Berita, FEATURED

Reportase Kenduri Cinta Juni 2013: “Pencapaian Manusia Indonesia”

Kenduri Cinta, yang bulan ini tepat berumur 13 tahun, mengusung tema ‘Pencapaian Manusia Indonesia’. Usai dibuka dengan pembacaaan Surah Yaasiin dan shalawatan bersama kelompok Anak Negeri, kelompok band Popeye membawakan beberapa lagu mereka.

Sebagai prolog, hadir Mas Adi, Bang Mathar, Bang Boim, dan Mas Rusdi. Dari sudut pandang Mas Adi, judul kali ini merupakan ungkapan refleksi atas apa yang sudah kita capai, khususnya dalam perjalanan 13 tahun Kenduri Cinta. Bang Mathar menambahkan bahwa Kenduri Cinta – dengan cara berpikirnya yang tidak linear – tak pernah puas, tak pernah lelah dalam berjuang menuju Indonesia mulia.

“Kita sekarang ini bukan sedang memperingati, tapi bersyukur atas perjalanan tiga belas tahun ini,” ujar Bang Boim.

Mas Rusdi mengingatkan jamaah bahwa ada tiga momentum yang mesti kita ingat. Pertama, tanggal 27 Mei lalu guru kita, Cak Nun, tepat menginjak usia 60 tahun. Kedua, tanggal 29 Mei merupakan haul 9 tahun wafatnya Angku Hamid Jabbar. Beliau bersama Bang Taufiq Ismail dan Bang Jose Rizal Manua telah gigih memperjuangkan sampai Kenduri Cinta bisa terselenggara di area Taman Ismail Marzuki. Beliau juga berjuang tanpa pamrih Maiyahan ke pelosok Warakas, Tomang, Penjaringan, dan daerah-daerah lain. Momentum ketiga adalah 13 tahun berjalannya Kenduri Cinta.

“Begitulah Angku Hamid Jabbar, yang meninggal ketika berada di podium mimbar membacakan puisi di IAIN.”

Setelah Popeye Band kembali membawakan tiga buah lagu, Bang Jose Rizal Manua turut pula berbagi cerita tentang sahabatnya, Angku Hamid Jabbar.

“Hamid Jabbar memang bagian dari Kenduri Cinta. Kami dulu memulainya berlima. Cak Nun, Sutardji Calzoum Bachri, Hamid Jabbar, Taufiq Ismail, dan saya. Hamid Jabbar merupakan orang yang luar biasa. Dia adalah salah satu orang yang mampu menyampaikan persoalan-persoalan kekinian dalam hubungannya dengan KC ini. Beliau meninggal 9 tahun yang lalu ketika manggung di sebuah pertunjukan di IAIN. Penonton mengira Beliau sendang akting ketika Beliau jatuh.”

“Beliau ini dedikasinya luar biasa, terutama dalam seni sastra. Beliau membantu Taufiq Ismail memperkenalkan puisi di sekolah-sekolah daerah terpencil Indonesia. Hamid Jabbar juga ikut aktif dalam menjaga keberlangsungan majalah Horizon, dan merupakan motor atas terselenggaranya program Sastrawan Bicara Siswa Bertanya. Orangnya menyenangkan sebagai teman dan sangat gigih dalam proses kreatifnya. Kami sangat kehilangan atas meninggalnya Beliau ketika itu.”

Bang Jose Rizal Manua kemudian membacakan empat puisi Angku Hamid Jabbar yang berjudul Wajah Kita, Potong Bebek Angsa, Doa Penguasa Sepanjang Masa, dan Doa Terakhir Seorang Musafir.

Secara spontan naik pula ke panggung Epy Kusnandar membacakan puisi pendek Angku Hamid Jabbar.

Hidup di Jakarta, rumusnya sederhana saja

Lupa

Sebelum masuk ke sesi diskusi, Pak Plompong membawakan lagu-lagunya yang asyik.
Diskusi Sesi Pertama

Bang Jose Rizal Manua, Presiden Penyair Sutardji Calzoum Bachri, Pak Ikranegara – pemeran tokoh Kiai Hasyim Asy’ari di film Sang Kiai, dan Kepala Dinas Pemadam Kebakaran telah berada di panggung. Jalannya diskusi dikawal oleh Mas Iwan.

“Dari awal, kita semua punya keinginan dan harapan; baik dari sudut personal maupun komunal. Dan mungkin kenikmatan seorang penyair adalah ketika Allah memanggilnya ketika sedang berada di tengah ekstase karyanya.”

Mas Iwan lalu mempersilahkan Pak Ikranegara untuk terlebih dulu menyampaikan beberapa hal terkait film baru Beliau.

“Tentang film Sang Kiai, kalau mau cerita lengkap KH Hasyim Asy’ari, mungkin perlu 7 seri. Karena itulah diambil hanya periode dari 1942 sampai 1947 saja. Saya kira dipilihnya saya menurut sutradara di samping karena saya satu-satunya yang mirip, juga karena usia saya sama dengan usia Hadratussyaikh ketika itu, yakni 70 tahun.”

“Memang banyak yang mengira umur saya jauh di bawah itu. Di dalam film atau drama sering digambarkan bahwa orang tua itu bongkok dan batuk-batuk; saya tersinggung sebenarnya. Tapi dalam riset selama penggarapan film kami menemukan tongkat dari Hadratussyaikh lantas berpikir, apa memang Beliau itu benar-benar bongkok. Ternyata tidak. Tongkat pada masa itu sama dengan dasi pada jaman sekarang.”

“Dan Beliau tidak pernah mengayunkan tongkatnya. Kalau ada keributan dan kekacauan dalam diskusi, Beliau melemparkan tongkatnya dengan senyum, kemudian menjadi tenang semua.”

Pak Ikra kemudian menceritakan satu pengalaman mistis terkait pembuatan film yang disaksikan banyak orang, termasuk sutradara dan kru film yang lain. Dalam rangka menangkap dan mempelajari aura KH Hasyim Asy’ari, kru film melakukan riset, bertanya kepada anak-cucu Beliau dan masyarakat sekeliling. Ketika itu pukul 2 atau 3 malam, mereka berada di gazebo di belakang rumah salah satu keluarga, menikmati mangga, roti, dan kopi sambil ngobrol-ngobrol.

“Tiba-tiba saya mencium bau wangi seperti wangi cendana. Saya angkat tangagn kiri saya, dari situ baunya terasa sekali. Saya cari baunya di udara tapi tak ada. Akhirnya saya diam saja, bengong merinding sendirian di pojok sampai sutradara datang. Akhirnya semua ikut datang, menciumi tangan saya satu per satu. Semalaman saya tak bisa tidur nyenyak. Ketika esok paginya mandi, bau wangi itu hilang. Orang-orang berkata, ‘Anda adalah dia tadi malam’.”

“Sudah merupakan kebiasaan saya setiap selesai sholat membaca Al-Fatihah dan Al-Ashr. Saya kemudian menemukan bahwa itulah karakternya, yaitu : sabar. Yang paling penting kemudian adalah menafsirkan kata ‘sabar’ itu. ketika saya pulang, istri saya sampai kaget kok saya tiba-tiba jadi lembut.”

“Film itu setelah diedit pertama durasinya masih 3 jam 20 menit, kemudian dipotong-potong sampai akhirnya menjadi 2 jam 10 menit. Banyak yang hilang sebenarnya, tapi secara keseluruhan tidak hilang gagasannya.”

“Saya mau koreksi,” ucap Bang Sutardji, “Orang yang mati di panggung itu belum tentu jihad; tergantung niatnya. Kalau dia baca puisi untuk motif ekonomi, lain lagi. Saya kira Hamid Jabbar pengennya meninggal ya saat sholat. Kita sering berlebih-lebihan menanggapi sesuatu. Kita sering mendramatisir, sering terlampau beromantika. Kita tidka mudah melihat sesuatu.”

“Orang pertama yang kenal dia di sini pasti saya, karena kami sama-sama dari Bandung. Waktu itu setamat SMA, dia di Koran Ekspres tapi tidak masuk di lingkaran sistemnya. Saya sering suruh dia ngetik karena saya nggak bisa ngetik bagus. Kredo puisi saya itu Hamid Jabbar yang ngetik. Rajin banget dia. Orangnya sangat aktif dan lincah.”

“Hamid sangat mencintai puisi, dan di sana dia sangat berjuang untuk bisa menjadi numero uno. Tapi ini menurut saya, kalau menurut dia bisa saja terbalik.”

Presiden Penyair yang juga pernah mendirikan Universitas Lidah Buaya itu kemudian menyanyikan sajak Aku milik Chairil Anwar dan Nyanyian Negeri Jajahan dari Angku Hamid Jabbar dalam iringan musik blues Summertime.

Kepala Dinas Pemadam Kebakaran mengaku merasa agak aneh datang ke Kenduri Cinta karena latar belakangnya yang agak berbeda. Tapi juga bahagia karena memang telah lama mengidolakan sosok Cak Nun. Dalam kesempatan ini Beliau berbagi pengalamannya memadamkan kebakaran di wilayah Jakarta. Kendalanya terutama adalah ketika terjadi kebakaran, kebanyakan orang hanya menonton saja tanpa membantu memadamkan.

Diskusi Sesi Kedua

“Saya akan menyampaikan penghormatan, takdzim, dan cinta saya kepada abang saya Sutardji Calzoum Bachri, Ikranagara, dan sahabat saya Jose Rizal Manua. Entah saya mampu atau tidak, tapi akan saya sampaikan dengan sangat serius dan memohon kepada Beliau untuk tidak punya keinginan untuk meninggalkan cinta yang sudah menyatu pada malam hari ini. Anda itu nggak punya apa-apa kalau dibanding mereka bertiga; jadi Anda harus menggali mereka habis-habisan sampai mereka kosong sama sekali.”

“Sebelum itu saya sampaikan salam kepada Kepala Dinas Pemadam Kebakaran. Sebenarnya tidak ada anehnya sama sekali. Apapun saja masuk sini, itu nyambung. Ini bangsasudah bukan kebakaran, Pak. Bangsa ini membakar dirinya. Jadi yang paling penting di Indonesia adalah yang memadamkan api dari orang yang membakar dirinya. Jiwa mereka mereka bakar sendiri sehingga kehilangan iman, kehilangan Tuhan. Pikiran mereka mereka bakar sendiri sehingga kehilangan logika dan akal. Tinggal diterusin ke mana-mana.”

“Jadi ini kalau diperpanjang, SBY adalah orang yang sangat sibuk membakar dirinya sendiri untuk jadi diri yang bukan dirinya. Dia menghabiskan begitu banyak uang dan energinya sendiri dan energi seluruh bangsa Indonesia sampai bikin akun twitter hanya untuk tidak menjadi dirinya. Sebabnya karena dia tidak pernah dididik untuk belajar menjadi dirinya – daripada repot tidak pernah ketemu dirinya, mending jadi diri yang bukan dirinya.”

“Maka Pak Kepala Dinas, rajinlah datang ke sini, karena mereka calon-calon pemadam kebakaran di Indonesia. Kalau yang kebakaran gedung-gedung, saya kira lebih baik begitu. Ini kita ngomong hikmah dan parameter baik-buruknya saja. Mungkin Jakarta yang seperti ini lebih baik terbakar secara fisik. Mungkin. Karena kita lebih memilih dunia ini terbakar habis tapi manusianya menemukan dirinya sendiri.”

“Kenapa saya takdzim dan sangat cinta kepada Beliau berdua? Itu alasannya nggak akan habis saya kemukakan kepada Anda, dari yang teknis, estetis, sampai yang macam-macam. Tapi tidak ada manusia seotentik Sutardji Calzoum Bachri. Tidak ada manusia seotentik Ikranegara.”

“Jadi film Sang Kiai itu mengandung dua kebohongan.”

Pertama, Bung Ikra jauh lebih ganteng daripada Mbah Hasyim. Kalau tingginya sama, tapi kalau Mbah Hasyim itu lebih kecil, lebih kurus, kulitnya hitam dan mukanya agak cenderung Jawa desa. Kalau Bung Ikra kan agak priyayi. Mungkin Bung Ikra dalam film berikutnya bisa lebih membayangkan bahwa orang yang demikian rendah hati seperti Mbah Hasyim adalah orang yang tak pernah menatap tajam – seperti juga Rasulullah, yang ketika berjalan seperti sedang menuruni gunung.

Kalau ada film kedua, saya minta dibahas mengenai Resolusi Jihad. Tak mungkin ada keberanian moral anak-anak muda Surabaya tanggal 10 November itu kalau tak ada Resolusi Jihad. Sejak itu Sularso lari dari Surabaya, membakar semangat anak-anak muda. Dari kampung-kampung yang didatanginya dia mendapat tambahan pemuda-pemuda yang kemudian mereka melawan Mallaby. Di tengah itu ada yang namanya Bung Tomo. Dia diberi bagian untuk teriak-teriak di radio. Tapi kemudian dia yang dijadikan pahlawan, sementara Sularso dilupakan begitu saja. Tidak apa-apa kalau sudah terlanjur dijadikan pahlawan, tapi kita harus punya kesadaran mana yang sesungguhnya baik dan mana yang buruk.

Kalau mau pakai idiom, bangsa Indonesia ini kaya raya sehingga rakyatnya punya hak untuk makan roti. Tapi dari pemerintahan yang berganti-ganti, yang didapatkan rakyat ternyata adalah tai. Namun dengan teknologi mentalnya, mereka mampu menumbuhkan kekuatan psikologi untuk merasakan tai sebagai roti. Lama-lama, yang penting bukan lagi roti atau tai, melainkan rasanya. Ini tinggal diperlebar, karena di semua wilayah terdapat silogisme semacam ini.

Frame berikutnya; pada masa-masa awal banyak muncul pemberontakan. Aktivis-aktivis muncul menuntut roti hak mereka. Tapi karena makin lama toh tai bisa terasa roti, jumlah aktivis makin berkurang. Yang paling berbahaya adalah yang terjadi pada anak-anaknya para aktivis : mereka tidak bisa merasakan bedanya roti dan tai. Generasi sekarang sudah tak mengerti bahwa itu tai – ya presidennya, ya parpolnya, dan seterusnya. Undang-Undang melegitimasi itu roti.

Bung Ikra saya kira harus punya gagasan mengenai watak orang Jombang yang tidak gumunan. Mereka tidak kagum pada Gus Dur, tidak kagum pada Mbah Hasyim. Sementara itu, orang Indonesia sangat berlebihan kagumnya. Kalau sudah cinta, cinta banget; kalau sudah kagum, kagum banget. Sekarang semua masalah seolah beres karena sudah ada Jokowi. Semua Anda tumpahkan ke situ. Seluruh kesepian Anda, Anda tumpahkan kepada yang Anda kagumi. Nanti berapa tahun lagi baru Anda akan sadar bahwa sudah menyembah berhala, salah pula berhalanya.

Saya bahagia banget Beliau ke sini, dan sangat senang malam ini bisa ke Jakarta, karena sastrawan Jogja sekarang hidup kembali – dan merekalah manusia sejati. Orang-orang meninggalkan dirinya, tapi Sutardji dari dulu tetap Sutardji. Saya sudah keliling dunia baca puisi dengan penyair manapun, tapi kalau misalkan diadakan festival puisi antarplanet pun pasti juaranya adalah Sutardji Calzoum Bachri.

Tapi harap ingat, itu bukan karya Sutardji karena vokalnya yang luar biasa adalah ciptaan Allah. Jangankan Sutardji, Nabi Musa saja bukan orang sakti, Beliau adalah utusan yang oleh Allah dipinjami tongkat dan diberi perkenan untuk terbelahnya laut pas pada momentum itu. jadi tidak ada yang namanya sakti.

Sutardji tidak pernah merasa hebat. Dia menyebut dirinya presiden penyair untuk menyindir. Nggak usah membesar-besarkan presiden; karena yang nyusahin kamu juga presiden. Penyair pun boleh punya presiden. Maka sekarang organisasi-organisasi menggunakan pula kata presiden – presiden mahasiswa, contohnya. Orang yang pertama menyebut dirinya sebagai presiden penyair adalah Sutardji, bukan karena dia merasa besar. Dan lebih besar daripada presiden, dan di puncaknya, saya tidak menemukan penyair yang tauhidnya melebihi Sutardji Calzoum Bachri. Lihat sajak-sajaknya, kelihatannya gila – itu Tuhan memang manyamarkan dia.

Wallahi, saya ingin mengundang Bapak Sutardji Calzoum Bachri ke Jogja untuk baca puisi di Rumah Budaya.

Tadi saya bilang kebohongan pertama adalah Pak Ikra terlalu ganteng. Tapi nggak apa-apa, karena Allah bilang ‘Hiasilah Qur’an-Ku dengan keindahan-keindahanmu’. Qur’an-Nya Allah tidak hanya yang tertera secara literer. Mbah Hasyim adalah Qur’an-Nya, pohon-pohon adalah Qur’an-Nya, semua adalah firman-firman Allah. Dan kalau orang sudah meninggal, kita junjung. Kita mikul dhuwur mendhem jero. Jadi kebohongannya adalah kebohongan yang mulia.

Wallahi, saya sebenarnya dipeseni sama Gus Sholah dan Gus Muhith Muzadi (kakak dari Pak Hasyim Muzadi) karena berdasar pengalaman film sebelumnya, Sang Pencerah, kiai-kiai NU keberatan kalau Mbah Hasyim difilmkan dan saya diminta untuk memberi tahu pihak pembuat film. Tapi saya kan tidak punya hak apa-apa, tidak punya wewenang melarang siapapun untuk menghomati siapapun sehingga saya juga tidak melakukan apa-apa. Ketika kemudian jadi film Sang Kiai, mudah-mudahan pada film-film berikutnya – yang judulnya tidak harus Sang Kiai – bisa diungkapkan peran-peran dahsyat hubungannya dengan nasionalisme Indonesia.

Yang kedua, Judulnya, yakni Sang Kiai. Kalau kita tanya kepada Mbah Hasyim, pasti akan menolak karena Mbah Hasyim tidak akan bersedia dirinya di-sang-sang-kan. ‘Sang merupakan kata yang ambigu, biasanya digunakan untk menyebut segala yang lebih dari kita.

Mbah Hasyim itu imigran dari Demak. Jadi Beliau trahnya dari Majapahit campur wali, kemudian dari Majapahit bedhol kraton ke Glagahwangi Demak. Di sanalah kemudian berlangsung selama beberapa abad pendidikan Islam Pesisir yang lebih egaliter dibanding Islam yang di selatan atau pedalaman. Kemudian zaman berubah, termasuk persilatannya berkeliling segala macam, sampai suatu hari Beliau sekolah di Pesantren Selawe, Jombang. Pesantren yang terletak di dekat Tambakberas itu tidak menerima santri lebih dari 25 orang.

Ketika itu orang masih berpikir benar-benar tentang pendidikan. Kalau santrinya lebih dari 25, maka perhatiannya akan makin rendah kepada personalitas para santri. Jadi setiap santri diperhatikan kimiawinya, fisikanya, zatnya, segala macam diperhatikan benar-benar sehingga jadilah Hasyim Asy’ari karena dia dipupuk sesuai kepribadiannya. Sekarang tidak ada.

Sekolah sekarang menerapkan kurikulum yang sama yang harus diikuti semua siswa. Ibarat hewan, biar anjing, kambing, kerbau, semua disuruh berkokok oleh kurikulum. Kurikulum tidak peduli yang dididik itu kambing atau anjing.

Di antara 25 santri di Pesantren Selawe ini produknya berbeda-beda karena Allah memberikan fadhillah yang berbeda-beda. Ada yang disuruh jadi bebek. Pencapaian bebek berbeda dengan pencapaian ayam. Puncak kehebatan burung tidak sama dengan puncak kehabatan menthok. Sekarang ini orang sudah tidak mengerti dirinya. Sudah jelas-jelas kamu itu ayam, bercita-cita bisa terbang.

Padahal menurut Sabrang, sebelum lahir orang perjanjian dengan Allah, nanti kamu jadi ini, ini, ini. Begitu kita lahir, pekerjaan kita adalah mengingat-ingat siapa diri kita dalam perjanjian dengan Tuhan dulu. Pendidikan gunanya adalah untuk membantu setiap anak menemukan dirinya. Setiap anak melakukan penelitian sejak bayi atas dirinya sendiri. Ketika dia menghafalkan benda-benda, sesungguhnya dia sedang mengidentifikasi dirinya sendiri, karena hidung tidak bisa dikenali sebagai hidung kalau kita tak mengenal mata dan benda-benda lain di sekitarnya. Itulah ilmu tentang jati diri.

Dunia yang menyamaratakan semua makhluk, tidak berlaku untuk Sutardji. Dari jaman ’70-an ketika masih di tabloid di Bandung, ya begini ini sampai sekarang. Tidak sedikitpun dunia mampu mengubah dia, dan beginilah perjanjiannya sama Allah.

Kalau ngomong revolusi ke diri, orang Indonesia ini sudah hancur sebelum hancurnya. Inilah kenapa saya mengagumi mereka. Mereka adalah orang yang konsisten dengan dirinya sendiri. Saya sejak awal sudah lumayan tahu diri saya sendiri, maka saya tak pernah bercita-cita jadi seniman bersaing dengan mereka – pasti kalah. Saya orang yang sampai hari ini ingin belajar jadi penyair tapi nggak sukses-sukses. Dan sudah ada perjanjian dengan Tuhan bahwa saya tak akan sukses menjadi apapun. ‘Suksesmu adalah kalau kamu setia menjadi seperti yang kamu berjanji sama Aku’, Allah cuma bilang gitu. Untuk itu saya tak pernah menghabiskan energi untuk ingin menjadi apapun.

Di Indonesia ini harga Sutardji Calzoum Bachri belum tentu terganti 300 tahun lagi. misalnya Ronggowarsito – apa hebatnya dibanding Sutardji? Malah salah lagi filsafatnya. Dia bilang, ‘Amenangi jaman edan; wong kang ora melu edan ora bakal uman’. Itu saya nggak setuju. Kalau yang nggak ikut edan nggak kebagian, berarti kamu nuduh saya bisa makan, bisa nyekolahin anak, berarti saya ikut edan? Tidak!

Mending puisinya Tardji, nggak jelas. Sutardji sudah tahu, kamu ngomong apa saja akan kamu ingkari makna kata-kata yang kamu omongkan itu. Maka daripada lewat muter-muter melalui kata-kata yang seolah-olah penuh makna, langsung ke kata tanpa makna. Dan sekarang terbukti, kata-kata sudah tak bermakna.

Kembali ke film Sang Kiai, kalau ada film berikutnya mbok judulnya yang normal-normal saja. Dan Mbah Hasyim tidak pernah disebut Kiai. Orang Jawa Timur menyebutnya Yai. Beliau disebut sebagai Mbah Hasyim atau Mbah Yai Hasyim. Kiai itu berasal dari Jawa Mataram (Jawa Tengah); setiap orang yang dihormati disebut Ki. Ada Yai datang dari Jawa Timur ke Jogja, disebut Kiai.

Selanjutnya Cak Nun mempersilahkan sahabatnya, Pak Sobary, untuk menyampaikan satu-dua poin.

“Mari kita tidak saling percaya malam ini,” ujar Pak Sobary, “Apa gunanya percaya pada saya, wong kepada Tuhan saja nggak percaya. Jangan baca buku-buku saya! Bukunya Gusti Allah saja nggak dibaca. Dan kalau dibaca, semakin dibaca malah semakin munafik.”

“Wolak-waliking jaman itu momentum ketika kita percaya kepada orang-orang yang disebut beragama; padahal ternyata dia yang paling duluan mengkhianati agama. Agama bukan lagi dijadikan kritik sosial tapi justru dijadikan alat pengkultusan bagi para pelakunya. Saya agak keberatan ahli agama disebut sebagai rohaniwan. Memangnya orang ke masjid itu pasti berurusan sama rohani? Belum tentu!”

“Sekarang ini pemimpin tak mau dikritik, misalnya dalam soal penghargaan kemarin. Menurut saya itu lebih tepat disebut sebagai hadiah, karena penghargaan itu diberikan kepada mereka yang berharga, berkarya, dan berjasa. Dalam hal yang disebutkan pada penghargaan itu, jasa nol. Jadi lebih tepatnya disebut sebagai hadiah saja.”

“Ada yang membuatkan jalan menuju hadiah itu. mereka menjilat-jilat. Padahal harga itu adanya di dalam hati. Kalau Anda menghargai saya, tidak akan mengubah kanjeng yang di dalam hati saya. Kalau Anda mengharapkan datangnya suatu balasan atas jasa yang tak pernah Anda lakukan, berarti Anda sudah memasuki kehidupan yang gelap banget.”

Dialog
“Saya akan bukan dialog dengan Beliau yang akan sangat berguna. Sebelumnya saya akan menjembatani begini; Anda tetap harus mengerti epistemologi. Kata tidak bermakna tapi Anda harus tahu maknanya dulu supaya Anda mengerti jarak antara bermakna dan tak bermakna.”

“Ma’rifat adalah wilayah yang ditembus oleh seorang arif. Bahasa Jawanya pamrikso. Sebenarnya artinya ‘tahu’, sama dengan alim (orang yang mengetahui). Bedanya, alim itu di wilayah pengetahuan, sementara arif di wilayah ilmu. Majlis taklim tidak akan menghasilkan ma’rifat-ma’rifat karena hanya berurusan dengan pengetahuan. Dan orang yang tahu belum tentu mau, orang yang mau belum tentu bisa, orang yang bisa belum tentu diperkenankan, dan orang yang diperkenankan belum tentu kabul.”

“Jadi kalau disebut ma’rifat, maka namanya majlis ta’rif bukan majlis ta’lim. InsyaAllah Kenduri Cinta ini adalah majlis ta’rif meskipun di tengah ta’rif itu dibutuhkan ta’lim juga.”

“Pak Sobary ini lahir di Jogja Selatan, di daerah yang sekarang namanya Bantul. Sesungguhnya dulu namanya daerah Mangiran. Di situ dulu ada anaknya Brawijaya nomor 43 yang bernama Ki Ageng Mangir. Kalau Anda pergi ke Bantul, di situ ada kuburan Panembahan Bodho. Panembahan Bodho ini punya anak turun namanya Sobary. Panembahan Bodho ini akan nomor 2 dari 117 anak Prabu Brawijaya V. Ini saya mohon maaf kepada Pak Ikra dari Bali, Pak Sutardji dari Riau, Beliau punya alur sendiri untuk memahami Indonesia. Saya mau pakai alur Jawa lima abad. Sebab yang diomongkan Sobary akan berkaitan dengan Indonesia harus disusun kembali.”

“Panembahan Bodho adalah panglima perang Majapahit yang terakhir, kemudian diboyong Sunan Kalijaga menjadi panglima perang Kerajaan Demak di daerah Glagahwangi. Kemudian 2 tahun dia pensiun dini, dia merasa bersalah telah membunuh bapaknya Sunan Kudus yang namanya Sunan Ngudung. Pembunuhan itu sudah dimaafkan oleh Sunan Kudus dan Sunan Kalijaga; bahka pembunuhan itu menjadi pemicu perdamaian dan kebersamaan pada seluruh yang terlibat di dalam transformasi dari Kerajaan Majapahit ke Demak.”

“Yang menyebut Panembahan Bodho adalah dirinya sendiri. Dan tidak ada orang yang tingkat ma’rifatnya melebihi orang yang sanggup menyebut dirinya sendiri Panembahan Bodho. Beliau waskitha. Wahyu itu maksudnya Allah bertajalli, Allah mewujudkan Diri-Nya pada rojulun mulham, orang yang menerima ilham. Allah bertajalli pada setiap orang. Tidak ada orang yang orisinal, karena setiap orang adalah wadah bagi tajalli Allah. Setiap orang dibimbing melalui gelombang yang memancar di atas ubun-ubunnya.”

“Sobary pada tahun-tahun terakhir adalah orang yang sangat mencari, dan dia sudah menjadi Panembahan Bodho sekarang, orang yang sudah menertawakan masa lalunya, menertawakan kebesaran-kebesaran yang pernah dia capai, orang yang sudah melihat dunia sangat kecil di dalam genggamannya. Dia adalah Panembahan Bodho seri II.”

“Untuk pelajaran keindonesiaan, waktu itu yang menjadi pemimpin adalah Ki Ageng Mangir; Mangir Wonoboyo II. Wonoboyo ini cucunya Brawijaya dari anaknya yang jadi Ki Ageng Gunungkidul. Jadi anaknya Brawijaya ini dibagi menjadi Kupang sampai Denpasar, Sulawesi, sampai mana-mana, untuk menjalankan prinsip commonwealth, negara persemakmuran.”

“Sejak Gajahmada, kerajaan di Nusantara ini memakai sistem kenegaraan persemakmuran. Jadi kalau ibarat perusahaan, owner seluruh tanah di Jawa adalah Hayam Wuruk. Dia pemegang saham utama, dia rajanya, tapi dia tidak mau menjalankan pemerintahan maka dia mengangkat perdana menteri yang bernama Gajahmada. Gajahmada ini eksekutor, tak punya saham. Dia hanya punya kesetiaan. Dan dia menjadi patih dua kali sebelum Majapahit, plus sekali pada Majapahit. Selama sekian periode, Majapahit melakukan persemakmuran.”

“Bedanya persemakmuran dengan kesatuan apa? saya akan memohon Sobary ke Jogja untuk mengurusi ini, karena ini sangat serius untuk masyarakat Jogja selatan. Dan hanya Sobary yang bisa menyelamatkan karena dia turunan langsung dari Panembahan Bodho, dan berarti merupakan cucu langsung Prabu Brawijaya.”

“Kiai Gringsing itu pengurus asap di Gunung Merapi. Kalau pengurus laharnya Mbah Petruk; pengurus teritorialnya Syekh Jumadil Kubro. Ada kepala-kepala dinas.”

“Indonesia nggak bisa terus seperti ini. SBY itu nggak jelas dia kepala negara atau kepala pemerintahan. Bahkan dia menjadi pemilik Indonesia. Seharusnya, yang memiliki tanah Indonesia adalah rakyat – yang merupakan wakaf dari raja-raja jaman dahulu. Rakyat harus punya dewan negara; dulu disebut MPRS. Mereka punya majlis rendah bernama DPR yang mengurusi masalah-masalah teknis berpartner dengan eksekutif. Jadi prinsip dari Gajahmada adalah kepala negara tidak boleh menjadi kepala pemerintahan.”

“Dalam prinsip commonwealth ini tidak ada upeti. Persemakmuran ini berlangsung sampai Demak. Bedanya, ketika Majapahit itu masih Hindu-Buddha, maka gelar kepala negara adalah Prabu, kemudian masuk Walisongo, ada transformasi ke Islam, maka gelar berubah menjadi Sultan. Sultan ini sampai Demak; yang terakhir adalah Sultan Hadiwijaya – Mbahnya Gus Dur nomor 13.”

“Begitu pindah ke Mataram, jadilah NKRI karena Mataram sesudah Pajang, yang menjadi raja bukan anak turunnya tapi anak angkatnya Mas Karebet, yaitu Danang Sutowijoyo. Dia menjadi Raja Mataram dan tidak meneruskan persemakmuran. Dia membikin negara kesatuan di mana semua wilayah harus taat sama dia dan harus kirim upeti kepada dia. Maka gelar dia bukan Prabu bukan Sultan, dan dia bingung, malah diberi gelar Panembahan. Di dalam tradisi Jawa tidak ada panembahan sama dengan raja. Panembahan itu spiritualis, tidak ada urusna politik praktis. Maka dimulailah jaman Jawa terpecah konsepnya, kehilangan maknanya mulai Kerajaan Mataram. Singkat kata, Pak Sobary ini orang Mangiran jadi yang mengurusi Mangiran, Bantul, itu adalah adiknya Panembahan Bodho; anak ke-43.”

“Mbahlik-nya Sobary adalah orang yang sangat sakti yang sangat ditakuti Raja Mataram. Ada dua daerah yang rajanya secara pribadi tidak mampu mengalahkan kesaktiannya, yaitu Madiun dan daerahnya Sobary. Maka dua daerah ini tidak bisa disuruh menjadi provinsi dari Mataram. Satu-satunya jalan adalah dengan subversi politik; anaknya disuruh ngamen, disuruh merayu Mbahlik-nya Sobary yaitu Ki Ageng Mangir Wonoboyo II sehingga jatuh cinta kemudian kawin. Begitu diajak sowan ke bapaknya, ternyata adalah Raja Mataram, begitu dia cium lututnya Raja dipukul dengan batu di belakang kepalanya lalu meninggal dunia. Begitu beratnya orang Jawa pada waktu itu untuk mempertahankan persemakmuran. Kalau kamu tidak berubah menjadi persemakmuran, kamu akan terus-menerus rancu seperti ini. Presiden bukan presiden, pemerintah bukan pemerintah, negara dan pemerintah tidak ada bedanya, orang tidak tahu TIM ini milik negara atau pemerintah DKI. Tidak jelas. Mereka menganggap ini milik pemerintah sehingga kalau Gubernur menyampaikan uang kepada rakyat, mereka sebut itu bantuan. Kalau membantu kan harusnya pakai uangnya sendiri. Ini kata tanpa makna lagi.”

“Sekarang masyarakat Mangir, setelah enam abad, tidak berani punya sikap terhadap Mataram. Kalau misalnya kamu dipukul oleh orang, ada tiga kemungkinan yang bisa kamu lakukan. Oke, mungkin tidak berani membalas tapi berani bersikap melarangnya memukul kembali. Apakah orang Indonesia berani membalas penindasan terhadapnya? Apakah berani bersikap? Kalau SBY bersikap terhadap penindasan internasional dia tidak akan mendapat hadiah Nobel dan tidak akan menjadi Sekjen PBB. Karena dia tidak bersikap, taat, maka dia diangkat menjadi negarawan internasional. Kemungkinan ketiga : di dalam hati saya, di dalam pikiran saya, saya harus tetap punya pendapat bahwa dia bersikap dzalim. Yang hilang dari bangsa Indonesia sekarang adalah Anda tidak punya pendapat bahwa Anda sedang didzalimi. Rakyat sudah tidak mengerti bahwa itu tai, dan sudah berpendapat bahwa itu roti. Di KC ini yang kita perjuangkan sederhana kok. Oke, kita tidak bisa menangani Indonesia, atau ketika Anda bersikap melawan penindasan di Indonesia Anda tidak akan dimuat di koran-koran dan televisi, tapi yang dipastikan di KC adalah di dalam pikiran Anda, di dalam hati Anda, Anda punya pendapat dan keyakinan bahwa ini benar, itu salah – dan pendapat ini tak bisa diubah oleh apapun.”

“Sobary sekarang sudah meninggalkan dunia keraton dan sudah menjadi Panembahan Bodho. Kemarin Pak Sobary dan saya berdiskusi serius dengan tokoh Mangir yang sudah kehilangan pendapat bahwa mereka didzalimi oleh Panembahan Senopati karena mereka masih takut pada Sri Sultan X. Saya ingin Pak Sobary ke sana, saya undang orang-orang Mangir ke tempat saya, untuk menyikapi bahwa Mangir itu pahlawan kita. Maka dari dulu saya sudah membuat naskah-naskah drama tentang Mangir. Pokoknya allahuma ainal haqqa haqqa, tidak boleh haqqa bathila, tidak boleh bathila haqqa. Boleh tidak berani bersikap atau membalas, tapi harus tetap berpendapat.”

“Kita doakan Pak Ikra panjang umur sampai hampir 100 tahun. Untuk apa manusia-manusia tidak berguna itu merajalela di Indonesia sementara orang yang murni seperti Beliau harus cepat-cepat dipanggil. Awetkan ya Allah, kehidupan orang-orang sejati seperti kakak-kakakku ini. Aktor teater yang paling stabil dan paling bisa kita andalkan saya kira ya Pak Ikra ini. Kita merasa aman Beliau memerankan apa saja. Rendra dulu aktor yang baik tapi tipologis, belum tentu aman untuk peran-peran lain.”

Mas Ian L. Betts, yang sudah 21 tahun menetap di Indonesia, diminta Cak Nun untuk membagi-bagi cerita.

“Malam ini saya merayakan 9 tahun sejak ikut KC pertama pada Juni 2004. Nasionalisme Indonesia sudah berasal dari ribuan tahun yang lalu. Indonesia ini tidak perlu apa-apa, tidak perlu ke mana-mana; 2000 tahun lalu India datang, 1600 tahun lalu China datang, 600 tahun lalu Belanda ke sini, lantas Jepang juga datang. Indonesia cukup besar untuk semua. Sekarang pejabat pemerintah sibuk mengurus diaspora Indonesia di mana-mana; ngapain? Nasionalisme berasal dari kita di sini. Harga komoditas akan naik, harga BBM akan naik, rakyat Indonesia jalan terus, akan menghadapi Pemilu tahun depan. Kita stabil terus. Nilai-nilai Indonesia berasal dari stabilitasnya, dari kebudayaannya.”

“Sebagai informasi, mungkin satu atau dua bulan mendatang, buku Kitab Ketentraman akan diterbitkan lagi.”

“Ironi yang disebutkan Mas Ian tolong kita bawa dan kita coba elaborasi ke fakta-fakta yang lain,” pesan Cak Nun, “Sejak 2000 tahun lalu orang Indonesia sudah berkecukupan dengan alamnya, dengan dirinya, dengan kebudayaannya. Dunia yang butuh kita, kita tidak butuh dunia. Sekarang tiba-tiba kita menjadi pengemis di mana-mana. Ke mana nasionalisme kita sekarang, itulah yang ditanyakan Mas Ian. Beliau sendiri kalau ditanya apakah nasionalis British atau nasionalis Indonesia, akan repot, tapi faktanya dia adalah nasionalis Indonesia luar biasa. Tapi dia 21 tahun bertahan di sini, dengan segala panasnya, dengan segala ketidaktentuannya setiap hari. Itu yang dijumpai Mas Ian.”

Pertanyaan pertama datang dari Muhammad Iqbal, yang dalam enam bulan terakhir mengikuti KC. Di Maroko dia dan teman-temannya sesama perwakilan ormas membuat komunitas, menonton Youtube-nya Cak Nun sampai bermalam-malam. Pertanyaannya, apakah bangsa Indonesia dalam menghadapi masalah semuanya berada dalam golongan ketiga dan tidak ada yang mewakili golongan kedua tadi. Apakah rakyat Indonesia dipukul rata seperti itu?

Ayu Rahayu, penanya kedua, bertanya khusus kepada Pak Ikra mengenai sifat apa yang Beliau warisi dari karakter Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari; dan juga bagaimana cara menggerakkan pemuda yang sudah kehilangan nasionalismenya.

A’am, penanya ketiga, ingin mengkonfirmasi Cak Nun terkait pernyataan Beliau di salah satu acara di Tebuireng tentang kurang sependapatnya Beliau terhadap akan dirilisnya film Sang Kiai. Kemudian juga ada pertanyaan khusus untuk Mas Ian tentang latar belakang pemilihan judul buku Jalan Sunyi Emha.

Menjawab pertanyaan dari jamaah, Pak Ikra menjawab, “Tentang film Sang Kiai, saya akan bertanya apakah sudah nonton filmnya atau belum? Kalau belum, memang akan panjang lebar untuk menjelaskannya. Jawabannya sudah ada di film tersebut. Selain tentang perjuangan, di dalamnya juga terkandung unsur edukasi, terutama mengenai fatwa-fatwa Beliau.”

“Menurut saya film ini ada relevansinya menjawab ketimpangan yang kita temui. Karena merupakan film sejarah, di dalamnya ada dimensi politik tapi bukan itu yang utama. Di dalamnya ditekankan hubungan antara nasionalisme dan religiusitas, terutama Islam. Sorotan utamanya adalah Resolusi Jihad.”

“Kami dulu para seniman setiap punya sikap politik kami berkumpul di sini, mengerahkan massa seniman, atau membuat pernyataan ke Setneg. Selain menjaga nurani bangsa melalui pementasan-pementasan, kami juga melakukan gerakan-gerakan protes terhadap Soeharto. Kami punya panggung Reformasi di sini, dan setiap orang bebas berbicara.”

“Pada saat ini memang ada keluhan mengenai ketimpangan sosial ekonomi dan moral para politikus. Saya khawatir akan banyak yang tidak memilih pada Pemilu mendatang karena sudah tak punya rasa percaya. Saya menduga setelah Pemilu akan terjadi keputusan – entah itu berupa gejolak atau bukan gejolak. Itu analisis saya mengenai situasi politik gerakan yang sepertinya menjadi sesuatu yang diomongkan tapi belum dilakukan.”

Cak Nun melanjutkan uraian dari Pak Ikra, “Saya berkewajiban menjawab dan menyambung dari Pak Ikra. Mohon maaf saya belum nonton, saya tidak optimis melihat agak sibuknya urusan-urusan Lampung tempo hari yang agak hancur bener di Tulangbawang sehingga saya harus pertemuan macam-macam, tapi saya akan berusaha mencari informais mengenai film itu. Pasti saya akan menonton, meskipun mungkin tidak di bioskop.”

“Nomor dua, saya ingin menyambung dengan pertanyaan A’am. Mengapa saya dulu pernah mengatakan di Tebuireng banhwa saya diminta tolong oleh Gus Muhith Muzadi, Gus Mus, Kiai Said Aqil Siradj, dan Gus Sholah untuk ngomong pada temen-temen film untuk nggak usah memfilmkan Yai Hasyim, tapi kemudian kok seolah-olah hari ini saya mendukung. Karena hidup ini tidak seperti yang kita sangka dan hidup ini tidak berjalan sesuai dengan pendapat kita. Kalau kamu tidak setuju anak perempuanmu bergaul dengan laki-laki, besok kalau sudah terlanjur hamil dan punya anak, ya sudah nggak apa-apa, anaknya dididik dengan baik untuk menjadi anak yang bermanfaat; jangan terus kamu sesali kenapa kawin, kenapa punya anak.”

“Pada dasarnya saya paham. Kiai-kiai itu agak trauma terhadap Sang Pencerah karena berbagai macam fakta sejarahnya; juga – nuwun sewu – kalau Yai Hasyim Asy’ari diperankan Mas Ikra, saya kira bukan hanya tak ada masalah tapi cocok. Sedangkan kalau dalam Sang Pencerah, ada masalah-masalah yang tidak bisa saya sebutkan di sini. Saya nggak enak ngomong urusan pribadinya Mas Lukman yang memerankan KH Ahmad Dahlan. Saya jangankan nonton filmnya, nonton posternya saja saya tidak tahan karena saya yang menjadi keranjang sampah bapak Beliau, Pak Idries Sardi. Dan saya tidak mampu berbuat apa-apa mengenai masalah itu. saya tidak akan menjelaskan kepada Anda tapi insyaAllah Anda tahu kasus seperti itu. dan saya tidak bisa rela bahwa KH Ahmad Dahlan yang saya kagumi dan saya takdzimi tiba-tiba mewujud dalam pribadi itu.”

“Juga ada beberapa masalah di sejarahnya. Misalnya hubungan Darwis (nama muda KH Ahmad Dahlan), yang menyekolahkannya ke Mekkah adalah Hamengkubuwono VIII. Kemudian begitu pulang, HB VIII meminta KH Ahmad Dahlan bikin pengajian di keraton, jamaahnya adalah para abdi dalem keraton. Dalam film itu kabarnya ada ketidaksambungan antara KH Ahmad Dahlan dan Keraton, dan itu Keraton ngeluhnya kepada saya. Karena trauma bermacam-macam itu saya bisa paham kenapa kiai-kiai NU meminta KH Hasyim Asy’ari tidak usah difilmkan. Tapi itu kan kekhawatiran mereka.”

“Hidup ini nggak harus seperti pendapat kita kok. Ketika Rasulullah dipanah kena lehernya, terus yang memanah akan dibunuh oleh sahabat Beliau, Rasulullah mengatakan, ‘Jangan dibunuh! Saya sudah terlanjur mendoakan cucunya!’. Artinya, Rasulullah ketika kena panah mendoakan semoga cucu si pemanah adalah orang yang mencintai Rasulullah dan akan membela Islam. Kalau si pemanah dibunuh, dia nggak jadi punya anak, nggak jadi punya cucu, dan pejuang Islam berkurang satu. Itu Rasulullah, yang tahu apa yang akan terjadi.”

“Dan di dalam Islam terdapat banyak contoh. Juga Allah mengatakannya sendiri, bahwa apa yang kamu tidak suka bisa jadi bermanfaat untukmu, dan apa yang kamu suka bisa jadi berbahaya untukmu. Jadi saya kira wilayah film ini juga ada dalam dinamika ini. Nggak ada masalah. Apa yang awalnya kita tidak setuju kemudian kita setuju, itu bukan tidak konsisten, melainkan karena kita sudah menemukan kearifan baru. Itu boleh saja. Jengis Khan menghancurkan peradaban Islam di Baghdad, tapi jangan lupa, cucunya yang kemudian membangunnya kembali. Muawiyyah yang membuat teks kutukan kepada Sayyidina Ali di akhir kata khotbah Jumat, jangan lupa bahwa cucunyalah, Umar bin Abdul Aziz, yang menghapus kutukan itu dan mengembalikan khotbah kepada sikap-sikap yang normal. Jadi, hidup itu belum tentu. Tapi memang manusia tugasnya untuk terus-menerus meneliti dan bersikap dinamis.”

“Sayyidina Hamzah pernah diperankan oleh Anthony Quin yang Kristen, itu boleh-boleh saja. Tapi kalau kasusnya Sang Pencerah kan agak beda. Kita nggak tega. Itu yang dikhawatirkan kiai-kiai. Tapi ternyata Bung Ikra yang memerankan. Saya kira tidak ada yang lebih tepat memerankan selain Beliau karena pencapaian-pencapaian sikap Beliau dan seterusnya.”

“Untuk Mas Iqbal, enggak kok. Bangsa ini nggak terus mayoritasnya adh-aful iman. Ada anomali dalam kehidupan. Sekarang ini muncul generasi-generasi baru, anak muda belasan dan likuran tahun yang fresh, tidak merupakan kontinuasi budaya politik Indonesia. Mereka bersih, cerah, punya pandangan sendiri, dan hidup mandiri. Komunitas-komunitas sastra muncul di mana-mana dan tidak terpengaruh penghancuran sastra oleh industri dan politik. Mereka muncul secara murni. Di wilayah pertanian, kesenian, agama, juga muncul mereka. Dan di Indonesia, perubahannya mungkin tidak melalui teori-teori besar keagamaan tapi melalui tetumbuhan-tetumbuhan baru di mana-mana yang orang belum ngeh mengenai itu. Maka saya sekarang gembira ke mana-mana, karena ke manapun saya pergi saya bertemu dengan mereka, anak-anak muda yang dahsyat.”

“Saya kira bangkitnya Indonesia tidak diijinkan melalui ributnya revolusi atau reformasi karena sudah terbukti beberapa kali bahwa yang nanti muncul adalah penunggang-penunggang yang ambisius yang kemudian mengklaim hasil reformais itu sementara reformis yang beneran tak bisa tampil karena media massa tidak suka pada orang yang tidak ambisius, para dasamuka, para satusmuka.”

“Mudah-mudahan tumbuhnya Indonesia ini mengagetkan. Karena akan muncul sikap-sikap baru yang tidak kita perhitungkan, tidak gegap gempita di media massa. Kalau ngomong teknologi, misalnya, anak-anak muda kita sudah sampai pada teknologi deformasi transformasi seperti pada manusia pasir di Spiderman, dan itu ilmiah. Dulu, orang Jawa dan Bali menempuhnya dengan kekuatan batin.”

Menjawab pertanyaan A’am, Mas Ian Betts menjelaskan, “Proses pembuatan Jalan Sunyi Emha memakan waktu satu tahun dimulai dari Juli 2005. Terbit pada tahun 2006 oleh Kompas Gramedia. Niat awalnya adalah membuat buku dalam bahasa Inggris yang akan diterbitkan di luar negeri, tapi kemudian Kompas Gramedia minta Bahasa Indonesia. Judul awalnya The Secret Pilgrimage atau The Secret Pilgrim. Tapi kemudian berubah menjadi The Silent Pilgrimage. Waktu itu belum ada koneksi dengan lagu Kiaikanjeng; tiba-tiba saja pas. Beberapa waktu kemudian berubah satu kali lagi menjadi Jalan Sunyi Emha. Kalau ingin membaca dalam Bahasa Inggrisnya, ada dua alamat di Blogspot : The Silent Pilgrimage dan The Sea of Veils, yang diniatkan untuk mengkompilasikan karya-karya Cak Nun dalam Bahasa Inggris.”

Setelah duet Presiden Penyair dengan Mbak Inna Kamarie membawakan Summertime diiringi musik Mas Beben, Kenduri Cinta malam ini dipuncaki dengan doa bersama dan potong tumpeng mensyukuri 13 tahun perjalanan bersama. [Red KC/Ratri Dian Ariani , Dok Foto: Agus Setiawan]

Leave a Reply

Your email address will not be published.