Kolom Jamaah, Rubrik

Salah Satu, bukan Satu-satunya

Oleh : Danang Y Riyadi

Seperti kebanyakan pola kehidupan masyarakat, sekolah menjadi hal yang fundamental bagi keberlangsungan hidup setiap anak. Ketakutan akan keberlangsungan kehidupan sosial adalah satu faktor besar sebagai penyebabnya. Anak yang tidak sekolah sering kali dipandang sebelah mata sebagai anak yang tak terurus, ekonomi keluarga rendah, broken home, urakan, beserta anggapan-anggapan negatif lainnya.

Dua tahun yang lalu saya diperjalankan bertemu dengan seorang anak dari satu keluarga harmonis yang hingga kini menjadi saudara meskipun jarak geografis tak terjangkau dalam sejam-dua jam perjalanan. Srikandi namanya, perempuan lima tahun yang seolah acuh terhadap bangku sekolah ini menggiring perhatian saya. Pertanyaan “Kelas berapa?” dijawabnya dengan nada ketus. “Nggak sekolah.” katanya. mendengar hal tersebut timbul keinginan untuk mengorek pengetahuan lebih dalam atas dirinya. “Srikandi tidak sekolah formal, namun ia belajar.” Berikut keterangan bapaknya.

Pengalaman menyenangkan itulah yang sampai saat ini merasuk ke dalam diri saya. Semakin membuat saya penasaran. Pikiran-pikiran negatif yang sempat bersemayam saya buang dari setiap lempitan syaraf otak. Keluarga tersebut tidak menyekolahkan anaknya bukan karena keterpaksaan, namun lebih karena pilihan hidup dalam keluarga.

Hal menarik lain, Srikandi berteman akrab dengan teman-teman di lingkungan sekolahnya meskipun mereka tak menjadi teman sepermainan di sekolah. Buku anak-anak yang tersusun rapi di rak-rak rumah mungil Srikandi adalah alat pemersatu bagi keberlangsungan hubungan sosial mereka. Bermacam alat main tradisional maupun modern yang melengkapi rumah yang oleh warga perumahan disebut perpustakaan kecil itu menjadi pelengkap ketika jenuh membaca. Itulah yang menjadikan Srikandi tidak berbeda dengan anak-anak lain seusianya dalam sisi interaksi sosial.

Srikandi memang tidak bersekolah baik di PAUD ataupun Taman Kanak-kanak, namun ia belajar. Ia belajar dari pengalaman pribadinya sehari-hari. ia belajar ketika bercengkrama dengan orangtua, ia belajar ketika menemani ibunya ke pasar, ia belajar ketika membaca buku-buku yang terpajang di setiap sudut rumahnya, bahkan ia belajar ketika menemukan sehelai rambut yang jatuh ke lantai. Rasa ingin tahu yang tinggi membuat anak perempuan aktif ini selalu bertanya ketika menemukan hal baru atau hal-hal yang mengundang perhatiannya. Kuncinya satu, Srikandi selalu ditemani ketika belajar. Ia tidak sendiri, ayah dan atau ibunya selalu berada di sampingnya ketika Srikandi berproses belajar.

Dari pertemuan dengan keluarga unik tersebut saya mulai memikirkan dan membandingkan tentang pembelajaran dan sekolah. Sekolah adalah salah satu tempat belajar, bukan satu-satunya tempat belajar seperti persepsi orang banyak yang menggantungkan perkembangan mental dan sosial anaknya di sekolah. Sekolah memang mengusung tujuan utama sebagai tempat belajar, namun itu bukan satu-satunya tujuan. Sekolah kini berkembang menjadi tempat interaksi sosial, tempat berkumpul para orang tua, bahkan sebagai tujuan perkembangan industri yang tabu dengan  maksud awal pembentukan sekolah di Indonesia.

Dengan hal tersebut saya mengapresiasi keluarga Srikandi sebagai keluarga yang berani mengambil resiko tidak biasa. Mereka berani bersikap anti-mainstream terhadap perilaku orang kebanyakan. Bagi mereka belajar bisa di mana saja, bukan terbatas pada bangku-bangku di lingkungan sekolah.

Dengan segala kebebasannya sebagai anak-anak mampu memberikan kepercayaan bagi orangtuannya untuk merdeka terhadap pilihannya. Merdeka bukan berarti bebas, namun mampu membatasi diri sendiri dengan batasan-batasan menurut pribadinya sendiri. Peran orang tua tentu tak lepas dari sikap Srikandi. Orangtua pun memberikan batasan-batasan tertentu kepada Srikandi berkaitan dengan kemerdekaannya dalam menentukan pilihan.

Kini, Srikandi berusia tujuh tahun dan telah bersekolah formal. Sekolah menjadi pilihannya ketika ia bisa memberikan argumen ‘untuk apa bersekolah’. Kembali, Srikandi masih memegang teguh ilmu yang ditelurkan orangtuanya. Sekolah adalah salah satu tempat belajar, bukan satu-satunya tempat belajar.

 

Penulis adalah pengajar dan penggiat Maiyah yang berdomisili di Blitar, sehari hari bisa ditemui di twitter @DanangJunior