Ruwet, Ruwat, Rawat – Reportase BangbangWetan Agustus 2018
Syekh Nursamad Kamba membicarakan konteks ruwat yang dicontohkan Rasulullah saw. yang tidak lepas dari misi transformasi agama. keberhasilan Nabi Muhammad adalah berhasil mentransformasikan manusia Arab dari jahiliyah kepada pencerahan Islam. Untuk mentransformasikan iladdulumati ila nuur.
Maiyah selalu menghadirkan kerinduan untuk dituntaskan. Bertepatan dengan Senin–yang bagi sebagian orang terasa berat untuk memulai aktivitas–, BangbangWetan hadir kembali di Pelataran Balai Pemuda, Surabaya, yang masih dalam tahap “diruwat”. Selepas isya, beberapa jamaah datang lebih awal untuk mengikuti “Ruwat” sebagaimana tema yang terpasang di backdrop BangbangWetan Agustus 2018.
Sebagai mukadimah, moderator mempersilakan dulur dari Gambang Syafaat, Wakijo lan Sedulur, untuk mencairkan suasana dengan tembang shalawat dan lagu berjudul ‘Mari Pulang’. Lagu itu terinspirasi oleh ungkapan Mbah Nun, “Nek kowe Jowo ojo ilang jowone, nek Arab di ruwat, barat digarap” dan dari lagu ‘Apa Ada Angin di Jakarta’. Sebagaimana tema malam hari itu, diruwat artinya kembali ke fitrah. Mau jadi apapun dan kemanapun kita harus berpulang kepada diri sendiri dan mengenal asal diri kita sendiri.
Tema Ruwat ini terinspirasi dari salah satu adegan dalam lakon ‘Nabi Darurat Rasul Ad-hoc’ (NDRA), yang naskahnya ditulis langsung oleh Mbah Nun. Naskah tersebut pernah ditampilkan oleh Teater Perdikan dalam sebuah pergelaran di Jogjakarta, Jakarta, Semarang, Malang, dan Surabaya pada tahun 2012. Sebelumnya sebuah video potongan fragmen NDRA ditampilkan untuk menyegarkan ingatan kita akan percakapan Brah Abadon dan Ruwat Sengkolo. Di fragmen itu secara singkat Ruwat mengeluhkan keruwetan yang terjadi seperti gunung meletus, badai, gempa, dan sebagainya.
Diskusi sesi awal diisi oleh jamaah yang urun rembuk untuk menyampaikan pendapat mengenai tema. Ruwatan itu bisa sebagai cara untuk muhasabah diri, seperti ketika terjadi bencana kita harus instropeksi diri apakah kita sudah memperlakukan alam dengan baik atau justru merusaknya. Mbah Nun sering kali mengatakan bahwa alam adalah kakak, maka kita harus menghormatinya dengan menjaga agar keseimbangan itu tercipta dengan baik.
“Mekanisme ruwatan itu bisa terjadi sebagai rasa syukur”, Mas Acang menambahkan. Seperti ketika kita memperoleh sesuatu harus kita syukuri. Sebagai contoh tradisi diadakannya ruwatan setelah panen padi sebagai wujud terima kasih kita kepada Allah. Ruwatan skala kecil contohnya adalah wiridan setelah shalat, apabila tidak dilakukan maka ada efek yang dirasakan.
Mas Acang juga mengingatkan bahwa kita tidak perlu menghabiskan energi untuk memikirkan kegundahan suasana menjelang pilpres 2019. Saat ini ada gelembung persepsi, dunia informasi menjelang pilpres akan banyak menyebar berita hoaks. Mari kita terbiasa untuk melakukan tabayun, semoga dengan cara kita srawung seperti mengikuti Maiyahan ini kita bisa lebih bijak dalam menerima informasi.
Mbak Viha yang juga ikut berdiskusi menyampaikan pendapatnya mengenai tema. Beliau mengungkapkan bahwa ruwat bisa seperti buang sial. Untuk bergerak dari satu titik ke titik yang lain maka perlu diadakan suatu puasa atau proses panjang sebelum seseorang merubah hidup menjadi lebih baik. Dalam negara di skala yang lebih besar, ruwat ini sebuah proses yang panjang untuk mentransformasi dari suatu keadaan kepada keadaan yang lebih baik.
“Yasinan itu jangan-jangan sebagai ruwatan juga”, Mas Karim memberikan pengantar. Dalam ilmu antropologi ada buku yang terkenal ditulis oleh Arnold Van Gennep yang berjudul ‘The Rites of Passage’ tentang kajian pada bidang ritual kebudayaan. Berdasarkan penelitiannya di Prancis ada komunitas tertentu yang melakukan perkumpulan untuk menemukan keseimbangan. Hal itu menunjukkan bahwa ruwat tidak hanya dilakukan di Jawa. Jamaah Maiyah yang datang ini sebenarnya juga sedang melakukan prosesi ruwatan. Datang melepas identitasnya berkumpul pada satu frekuensi membentuk cuaca dengan ritual tertentu. Setelah menghancurkan identitasnya, pulang membawa perspektif nilai baru. Dalam proses itu semoga bisa semakin menguatkan masing-masing individu. Apa yang dilakukan Jamaah Maiyah dengan tiap malam berkumpul di berbagai simpul se-Indonesia, bisa kita bayangkan sepuluh tahun ke depan semoga ruwatan ini bisa merubah Indonesia.
Sebagai makhluk sosial dan simbolis kita butuh untuk srawung. Ruwatan sebagai wujud untuk berkumpul bersama komunitas sehingga muncul kesadaran.
Mas Sabrang MDP yang hadir bersama Syekh Nursamad Kamba dan Kyai Muzammil disambut antusias oleh jamaah. Oleh moderator, Mas sabrang diberikan kesempatan terlebih dahulu untuk membuka prespektif jamaah mengenai tema. “Tahap pertama dari ruwatan adalah ruwetan”, ungkap beliau. Ada yang ruwet urusan jodoh dan bermacam-macam ruwet lainnya. Arti dasar ruwatan menurut Pak Manu (Guru Mas Sabrang di Jogja) adalah menghancurkan. Menghancurkan sesuatu untuk menjadi lebih baik. Sebagai contoh beras direbus untuk menjadi nasi. Ruwatan ada yang kecil ada yang besar untuk diacarakan. Mas Sabrang juga menceritakan peristiwa ruwatan di zaman kerajaan.
Menyikapi peristiwa politik di Indonesia saat ini, beliau berpesan kepada jamaah agar ‘ojo gampang sedih‘ dengan memikirkan keadaan Indonesia yang akan mengalami pemilihan umum untuk jangka waktu lima tahun. Pernah suatu ketika ada orang bertanya, “Maiyah kok hanya surga komentar? Tidak bertarung di pertarungan sesungguhnya dipanggung politik?”. Mas Sabrang memancing jamaah dengan pertanyaan, “Pilpres dengan Fathul Makkah lebih penting mana?” Fathul Makkah–yang merupakan peristiwa penting bagi umat Islam dan tentu saja tidak ada apa-apa dibanding pilpres–saja Nabi Muhammad menyebutnya sebagai jihad kecil. Karena sesungguhnya jihad besar adalah memerangi hawa nafsu untuk menjadi manusia yang benar. Jihad besar menumbuhkan manusia yang mesra, manusia yang bisa tertawa dengan bahagia, yang bisa urip bener dadi manungso. Negara baik atau buruk tidak tergantung dari pemerintahnya, tetapi tergantung rakyatnya.
Berangkat dari Sirah Nabawiyah, Syekh Nursamad Kamba membicarakan konteks ruwat yang dicontohkan Rasulullah saw. yang tidak lepas dari misi transformasi agama. keberhasilan Nabi Muhammad adalah berhasil mentransformasikan manusia Arab dari jahiliyah kepada pencerahan Islam. Untuk mentransformasikan iladdulumati ila nuur. Mengapa agama tidak turun di Nusantara? Karena Nusantara sudah mengenal jati dirinya. Tanpa agama, lihatlah leluhur kita sudah mengenal nilai-nilai yang baik. Islam itu orang bersaudara tanpa hubungan darah, di Madinah nabi membangun masyarakat ideal yang bisa memberikan contoh struktur Islam sebagai masyarakat muslim yang saling bersaudara.
Syekh Kamba berpesan, untuk menemukan Islam secara murni bisa ditemukan dengan kembali pada jati diri dan kepasrahan pada Tuhan. Kembalilah pada kesucian dirimu untuk menemukan ajaran Rasulullah. Bagaimana tradisi Rasulullah bisa dipelihara? Saat ini kita ditutupi oleh doktrin-doktrin. Ibarat mainstream saat ini seperti aquarium raksasa, dan kita sebagai ikan hias di dalam aquarium. Maiyah merupakan upaya manusia untuk loncat dari aquarium raksasa. Dalam esensinya, Islam saat ini dilemahkan lewat lembaga-lembaga, bahwa sebenarnya kita bisa beragama secara luas.
Salah satu contoh institusionalisasi agama yaitu hubungan dengan Tuhan seperi traksaksional. Jika melakukan ini akan mendapat itu. “Selama ini kita melakukan shalat dengan kesadaran sebagai hamba atau karena merasa disuruh Tuhan?” Syekh Kamba bertanya kepada jamaah. Jika kita masih merasa disuruh Tuhan, itulah bentuk transaksional, bukan karena kesadaran sebagai hamba.
Makna ruwatan dalam prespektif agama menurut Syekh Kamba dijelaskan dalam Rukun Islam. Yang pertama adalah syahadat sebagi pondasi. Dengan Menyaksikan Ke-Esaan Tuhan dan Rasulullah sebagai utusan Allah maka kita ekspresikan kesaksian itu melalui shalat, puasa, zakat, dan haji. Jika kelima Rukun Islam ini dilakukan dengan benar, maka hidup kita akan menemukan kedamaian sejati.
Rukun Islam merupakan tahap-tahap transformasi diri untuk mencapai puncak kepasrahan sebagai hamba. Makna labbaik allahuma labbaik yang dikumandangkan ketika beribadah haji menurut Syekh Kamba bukanlah “Ya Allah, aku datang kepadaMu.” Beliau memaknainya dengan meninggalkan status keduniawian dan mempersembahkan diri seutuhnya sebagai hamba di hadapan Allah. Maka, haji merupakan puncak dari keIslaman atau kepasrahan. Kemudian, Syekh Kamba menegaskan kepada para jamaah, “Kembalilah kepada kesucian dirimu.”
Setelah pemaparan panjang oleh Syekh Kamba, Wakijo lan Sedulur kembali ke atas panggung untuk kembali menghangatkan suasana yang sejak tadi tampak tegang dalam pembahasan inti tema. Tidak tertinggal, ‘Ruang Rindu’ yang dibawakan langsung oleh Mas Sabrang menjadi pengobat rindu para jamaah.
Pencerahan tema kali ini dilengkapi oleh Kyai Muzammil dengan menceritakan peristiwa badai yang terjadi di Makkah hingga membuka baju atau kiswah kakbah. Peristiwa itu dapat kita tadabburi agar kita dalam beragama tidak hanya melihat bajunya saja, tetapi juga esensinya. Saat ini banyak terjadi perpecahan antar umat Islam hanya karena berbeda baju (golongan). Kyai Muzammil mengajak jamaah Maiyah untuk tetap bersatu meskipun berbeda pendapat dengan tetap mengaplikasikan segitiga cinta Allah, rasulullah, dan manusia.
BangbangWetan Agustus 2018 dilanjutkan dengan sesi tanya jawab oleh jamaah mengenai tema. Salah satu jamaah bertanya, “Bagaimana pendapat kita mengikuti tradisi ruwatan yang diajarkan oleh nenek moyang?”, apabila hal itu tidak dilakukan dikhawatirkan akan terjadi sesuatu. Mas Sabrang merespons jamaah dengan memberi contoh seyogyanya tetap mengikuti dengan alasan menghormati yang menyuruh dan untuk mencari ilmu.
Beda budaya dan tradisi, budaya itu sebuah kebiasaan yang bersifat horizontal sedangkan tradisi bersifat vertikal turun menurun ke anak cucu kita. Prinsip Mas Sabrang adalah mulailah apapun dengan bismillah, belajar dari diri kita untuk menemukan Tuhan maka keraguan itu akan hilang.
Merespon pertanyan jamaah tentang mazhab, Kyai Muzammil menjelaskan mazhab jangan dijadikan tujuan tetapi jadikan jalan untuk masuk ke dalam Islam. Islam itu mestinya menjadi rumah melalui banyak pintu baik itu NU, Muhammadiyah, HTI, dll.
Didapatkan beberapa hal sebagai rangkuman dari tema ruwat, antara lain: prasyarat yang harus dipenuhi adalah ruwet dulu, kemudian ruwat dan tahap selanjutnya adalah rawat. Dari ketiga narasumber itu dapat ditarik benang merah, menurut Mas Sabrang intinya kita jangan terus berhadapan dengan jihad kecil yang dapat menumbuhkan keruwetan. Syekh Kamba mengemukakan kita tersandera oleh kelembagaan agama dan mazhab-mazhab. Kyai Muzammil berpendapat kita terlalu mainstream dengan sesuatu yang berbau pakaian, hal-hal yang bukan intinya. Dengan kita bermaiyah diharapkan akan tumbuh kesadaran akan keruwetan dan siap untuk meruwat kembali keadaan. Semoga kita bisa menjadi generasi yang merawat diri kita, keluarga kita, sekitar kita, bahkan Indonesia untuk menjadi lebih baik.
Oleh : [Tim Reportase BangbangWetan]