Reportase Maiyah Bangbang Wetan “Syawalan Bersama Seniman Surabaya” PART 4
……………………..LANJUTAN DARI : REPORTASE BBW PART 3
“Semua yang kita bicarakan tadi semoga nanti bisa kita rangkum menjadi satuan, bukan sebagai kumpulan unsur-unsur yang banyak, tetapi unsur-unsur yang berharmoni menjadi satu entitas atau organisme. Tapi kan harus siap dulu dong, untuk bisa ‘nggendong’ semua itu tadi. Supaya siap, saya mencoba mencari metodenya bagaimana, nanti saya minta bantuannya Sabrang, dan saya akan ngobrol-ngobrol sama Sabrang, mungkin dengan yang lainnya juga.
Kita cari metodologinya dulu, thoriqotnya dulu, supaya jika thoriqotnya dipilih selanjutnya syariatnya bisa ditentukan oleh jenis thoriqotnya, sehingga pencapaian-pencapaian ma’rifatnya akan jelas”, kata Cak Nun memulai uraiannya.
Cak Nun kemudian memberikan penjelasan dengan contoh dari benda-benda yang ada disekitar. “Jadi misalnya gini, di depan ini ada telo di dalam piring. Jika posisi kesadaranmu atau skala berpikirmu diibaratkan seperti telo, maka lingkup urusanmu kan hanya satu piring. Kamu bersaing dengan telo–telo disekitarmu supaya tidak jatuh dari piring. Itu contoh awal. Ini kita berpikir simbolisme dulu, jangan dibantah dulu. Jika kamu telo, maka kamu tidak akan bisa berpikir atau memikirkan hal-hal diluar lingkup piring.
“Kemudian, jika kamu piring, maka lingkupmu apa saja?, katakanlah piring ini ada di atas panggung, atau diatas meja besar. Maka ada botol, mic, kabel, dan sebagainya. Dalam konteks ini, kita tidak bisa menuntut telo, untuk bisa berpikir sebagaimana piring. Selanjutnya, jika kamu adalah panggung, yang menampung hal-hal yang lebih kecil tadi (mic, piring, botol, dll), maka konstelasimu sama apa saja? Oke, sama lampu, terop, dan lain sebagainya yang ada di balai pemuda.
Nah, jika Anda adalah balai pemuda, maka konstelasimu lebih besar lagi, meliputi seluruh wilayah Surabaya ( disamping menampung hal-hal yang berupa terop, panggung dll tadi). Jika Anda Surabaya, maka Anda akan bertemu dengan kota-kota lain, meliputi seluruh wilayah Indonesia. Kemudian jika konstelasi kesadaranmu memuai lagi, kamu adalah Indonesia, maka kamu akan bertemu dengan Pentagon, Arab Saudi, Israel, belum lagi muatan-muatannya, misalnya ada Arab Spring dan lain sebagainya.”
“Sekarang kita kembali, kalian membicarakan segala hal mulai dari pukul 9 tadi hingga saat ini, itu tadi dengan lingkup kesadaran sebagai apa? Tingkat telo, atau tingkat apa?. Jika sebagai telo, ya tidak perlu berpikir terlalu jauh dulu. Jadi setiap orang disini harus bisa mengukur diri masing-masing. Tingkat pembelajaran hidupmu itu masih tingkat telo, atau piring atau sudah Indonesia. Kalau sudah Indonesia, maka kamu harus sudah berpikir internasional. Yang berarti wadahmu adalah bumi sebagaimana telo dalam piring. Nah jika kamu adalah Bumi, gimana?, soal ini saya akan minta bantuan Sabrang.”
“Dan terkait dengan hal ini, jangan lupa, di kebudayaan Jawa, terdapat kesadaran-kesadaran dan pencapaian filosofi-filosofi yang luar biasa, yang simbolisasinya sampai ke bumi. Misalnya ada orang itu yang punya sifat ‘nyegara’, kemudian ‘nglemah’, yang menyimpan arti bahwa meskipun dia diinjak-injak setiap hari, tapi dialah yang menghidupkan banyak hal. Ibu itu diibaratkan tanah, dialah yang melahirkan pohon-pohon, dan seterusnya.”
Cak Nun kemudian melanjutkan penjelasan simbolisme ruang lingkup kesadaran kepada para jamaah dengan melakukan dialog dengan Sabrang. Jika kita adalah bumi maka lingkup konstelasi kita adalah tata-tata surya, keluarga matahari. Jika kita tata surya, maka lingkup kita adalah meliputi wilayah galaksi, dimana satu galaksi terdiri dari triliyunan tata surya. Dan jika kita galaksi, maka lingkup kesadaran kita meliputi segala hal dalam wilayah galaksi cluster.
CN: “Dan sampai saat ini, Brang, adakah pencapaian penemuan ilmiah yang bisa merekam atau membayangkan lingkup galaksi cluster, misalnya ada berapa banyak jumlah galaksi cluster yang ada di jagad raya?”
Sabrang: “Jika dari sudut pandang itu, limitasi sudah bukan lagi luasnya ruangan, tetapi sejauh mana kita bisa memandang”.
CN: “Oke, jadi disini, kita mulai ketemu dengan yang namanya relativitas ruang dan relativitas waktu. Sebelum kita lanjutkan, sebagai manusia, sebaiknya kita harus bagaimana, lebih baik mengerti atau tidak tentang hal-hal itu? Atau adakah prosentase tertentu tentang seberapa banyak yang perlu kita tahu, dan seberapa banyak yang kita tidak perlu tahu, itu bagaimana Brang?“
Sabrang: “Kalau ngomong soal universalitas hukum, apakah kamu perlu mempelajarinya atau tidak, ta itu tidak ada hukumnya, tapi kan ada dorongan tertentu jika kamu tertarik tentang hal itu, mesti ada keinginan untuk mencari lebih jauh.”
CN: “Nah, Sampai disitu kita sudah masuk wilayah-wilayah dimana seringkali Tuhan ‘mupus’, dalam istilah jawanya. Bahwa sudah cukup Tuhan saja yang tahu. Innaka laa ta’lam, wa Ana A’lam begitu kata Allah. Sudah cukupkan pengetahuanmu pada titik ini saja, karena hanya Aku yang mengetahui. Biar tidak kebablasan. “
CN: “Oke, sekarang Saya belokkan sedikit, supaya pemahaman dan kesadaran kita ada asesori dan gendongannya. Kalau bicara soal alur peradaban yang berjalan di dunia sekian abad, kira-kira ada berapa peradaban inti, Yunani Kuno misalnya?”
Sabrang: “Langsung ke akarnya saja mungkin ya. Kalau Yunani kuno itu masih anak’an. Jadi kalau 6000 tahunan, kita tahunya Sansekerta dari India, tapi kalau 12000 tahun kebelakang, Sansekerta itu dari proto-indo-germanic, di sungai Rhine, Jerman. Nah, Sansekerta disana lahirnya”.
CN: “Sekarang ceritakan, bahwa seluruh peradaban di bumi sebenarnya telah diberi rumus yang jelas oleh Tuhan. Nah, tolong Brang, kamu ceritakan sedikit tentang yang kamu sebut ada winihe (benihnya) jagad, wite (pohonnya) jagad, kembange (bunganya) jagad, dan ada wohe (buahnya) jagad. Ini kita belok sedikit sebelum kita ngomong soal kesenian. Untuk apa kamu ngomong soal kesenian, kalau kamu tidak tahu sangkan paraning dumadi”.
Sabrang: “Ini yang menarik, di hampir semua peninggalan peradaban lama ada satu gambar yang ditemukan di semua jenis peradaban. Paling gampang, kalau mau cari di google, itu di peradaban Cina, gambar bola yang dipegang oleh singa. Disitu (bola) ada gambar garis-garis, yang disebut sebagai bunganya jagad. Tadi saya kan bilang, bahwa semua ilmu itu bisa mencari Tuhan, nah yang akan saya ceritakan ini nanti sebenarnya adalah cara ilmu geometri menjelaskan penciptaan. Akarnya dari sana.”
“Di bumi ini (disimbolkan) ada winihe (benihnya) jagad, wite (pohonnya) jagad, kembange (bunganya) jagad, dan ada wohe (buahnya) jagad, sampai kemudian pohon kehidupan. Kalau mau menjelaskan detail tentang ini, sebenarnya kita butuh jangka dan penggaris. Tapi kita ambil mudahnya saja, dari bunganya jagad itu, yang terdiri dari lingkaran-lingkaran, akan terbentuk pola dasar kehidupan yang ada di jagad raya ini. Saya ngomong dari benda dulu.
Dasar bentuk atom yang menyusun benda-benda di dunia ini, itu yang paling stabil hanya ada 5 (bentuk), di jaman modern ini kita mengengalnya sebagai platonic solid. Itu diambil dari titik-titik pertemuan garis di kembanging jagad itu tadi. Itu nanti, kalau kita lihat ka’bah, mengapa kok bentuknya dan ukurannya kotak kubus seperti itu, (itu ada hubungannya dengan bentuk-bentuk platonic solid, yakni cube/kubus). Kemudian ada tetrahedron, icosahedrons, dan lainnya sampai 5. Itu dari sisi perbendaan. Dan semuanya berangkat dari situ.”
“Kalau sekarang ke musik. Misalnya, kenapa notasi itu (bisa terdengar) enak, karena itu juga berada pada titik-titik pertemuan di kembanging jagad itu tadi. Maksud Saya gini, kalau misalnya anda main gitar, anda mau nada C, kemudian anda mencet salah satu fret, itu kan berarti ada perbandingan rasio antara senar yang bergetar dengan yang di pencet.
Itu kalau (contoh dalam) nada. Nah rasio-rasio itulah (rasio-rasio nada C, D, dsb) yang telah tertera dan terumuskan dalam kembanging jagad itu tadi. Simpul-simpul yang ada di kembanging jagad itu juga mencakup semua scale (notasi) yang ada di dunia, dari India, Jawa, nada diatonis, dan sebagainya, bahkan yang belum ditemukan, semua dasar rasionya dari titik-titik koordinat di kembanging jagad itu. Rumus angka juga tertera di kembanging jagad. Jadi (rasio-rasio) kembanging jagad itu tadi yang mendasari semua hal, mau seni, geometri, arsitektur, angka, astronomi, semua rumus dasarnya berangkat dari situ”.
“Disitu juga menunjukkan begini, misalnya untuk aplikasi ke konteks akal, untuk mencapai pencarian akal, pertama ada segitiga dasar, bahwa anda harus memahami retorika, logika, dan gramatika. Setelah itu beres, baru yang selanjutnya, yakni segi empat, itu ada 4 sisi/bidang yang perlu dipahami secara seimbang dan berhubungan, ada angka (matematika), astronomi, geometri, dan satu lagi saya lupa. Jadi, jika anda membuat sesuatu yang dasarnya dari itu (rumusan kembanging jagad), maka otomatis indah. Sebagaimana keindahan yang kita lihat di alam, karena pola dasarnya alam ya itu tadi.”
CN: “Oke, jadi seluruh peradaban yang pernah ada di muka bumi ini, terserah kita melihat sudut pandangnya dari mana saja, bisa peradaban Sansekerta, Yunani Kuno, Jawa, Cina, atau Mesir, mereka semua sudah menemukan kembanging jagad itu. Artinya, mereka sudah memahami irodatullah, memahami kehendak Allah dalam penciptaan dengan rumus yang itu tadi. Terserah kamu mau bikin apa saja, rumusnya tidak bisa lepas dari kembanging jagad. Sekarang saya tanya, Brang, apakah filosofi dan kehidupan peradaban dunia modern, dengan ideologinya, ilmu pengetahuannya, sekolah dan universitasnya, merupakan akselerasi dari kesadaran kembanging jagad, ataukah itu merupakan loncatan baru yang tanpa kesadaran?”
Sabrang: “Saya kembalikan gini, mungkin agak saya belokkan dulu. Dulu Kanjeng Nabi pernah ditanya oleh satu sahabat, tolong Nabi kasih sesuatu sehingga saya tetap bisa mengikuti jalannya Panjenengan. Nah Nabi menjawab, “dengarkan fatwa hatimu”. Jadi, maksud saya begini, mekanismenya, segala rasa itu yang merasakan kan hati.
Karena segala macam hal memiliki bentuk dasar sebagaimana di kembanging jagad, begitu juga hati. Maka yang bisa memunculkan efek resonansi rasa adalah segala hal yeng memiliki rumus yang sama. Kalau hati anda gatal, merasa tidak sreg melihat keadaan yang ada di sekitar, berarti kan ada yang tidak sesuai dengan akselerasi kembanging jagad, dan jika seperti itu, dapat dipastikan akan berakhir pada kehancuran karena tidak stabil”.
CN: “Jadi, saya akan belok lagi sedikit, supaya untuk nambahi apa yang disampaikan Sabrang. Rasulullah itu sama Allah nggak boleh punya anak laki-laki, sebab bayangkan jika anda jadi anak laki-lakinya Kanjeng Nabi, bisa hidup apa tidak, Anda? Gimana nanggung sejarahnya bapakmu, diharapkan habis-habisan oleh masyarakat, kamu pasti tidak bisa hidup. Maka Allah tidak memperkenankan Nabi punya anak laki-laki, dan mengambilnya ketika masih kecil.
Tapi Dia menggantinya dengan seorang anak perempuan yang jauh lebih kuat, yang merupakan kembanging umat islam, yaitu Fatimah Az-zahro, yang namanya oleh Rosul disebut Zahro. Zahro itu bunga, kembang, jadi Rasulullah tidak main-main dalam memberi nama. Ini hanya mengingatkan saja, kapan-kapan kita bisa menganalisis lebih dalam.”
“Sekarang saya tanya Brang, sebagai lanjutan yang tadi, diantara semua perjalanan peradaban dari rumpun bangsa entah Sansekerta, Yunani, Mesir, Jawa, dan segala macem, terserah bagaimana akselerasinya dan konstelasinya, saya kembalikan lagi sedikit, yang paling luas pandangannya terhadap jagad raya itu peradaban mana?”
Sabrang: “Wah,,, harus cerita ini berarti…”
CN: “Tidak apa-apa, cerita saja, sedikit-sedikit, supaya yang ada disini punya kesadaran. Karena begini, Maiyah ini tidak punya nafsu untuk memperbaiki Indonesia. Tapi, sangat bisa diharapkan akan melahirkan manusia-manusia baru Indonesia yang membuat Indonesia akan berubah dengan sendirinya. Sebagaimana yang disampaikan oleh Yai Tohar (Toto Raharjo) tadi, bahwa kita saat ini hanya bisa berharap pada perbaikan orang-orang, yakni masing-masing diri anda. Maiyah hanya menyiapkan anda, menciptakan atmosfer, supaya anda menjadi manusia baru dan dimanapun anda berada, anda akan menjadi pemimpin dengan kesadaran yang anda miliki. Nah, pertanyaannya kasarannya gini, yang paling tahu tentang galaksi-galaksi di semesta ini sebenarnya orang dari peradaban mana, Brang?.
Sabrang: “Oke,, ada sedikit cerita dulu. Jadi kemarin itu NASA bingung, karena satelitnya yang paling jauh, entah Apollo enam atau berapa itu, sudah keluar tata surya. Nah, karena tidak tahu informasi tentang jagad, mereka ngirim orang ke Jogja, untuk menerjemahkan kitab yang namanya Kitab Buana Kosa. Kalau Kosakata itu kan kumpulan kata-kata, kalau Buana Kosa itu bercerita tentang kumpulan jagad raya. Ini sebenarnya tidak banyak yang tahu, tapi Saya cerita sedikit-sedikit saja ya,,,.
“Gini misalnya, kalau Anda merasa mitologi-mitologi yang diceritakan kepada Anda, itu hanya cerita-cerita nenek moyang, itu tidak benar. Itu adalah sebuah mekanisme untuk meneruskan informasi. Jika kamu enggan berpikir soal science, maka ini saya kasih cerita yang bagus seperti film, ibaratnya seperti itu.
Cerita itu kemudian diingat dan diceritakan kembali ke anak cucu, sehingga banyak mitologinya. Cerita-cerita itu sebenarnya selalu ada perimbangannya, yakni kitab-kitab yang bersifat science, yang memiliki penjelasan detail, misalnya saja ada yang tentang lapisan-lapisan bumi dan segala macam. Nah, Kitab Buana Kosa kemarin itu bercerita bahwa orang yang bikin kitab itu, bilang kalau dia pernah berkunjung ke 27 galaksi.
Di Kitab itu dia bercerita, yang ada peradabannya itu di planet mana, di galaksi mana, koordinatnya mana. Tapi bahasa yang digunakan adalah bahasa ibu, bahasa Sansekerta Tua, yang di dunia sekarang mungkin hanya 3 orang yang masih bisa. Saya tahunya 3, karena yang di Jogja ini, yang diminta menerjemahkan ini, dia itu Doktor, sudah 18 tahun, dan belum bisa jadi professor. Ini karena untuk jadi professor, orang itu harus dites oleh 3 orang professor, nah masalahnya profesornya di dunia tidak ada, jadi ya mentok tidak bisa jadi professor. Jadi, dia ini salah satu 3 orang di dunia yang secara akademik paham sekali tentang bahasa Sansekerta, sehingga dia diminta untuk menerjemahkan kitab Buana Kosa.”
…………………………BERSAMBUNG KE : REPORTASE BBW AGUSTUS 2013 PART 5
One thought on “Reportase Maiyah Bangbang Wetan “Syawalan Bersama Seniman Surabaya” PART 4”