Kolom Jamaah

Santri Kendil

Kemlagen #8

 

Oleh: Samsul Huda

 

Setiap pagi dan sore santri pondok pesantren Roudlotun Nasyi’in selalu balapan lari mengambil kendil (panci) di dapur untuk ngeliwet (metode menanak nasi yang langsung matang di panci). Mereka harus balapan karna jumlah kendil dengan santri yang memasak tidak seimbang. Yang datang belakangan harus antri urut menunggu nasi temannya matang. Kalau mendapat nomor urut tiga, maka mulai memasak sekitar jam 10.00 dan baru matang dan sarapan menjelang sholat Dhuhur. Tetapi kalau grup kelompok liwetan itu mempunyai kendil sendiri, merek bisa sewaktu-waktu masak.

Di era tahun 1980-an itu, tidak satupun santri yang makannya jadi sepaket dengan kost atau tempat tinggal. Semuanya ngeliwet, masak sendiri. Berbeda dengan santri era milenial sekarang. Hampir semuanya kost dan dikelola oleh keluarga ndalem atau koperasi pondok pesantren. Bisa dibilang, nyaris semuanya mengandalkan fasilitas makan yang sudah tersedia.

Masa-masa itu, secara berkelompok, mereka memasak dan menyiapkan sendiri urusan tata boga. Istilahnya adalah gandeng. Satu gandeng / kelompok beranggotakan tiga sampai lima orang. Beberapa gandeng bahkan ada yang tujuh orang. Semakin banyak anggota ngeliwet semakin ringan dan kecil biaya yang harus dikeluarkan masing-masing orang. Rata-rata  tiap santri membutuhkan 9 kg beras per bulan. Mayoritas santri mendapat kiriman beras dari rumah. Jarang yang membeli di lingkungan pondok.

Setiap hari santri masak dan makan dua kali, pagi dan sore. Kebanyakan dari mereka memasak menggunakan tungku berbahan bakar blarak (daun kelapa kering). Uniknya, masak dengan cara ini mengharuskan mereka mengawal sampai nasi matang. Ditinggal sebentar saja, api akan mati. Inilah karakter utama daun kelapa kering; mudah menyala namun kadar panasnya tak seberapa dan tidak menghasilkan bara. Blarak mudah didapat karena banyak pohon kelapa tumbuh di lingkungan pondok.

Sebagian kecil santri menggunakan kompor gas. Secara berkelompok, mereka patungan membeli perlengkapan nge-liwet berupa kompor gas dan kendil. “Golongan” ini punya kebebasan untuk  tidak ikut balapan dan antri kendil. Besarnya iuran untuk masak tergantung kesepakatan bersama. Lalu apa menu utamanya ? Samba ! Yups, nasi dan sambal adalah satu-satunya pilihan. . Hanya 5% yang memasak sayur dengan kangkung atau terong sebagai andalan. Khusus terong juga, tahu dan tempe dimasak dengan metode  disilepi (dikukus di atas nasi liwetan setelah air tajin diambil). Penggunaan minyak goreng nyaris tidak mereka kenal. Menggoreng tahu, tempe atau sesekali ikan asin klotok adalah kemewahan.

Minumannya pun khas, yaitu banyu senggot. Rasanya dahsyat, baunya sedap. Banyu senggot dibuat dengan cara menuangkan air sumur senggot ke kendil bekas menanak nasi yang masih panas dengan kerak hitam di bagian bawahnya. Sambil menunggu minuman spesial tadi, santri yang lain mengipasi nasi panas, sisanya menyiapkan sambal. Setelah semua siap, hidangan dipurak bersama.

Kerja sama, terorganisir, komitmen, saling mengisi, tahu diri, dan tidak sekalipun “makan tulang” temannya adalah model ngliwet gandengan. Dalam ngeliwet gandengan semua anggota ambil bagian. Tidak satupun dari mereka yang merasa punya hak untuk tinggal makan saja. Sekali saja hadir santri jenis ini, ia akan dikeluarkan dan dikucilkan dari sesama. Pada akhirnya, si pecundang akan mendapat “cap” khusus dan sulit mendapat gandengan ngeliwet.

إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلَّذِينَ يُقَـٰتِلُونَ فِى سَبِيلِهِۦ صَفًّۭا كَأَنَّهُم بُنْيَـٰنٌۭ مَّرْصُوصٌۭ

“Sesungguhnya Allah menyukai orang yang berperang dijalan-Nya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh”.

Apa saja pembagian kerja ngeliwet gandengan? Ada yang bagian “rebutan” kendil atau daftar antri kendil, sebagian lain membeli  blarak, bumbu dan sayuran.  Selebihnya, bertugas masak di dapur. Satu tugas yang memaksa mereka tak beranjak dari pawon sampai semua makanan siap disajikan.

Di pondok, santri tidak makan dengan piring. Mereka duduk lesehan mengelilingi sebuah lengser. Beberapa “kenakalan” santri yang masih lekat berbentuk perilaku “tinggal gelanggang colong playu”. Semua ditinggal begitu saja. Ganti ayam tetangga pondok yang menyerbu lengser dan minuman senggot spesial. Ulah lainnya adalah menyembunyikan peralatan masak milik kelompok yang sengaja ngeliwet malam hari. Tidak tanggung-tanggung, mereka menyembunyikan alat-alat itu di peceren (got pembuangan air dari kamar mandi). Akibatnya, empunya alat harus mencari dan mencuci bersih sebelum digunakan lagi untuk prosesi memasak.

Bentuk kenakalan lain adalah menyembunyikan panci di malam hari agar bisa masak pagi lebih dulu. Nakal yang berada di “klasemen atas” adalah mereka yang piawai mengelola perutnya agar kentut berkali-kali saat makanan dipurak. Aksi ini biasanya dilakukan saat beberapa anggota dari kelompok berbeda–karena kesamaan kondisi lapar–memutuskan bergabung dalam acara ngeliwet.

Begitulah kehidupan santri era 1980-an. Guyub rukun mereka hidup bersama di dalam meraih cita-cita, menuntaskan proses pembelajaran di pondok pesantren.

كن رجلا رجله في الثرى وهمته في الثريا

(Kun rojulan rijluhu fis tsaro wa himmatuhu fis tsuroiya)

“Jadilah kamu seorang lelaki sejati, kakinya di bumi sedangkan cita-citanya ada di bintang suroiya”.

Santri kendil harus multi talenta.  Karena mereka adalah kader imam, pionir, pelopor dan contoh teladan kebaikan dalam kehidupannya kelak. Sebagaimana doa yang sering kita baca.

  1. Al-Furqan (25) Ayat 74

وَٱلَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَٰجِنَا وَذُرِّيَّـٰتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍۢ وَٱجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا

“Dan orang orang yang berkata: “Ya Tuhan kami, anugrahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa”.

Walau posisinya terdepan, menjadi imam  tidak harus menjadi pejabat. Mereka cukup dengan karakter akhlak mulia yang fase terbesarnya  dibangun ketika menjadi santri kendil.

 

—oOo—

 

Penulis adalah santri di PP Roudlotun Nasyi’in, Beratkulon-Kemlagi dan PP Amanatul Ummah Pacet. Keduanya di Mojokerto. Mengaku sebagai salah seorang santri di Padhang mBulan, penulis bisa ditemui di kediamannya di dusun Rejoso-Payungrejo, kecamatan Kutorejo, Kab. Mojokerto