahan saat ini pernah merasakan kehidupan Organisasi Kepemudaan sebelum ia menjadi pejabat seperti sekarang ini. Tidak sedikit bahkan dari mereka yang dulunya merupakan aktivis mahasiswa. Menurut Diaz, semakin banyaknya Organisasi Kepemudaan yang ada saat ini bertolak belakang dengan tema “United nations of Nusantara”, pemuda saat ini justru mengkotak-kotakan dirinya berdasarkan kelompoknya masing-masing ketika berorganisasi, imbasnya ketika menjabat suatu jabatan mereka menjadi representasi dari organisasi mereka sendiri. Sayangnya, para elit pejabat Negara Indonesia saat ini sangat berbeda dengan dirinya ketika dulu menjadi aktivis mahasiswa dalam organisasi kepemudaan. Sehingga yang terjadi adalah hilangnya kepercayaan rakyat terhadap para pemimpinnya. Diaz mencontohkan dalam proses pemilihan legislatif, para calon legislatif mengemis suara kepada rakyat, namun ketika mereka menjabat sebagai wakil rakyat di parlemen sama sekali tidak merepresentasikan dirinya sebagai wakil rakyat. Karena frame yang terbentuk dalam alam fikiran mereka adalah sebuah kompetis yang harus mereka menangkan untuk dapat melenggang mulus hingga kursi parlemen. Ketika sudah duduk di kursi parlemen, mereka sudah tidak berfikir lagi tentang rakyat, yang mereka fikrikan adalah bagaimana agar mereka bisa kembali menduduki kursi tersebut di pemilihan yang akan datang.
Umam, jama’ah asal Madura yang saat ini kuliah di Jakarta menegaskan bahwa dengan melihat keadaan Indonesia saat ini justru di Kenduri Cinta inilah kita mencari apa yang disebut “united” itu sendiri. Tentang nama Indonesia, Umam menyarankan agar nama Indonesia diganti menjadi Nusantara. Menurutnya, orang tua zaman dahulu apabila anaknya sering sakit salah satu solusinya adalah dengan merubah nama anaknya itu. Umam juga mencontohkan bagaimana alm Gus Dur merubah nama Irian Jaya menjadi Papua.
Ulya, jama’ah perempuan asal Karawang lebih mengajak kepada bagaimana kita mengembalikan identitas bangsa kita ini dan mempertegas kembali identitas tersebut, apabila keduanya sudah dilakukan barulah kita berfikir bersama-sama mengemas bagaimana menentukan jalan yang akan ditempuh di masa yang akan datang.
Nanang Hape dengan kelompok Wayang Urban-nya kemudian membawakan beberapa nomor lagu sebelum para narasumber menanggapi apa yang sebelumnya disampaikan oleh jama’ah yang hadir.