Arsip, Berita

Reportase Maiyah Bangbang Wetan “Syawalan Bersama Seniman Surabaya” PART 6

……………………..LANJUTAN DARI  : REPORTASE BBW PART 5

 

cak sabrang“Seharunya sekarang anda tidak terganggung dong, oleh macem-macem yang terjadi di Indonesia, karena.  semuanya itu tadi adalah persoalan-persoalannya wong-wong cilik, kelas telo-telo, sedangkan kalian yang ada disini bukan telo tetapi orang-orang besar yang akan punya masa depan yang jauh dan kamu punya kesiapan memperbaiki Indonesia, terserah melalui jalan kesenian, atau apa saja yang tanpa pembidangan.

Karena seorang seniman tidak mungkin menghindari ilmu, ilmuwan tidak mungkin menghindari kesenian, kesenian dan ilmu tidak mungkin menghindari keagamaan, orang beragama tidak mungkin bisa menghindar dari ilmu pengetahuan dan teknologi, karena semua itu berjalan sekaligus. Sebagaimana tidak bisa cabai berdiri sendiri tanpa garam, tomat, bawang. Karena cabai itu tidak akan berharga dan tidak enak jika berdiri sendiri tanpa kebersamaan dengan yang lainnya.

Itulah bodohnya dunia modern yang mebuat sekolahan ada fakultas. Fakultas A, tanpa mempelajari B, fakultas C yang tidak tahu D, maka dari itu kenapa sekarang ini sampai sarjana yang diketahui hanya soal cabai, tanpa tahu soal garam, tomat, bawang. Sehingga banyak dari mereka yang tidak laku, karena syarat supaya laku mereka harus mau dicampur dengan bawang, tomat dan sebagainya itu tadi. Di dalam diri manusia itu meliputi fakultas apa saja, yang berlangsung dalam satu entitas. Tidak ada yang namanya manusia itu bagian dari fakultas, yang ada adalah fakultas itu bagian dari diri manusia”.

 

“Nah, selanjutnya saya harap Sabrang bisa menceritakan gimana asal muasalnya dulu, kenapa sampai ada yang namanya sekolahan. Karena itulah (salah satu) yang ikut urun merusak manusia.”

 

Sabrang: “Menurut yang saya pahami, di Arab, di Jawa, pada peradaban lama, itu sistem belajarnya adalah gurunya diam, bikin buku atau dia menguasai pelajaran tertentu, kemudian muridnya yang datang untuk menimba ilmu. Kemudian terjadi tawar-menawar berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk belajar. Kemudian setelah si murid lulus, murid ini mencari guru yang lain untuk mempelajari yang lain lagi. Nah ketika maju-majunya jaman islam, dengan banyak macem-macem guru itu tadi, di Eropa kan masih jaman kegelapan, orang pinternya  masih sedikit. Dari yang sedikit itu tadi ada yang belajar, kemudian ketika pulang ke Eropa, ia ingin mengajarkan itu kepada anak-anak, maka dibuatlah kelas.

Jadilah ada satu guru yang mengajar banyak anak sekaligus. Mekanisme kelas setahu saya lahirnya seperti itu. Jadi bukan berangkat dari keinginan anak yang ingin membangun ilmu pengetahuan dalam dirinya, tetapi dari gurunya yang menentukan si anak ini butuh belajar apa saja. Hal itu jika untuk mencapai tujuan yang dibawa oleh gurunya menjadi cara yang ampuh, tapi untuk muridnya dia jadi terbentuk (tidak tumbuh sesuai keunikannya).

Karena kan begini, setiap manusia itu kan lahir sebagai makhluk unik. Ketika anda masuk sekolah, dipaksa untuk menjadi seragam, maka keluarnya juga jadinya seragam. Dan adanya sekolah itu semakin dipacu ketika masa revolusi industri. Ketika dibutuhkan banyak pekerja, untuk memilih pekerja maka diperlukan tolak ukur, pintarnya seberapa, harus bisa apa saja, makanya diciptakanlah title kesarjanaan, yang menunjukkan bahwa seseorang itu sudah belajar ini, belajar itu, sudah tahu ini dan itu”.

 

“Ada salah satu contoh ilmuwan barat yang tidak seperti itu, tetapi tidak banyak diceritakan. Anda tahunya Newton itu kan ahli Fisika. Tetapi pada kenyataannya ternyata dia bisa apa saja. Dia mempelajari Fisika, rumus matematikanya belum ada, maka dia bikin matematikanya sendiri.

Rumus diferensian-integral itu dua orang sekaligus, orang Jerman yang namanya Leibniz dan orang Inggris yang namanya Newton. Newton itu juga ternyata sangat religius, ada satu bukunya yang tidak diterbitkan dimana dia mengkodifikasi injil. Karena dia sangat religius dia ingin mempelajari Injil, dan menurut dia injil itu kode, jadi matematikanya dia kerjakan sendiri. Jadi memang tidak ada ilmuwan besar yang tidak lengkap.

Kalau Anda mempelajari Steve Job, apa dia hanya belajar melulu soal komputer? Tidak. Yang justru membuat Apple hingga saat ini belum terkalahkan, salah satunya karena Steve Job belajar tentang kaligrafi. Karena dia belajar hal-hal yang tidak dibayangkan sama orang umum. Dari itu semua, sebuah karya itu bukan bertitik tolak dari pada saat anda membuat, tetapi rangkuman dari perjanalanan (penciptanya) sebelumnya. Jadi kalau sekarang ini anda sekolah, bersiap-siaplah dicetak menjadi pekerja-pekerja.”

 

CN: “Oke, jadi dari beberapa yang diceritakan Sabrang mari kita tengok beberapa jendela biar Indonesia ketika anda pimpin besok menjadi mantab, karena tahu kuncinya behubungan dengan kembanging jagad itu tadi.”

 

Cak Nun kemudian mencoba membantu jamaah mengelaborasikan hal-hal yang telah dibicarakan dengan memberikan contoh perbandingan beberapa tokoh beserta karya-karya yang diciptakannya, seperti Steve Job dengan Apple-nya, Bill Gates dengan Microsoft-nya. Kemudian Freddie Mercury dengan Queen-nya, dan Robert Plant dengan Led Zeppelin-nya.

 

Cak Nun juga mengingatkan kepada para jamaah untuk menjaga keistiqomahan dan kelurusan berpikir supaya tidak terjebak dalam kesalahan berpikir, sebagaimana yang tersirat dalam salah satu lagu dolanan di Jawa (Eh dayohe teko – e beberno kloso – e klosone bedah – e tambalen jadah – e jadahe mambu, dsb). Karena itulah yang terjadi di Indonesia saat ini terjebak dalam kesalahan-kesalahan berpikir, sehingga membawa pada keruwetan-keruwetan yang saat ini berlangsung di bidang apa saja.

“Hanya orang modern yang bodoh dan tidak tahu bagaimana menempuh masa depan, sedangkan orang masa lampau yang kita remeh-remehkan itu jauh lebih mengerti meletakkan sesuatu supaya itu bisa sampai pada anak cucunya. Lagu dolanan tersebut merupakan salah satu bentuk pesan-pesan nenek moyang supaya kita berhati-hati.

Karena dengan melalui lagu, pesan-pesan yang dalam itu, tidak akan dilupakan meskipun anak-anak itu sudah beranjak dewasa. Seperti juga lagu gundul-gundul pacul, meskipun kamu saat ini tinggal di Amerika atau di belahan dunia manapun, kalau kamu benar-benar orang Jawa, maka kamu akan tahu lagu itu. Begitulah strategi kebudayaan nenek moyang kita untuk menyimpan (kebijaksanaan-kebijaksanaan) masa silam supaya bisa terus mengalir hingga masa depan dan ditangkap oleh anak-cucu mereka.”

 

Orang-orang dulu berbeda dengan orang-orang jaman sekarang yang bisanya hanya mencaci orang lain, menyalahkan, mengkafir-kafirkan, dan sebagainya. Karena mereka tidak memahami kembanging jagad, tahunya hanya kotorannya jagad. Agama dianggap tidak ada hubungannya dengan ilmu dan seni, kemudian menganggap seni itu haram, musyrik, dan tidak boleh main musik.

Musik itu kan hanya bunyi, nada dan irama, bagaimana kita bisa hidup tanpa musik, jika dalam hidup kita tidak bisa lepas dari tiga hal tersebut. “Misalnya kita tidur tidak boleh mendengkur, ketika berjalan tidak boleh bunyi, kemudian ngomong tidak boleh ada nadanya. Sampai kemudian ada kelompok-kelompok tertentu di Solo, yang mereka tidak melagukan adzan, dan hanya membunyikannya secara datar saja. Dengan seperti itu mereka kira mereka dapat menghindari musik, padahal sebenarnya mereka itu kan jadinya sama dengan melakukan adzan dengan cara nge-Rap”.

 

Terkait dengan musik, Sabrang juga menambahkan tentang asal muasal nada diatonis yang selama ini kita tahu, bahwa nada diatonis itu bukan hasil ciptaan Yunani, Yunani hanya mengumpulkan nada-nada yang ada di seluruh dunia, kemudian diolah dan diatur sedemikian rupa supaya ketemu tangga nada yang bisa mengakomodasi semua jenis musik. Nada ‘fa’ itu tidak ditemukan dimana pun di dunia ini, kecuali di Jawa. Jika Yunani tahu itu, pasti itu ambilnya dari sini. Ada tangga nada yang namanya Aeolian, itu dari desa yang namanya Aeolian, kemudian tangga nada Dorian itu asalnya dari nama daerah dimana tangga nada itu ditemukan, jadi mereka hanya mengumpulkan.

 

Cak Nun: “Jadi kalau diistilahkan, mereka itu sebenarnya sama dengan pengasong. Dan peradaban pengasong itulah yang sekarang menjadi prinsip (kiblatnya) beradaban hidup di dunia. Sehingga negara harus demokrasi, jika demokrasi harus ada parpol, jika ada parpol harus pake pemilu, itu semua kan ya ikut-ikut budaya pengasong tadi. Padahal kita punya nenek moyang yang jauh lebih dewasa, lebih cultural, lebih komprehensif dalam mengelola kebersamaan banyak orang, yang jika saat ini, hal itu diwakili oleh yang namanya negara. Jadi saat ini jika kita mengasosiasikan musik, ya musik klasik. Jadi kalau ada akademi musik di Indonesia, yang dipelajari bukan musik-musik nusantara, tetapi yang dipelajari harus Beethoven, Vivaldi kan gitu, karena mereka yang kita jadikan dewa. Kemudian jika kita belajar teater, tidak ada ludruk, atau kethoprak sebagai referensi wacana teaterawan modern, tetapi yang dijadikan referensi utama ya Shakespeare.”

 

“Nah, tadi kan kita ngobrolin soal galaksi-galaksi, nah sekarang saya mau tanya ke Sabrang lagi, menurut nenek moyang kita, Brang, ada nggak informasi tentang apakah iya yang ada peradabannya itu cuma di planet kita saja?”

 

Sabrang: “Informasi ini mungkin tidak ada di Google, yang ada di Google hanya sebatas penjelasan probabilitasnya saja. (asumsinya) Diantara sebegitu banyaknya galaksi dan planet-planet yang ada pasti ada kemungkinan bahwa ada peradaban lain selain di Bumi. Nah, kalau menurut Buanakosa, ya itu memang ada. Bentuknya ya seperti kita, dengan sedikit modifikasi-modifikasi, kapan-kapan lah (kita sambung lagi).”

 

CN: “Oke, dari semua tadi yang penting kan anda sudah tahu dan sudah ada kesadaran bahwa anda bukan lagi  telo, piring, meja, dan yang kecil-kecil lainnya. Paling tidak anda telah punya keluasan pandangan. Anda tahu, penyakit utama di Indonesia adalah kesempitan dan kedangkalan.

Di majlis ulama’ misalnya, adakah ulama’ Fisika, ulama’ Matematika, ulama’ Lingkungan Hidup, ulama’ Arsitektur? Tidak ada kan? Nah ini tadi lah salah satu contoh aplikasi cara pikir yang tidak komprehensif, yang terkotak-kotak. Kita berpikirnya kan yang disebut ulama’ itu melulu yang hubungannya hanya sama agama atau ilmu keagamaan. Padahal yang disebut ulama’ adalah kumpulan orang-orang yang memiliki kedalaman dan pemahaman ilmu di bidang apa saja, tidak hanya ilmu agama. Jadi, islam yang ada di Indonesia, pelaksanaannya adalah dengan cara Yunani.”

 

Cak Nun, kemudian juga menyinggung soal pergeseran penggunaan istilah murid menjadi pelajar, siswa, dan kemudian peserta didik. Hal ini karena (tanpa kita sadari) kita telah meninggalkan diri kita, padahal murid itu artinya adalah orang yang mencari ilmu, atau orang yang menghendaki ilmu, atau orang yang mengejar ilmu, dari kata arooda, yuriidu, iroodatan, muriidun.

Jadi seperti yang tadi Sabrang bilang, kalau di peradaban kita ada orang pintar, kemudian jika ada orang yang ingin belajar, maka orang itu harus datang kepadanya. Nah ketika masa kegelapan di Eropa tidak ada orang pintar, dan orang-orangnya tidak ingin belajar. Akhirnya dikumpulkanlah orang-orang itu untuk diajari, sehingga (memungkinkan) pembelajaran menjadi proses rekayasa untuk mencetak orang. Jika kondisinya seperti itu, kemudian dihubungkan dengan (konteks pemaknaan) ramadhan dan idul fitri, apakah mungkin bisa terjadi Idul Fitri di Indonesia?.

 

(Dalam konteks pemaknaan ramadhan dan idul fitri) itu kan melalui puasa kamu menge-nol-kan dirimu, sehingga kamu menjadi manusia persis sebagaimana yang Tuhan kehendaki atas dirimu ketika ia menciptakanmu, (yang unik dan tidak sama antara manusia satu dengan yang lain). Pada titik inilah yang disebut idul fitri.

Nah jika dikembalikan pada pertanyaan ‘mungkinkah bisa terjadi idul fitri? Maka kemungkinannya mustahil terjadi idul fitri. Kenapa? Karena begitu anda sekolah, anda dirubah untuk menjadi yang bukan diri anda, sehingga anda terbentuk tidak sesuai dengan perjanjian yang anda lakukan dengan Tuhan sebelum anda dilahirkan. Jadi kalau anda punya anak, jangan anggap dia sebagai anak didik anda, karena dia adalah makhluk Allah yang punya kemandirian dan berhubungan langsung dengan Allah. Tugas anda hanya mengawal dia menjalankan penelitian untuk menemukan siapa sejatinya dirinya.

 

Penelitian tentang diri sendiri inilah yang tidak dimungkinkan terjadi ketika seseorang masuk ke sekolah, karena di sekolah tidak diajarkan hal seperti itu, yang ada hanya dicetak menjadi ini dan itu. Kurikulum yang di sekolahan itu, itu kan tidak perduli dengan siapa diri anda, itu kan kejam. Jadi tidak perduli anak itu siapa. Padahal Allah menciptakan manusia itu bermacam-macam, sebagaimana tidak ada sidik jari yang sama tiap-tiap manusia di sepanjang zaman. Maka setiap manusia harus kita perlakukan dengan  terus-menerus mempelajari siapa sebenarnya yang kita didik itu.

 

…………………………BERSAMBUNG KE : REPORTASE BBW AGUSTUS 2013 PART 7

 

One thought on “Reportase Maiyah Bangbang Wetan “Syawalan Bersama Seniman Surabaya” PART 6

Leave a Reply

Your email address will not be published.