Rumah Wak Jan di Pojok Jalan – Romantika Kamar Kost Mahasiswa (3)
Kemlagen #31

Oleh: Samsul Huda
Di kawasan Jl. Veteran, Kota Malang, pada kisaran tahun 80-an, terdapat beberapa kompleks perguruan tinggi. Di sisi selatan berdiri IKIP (sekarang Univ. Negeri Malang) dan Universitas Muhammadiyah (Unmuh) kampus 1. Di bagian barat, ada Institut Teknologi Nasional dan IAIN (saat ini Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim). Universitas Brawijaya di kawasan utara dan Unmuh kampus 2 di sebelah timur.
Di masing-masing lingkungan kampus itulah saya bekerja. Menyusuri jalan dan gang-gang yang dipenuhi rumah kost, warung, dan toko-toko kecil. Wilayah bagi mahasiswa menjalani hidup keseharian, sementara saya menikmati usaha menghabiskan onde-onde. Menjajakan jajanan yang saya bawa setiap hari. Daerah sekitar Sumbersari, Ketawanggede, dan Watu Gong seolah khatam saya lintasi.
Tak seorangpun mahasiswa yang mengetahui kalau saya adalah seorang mahasiswa seperti mereka. Saya memang sengaja tidak memperkenalkan diri dan menutup rapat identitas ini.
Di kala menjajakan onde-onde di wilayah Ketawanggede, saya sering berpapasan dengan seorang penjual dawet keliling yang memikul dagangannya. Di samping berpapasan, saya juga sering ngobrol sebentar sambil menikmati dawetnya sekaligus istirahat setelah lelah keluar masuk gang menjajakan kue dengan berjalan kaki. Akhirnya, kami saling kenal dan akrab. Saya memanggilnya Wak Jan. Orangnya santai. Bicaranya ceplas-ceplos dan senang bercanda.
Kepadanya, saya ceritakan bahwa saya sedang mencari rumah kontrakan yang murah untuk tempat tinggal dan memasak kue sebagai upaya untuk memproduksi onde-onde sendiri. Mendengar itu, dia langsung menanggapinya dengan serius. Dia ikut membantu dengan mencarikan informasi. Namun karena dia paham kalau saya tidak mempunyai uang untuk kontrak rumah dengan harga umum, maka dia tawarkan rumahnya untuk saya tempati.
Tawaran Wak Jan tidak saya sia-siakan dan langsung saya setujui. Besarnya uang sewa dia serahkan kepada saya untuk menentukan sendiri sesuai dengan kemampuan. Setelah pembicaraan relatif singkat, kami sepakat di angka Rp 50.000 per tahun.
Rumah semi permanen ada di ujung pojok jalan Sumbersari gang tiga. Di samping kanan terdapat sejumlah makam, sedangkan di belakang rumah terhampar sebidang tanah kosong. Lingkungan sekitar rumah cukup sepi. Ruangan yang saya tempati terletak di belakang rumah utama. Sebuah bangunan terpisah tanpa kamar, tanpa sekat dan tidak dilengkapi dengan kamar mandi dan WC.
Di rumah pojok samping makam itulah saya pertama kali punya kontrakan dan tempat tinggal sendiri. Di sana saya belajar dan mengerjakan tugas-tugas kuliah, tidur, dan memasak sendiri. Yang tak kalah penting: membuat onde-onde untuk dijual sebagai usaha mendapatkan masukan untuk biaya hidup dan kuliah.
Ternyata memiliki usaha sendiri tidak otomatis menjadikan hidup semakin nyaman dan tenang. Sebaliknya, menambah ribet dan sumpek. Waktu terasa sempit dan sulit dibagi. Problem kehidupan bertambah kompleks dan berat. Bagaimana tidak, kuliah di semester tiga dan empat sangat padat. Setiap dosen memberi tugas yang harus dikerjakan. Belum lagi saya harus membuat onde-onde dan menjualnya sendiri. Nasi terlanjur menjadi bubur maka kenyataan hidup harus dijalani.
Di rumah kontrakan sangat sederhana milik Wak Jan saya menemukan pemahaman baru tentang kehidupan. Bahwa problematika kehidupan harus tetap dihadapi. Mengusahakan apa saja yang bisa kita lakukan sambil berserah diri sepenuhnya kepada Ilahi Robbi Al-Wakil.
Melalui Surah Al-Insyirah (94) ayat 5 dan 6, Allah berfirman:
فَإِنَّ مَعَ ٱلْعُسْرِ يُسْرًا# إِنَّ مَعَ ٱلْعُسْرِ يُسْرًۭا
“Maka sesungguhnya bersama satu kesulitan itu sekaligus tersedia berbagai macam kemudahan. Sungguh bersama satu kesulitan itu sekaligus tersedia berbagai macam kemudahan.”
Di setiap satu persoalan yang muncul dalam kehidupan kita, Allah selalu menyertakan berbagai solusi yang tak terhitung jumlahnya. Syaratnya adalah kita mau berpikir dan berusaha menyelesaikannya.
—oOo—
Penulis adalah santri di PP Roudlotun Nasyi’in, Beratkulon-Kemlagi dan PP Amanatul Ummah Pacet. Keduanya di Mojokerto. Mengaku sebagai salah seorang santri di Padhang mBulan, penulis bisa ditemui di kediamannya di dusun Rejoso-Payungrejo, kecamatan Kutorejo, Kab. Mojokerto