Berita

Saya dan Maiyah: Mau kemana pun, Ujung-ujungnya Allah

Dulur-dulur pembaca bangbangwetan.org…
Hari ini kita kehilangan satu lagi saudara dan permata. Mas Beben Jazz, seorang mussi jazz yang menemukan “flow chart” dari genre musik itu ke pengenalan dan pertemuan dengan Tuhan, telah berpulang.

Berangkat dari keterbatasan media dimana hanya kata dan rupa yang bisa kita persembahkan di situs kita bersama ini sekaligus sebagai bentuk apresiasi dan tonggak ingatan, kami sajikan kembali tulisan mas Beben Jazz. Artikel ini pernah kami hadirkan di Buletin Maiyah Jatim ediisi cetak beberapa waktu lalu.

Berharap mas Beben Jazz husnul khotimah dan tulisan serta karya-karyanya menjadi tenaga serta inspirasi bagi kita semua.
Aamiin.

Saya dan Maiyah: Mau kemana pun, Ujung-ujungnya Allah

            “Tuhan Pun Berpuasa”, entah mengapa saya tertarik mengambil buku itu dari sederetan buku-buku yang terpampang di etalase tumpukan buku sebuah toko buku khusus Islam di bilangan Kwitang, Senen, Jakarta Pusat.

            Dari judul buku tersebut ada kalimat yang tidak biasa, seakan menunjukkan ada hal yang luar biasa juga di dalam isinya. Sementara secara umum, bagi sebagian umat muslim puasa hanya dipahami sebagai sebuah ritual keagamaan tahunan. Padahal hakekat hidup adalah berpuasa, alias mengendalikan diri.

            Dalam tulisan ini, saya tidak bermaksud untuk mengupas isi tuntas buku tersebut. Hal tersebut adalah titik poin awal perkenalan saya dengan sosok yang luar biasa, seorang pejuang kehidupan, sahabat rakyat di segala kalangan, pejalan tasawuf sejati, budayawan, guru bangsa penulis buku tersebut adalah “Emha Ainun Nadjib”, yang biasa kita sapa dengan panggilan Cak Nun.

            Kira-kira pertemuan saya dengan buku tersebut sekitar tahun 1997. Sejak saat itu, saya terkesan dengan isi buku dan sekaligus langsung mengagumi penulisnya, terus mencari, dan membaca karya-karya Beliau lainnya. Hingga akhirnya sejalan dengan perkembangan perjalanan hati yang selalu ingin menuju Pada-Nya, silaturahmi saya dengan sang idola tersambungkan setelah perjalanan panjang selama 15 tahun.

            Pertemuan tersebut berawal ketika setiap minggu saya mengajar musik di Sekolah Alam milik adik saya, Dik Doank. Di sebuah tempat yang dinamakan Kandank Jurank Doank, Ciputat. Rupanya kegiatan saya mengajar musik yang bertajuk “Belajar Musik dan Hidup Lewat Jazz”, diperhatikan oleh beberapa Jamaah Maiyah yang juga sering hadir di sana. Mereka kemudian menawarkan saya untuk hadir di Kenduri Cinta.

            Lambat laun, sejak saya mengikuti Kenduri Cinta dan kegiatan-kegiatan Maiyahan, saya mulai mendapat definisi jazz yang lebih spiritual: Jazzer adalah pejalan tasawuf sejati. Saya juga setuju satu hal, Bahwa “MAIYAH” yang berasal dari kata Maiyyatullah (bersama Allah) ini, memang “Sekumpulan orang yang melingkar bersatu karena Allah”.

            Apapun topik yang dibicarakan, pada akhirnya selalu ngomongin Allah, apapun tema yang dibahas ujungnya Allah. Entah itu tentang musik,  budaya, sosial, politik, tetap ujungnya adalah Allah. Sementara di belahan dunia lain, segala persoalan ujung-ujungnya duit. Berbeda dengan di Maiyah, semuanya menuju kepada Allah. Keren, kan? Hal ini sejalan dengan dunia tasawuf, bahwa “Segala aspek dalam kehidupan tasawuf yang dialami para sufi adalah kehidupan spiritual”. Ini sangat cocok dengan perjalanan hati saya saat itu yang selalu ingin ModeON  kepadaAllah.

            Saya jadi ingat sebuah hadits dari Abu Hurairah:

            “Sesungguhnya di sekitar Arasy terdapat mimbar-mimbar dari cahaya yang di atasnya terdapat suatu kaum yang menggunakan pakaian cahaya, wajah mereka bercahaya. Mereka itu bukan Nabi, dan juga bukan para Syuhada. Akan tetapi Para Nabi dan Syuhada tertengun (merasa iri) kepada mereka sehingga mereka berkata “Wahai Rasulullah tolong beritahu siapa gerangan mereka itu ?” Beliau menjawab, “Mereka adalah orang orang yang saling menjalin cinta kasih karena Allah, Saling Bermajelis (duduk memikirkan sesuatu) Karena Allah, dan saling mengunjungi karena Allah semata”. Maiyahkahyang digambarkan dalam hadist itu? Wallohu ’alam.

            Ada satu hal yang mengesankan dalam segala kegiatan Maiyah, khususnya bagi saya sebagai musisi seniman jazz. Setiap pembicara usai memaparkan tema dari sudut pandang masing-masing selalu berbeda dengan para akademisi yang umum. Selalu ada selingan seni pertunjukan baik puisi, tari, maupun musik. Jamaah Maiyah, atau saya sendiri sebut sebagai Maiyahers, tidak beranjak dari tempat duduknya sepanjang malam hingga pagi. Penyelenggara tetap menyediakan sarana refreshing dengan pertunjukan seni itu. Inilah yang menarik dari Maiyah sejak saya bergabung di tahun 2012 hingga saat ini.

            Saya pernah berkata bahwa “Saya lebih bahagia tampil nge-jazz di Maiyahan daripada di Festival Jazz tingkat dunia sekalipun”. Dalam kegiatan Maiyah saya merasakan Islam benar-benar agama yang penuh cinta, indah, dan benar-benar mendatangkan kedamaian dengan wajah yang demikian tulus dan bersahabat.  Bukan Islam yang kaku dan sedikit-sedikit menghakimi golongan lain dengan merasa paling baik dan paling bersih.

            Kalangan sufi modern mengatakan: “Ketika agama menjadi kaku, seni lah yang akan melunakkan hati.” Melihat perkembangan umat yang cenderung kaku, seni akan menimbulkan keindahan, dan dari keindahan tersebut kita bisa menuju Allah dengan hati yang lunak. Maka, harusnya para seniman adalah golongan yang lebih cepat sensitif merasakan kehadiran Allah. Namun sayang, sebagian seniman hanya menggunakan seninya untuk makan, untuk hidup, sementara nilai seni yang agung terabaikan.

            Bagi saya, musik jazz bukan sekedar kesenian, tapi bisa menjadi jalan ibadah. Sebagai alat pemersatu silaturahmi yang memberi kedamaian. Lebih jauh, jazz ternyata juga bisa jadi salah satu cara saya menemukan Tuhan. Saya bersyukur di-tamasya-kan Allah, hingga dipertemukan dengan sosok Cak Nun dan sosok-sosok guru lainnya di kegiatan Maiyah, seperti Syekh Nursamad Kamba, Sujiwo Tedjo, serta sosok-sosok luar biasa lainnya.

Jadi, apa pandangan saya tentang Maiyah ?

            Maiyah dalam pandangan saya adalah komunitas yang nge-jazz dalam budaya dan pola pikir. Tentu dengan guru jazznya adalah Cak Nun. Maiyah juga tempat apresiasi seni yang sesungguhnya, di mana pun pertunjukan yang kita suguhkah sangat diapresiasi dengan baik. Maiyah sekaligus adalah tempat berdiskusi mencari ilmu, silaturahmi, mencari sahabat dan saudara yang tulus ikhlas dan saling mencintai karena Allah.

            Pada puncaknya, dalam kegiatan berkesenian dengan Maiyahan saya sudah 2 kali mengadakan pertunjukkan Jazz 7 Langit, yakni di Kenduri Cinta Jakarta dan Taman Budaya Yogya. Dalam pertunjukan tersebut tampil istri saya – Inna Kamarie, Gamelan Kiai Kanjeng, Beben Jazz and Friends, dan tentunya guru kita yang terhormat Emha Ainun Nadjib dengan puisi-puisi jazznya. Dan sekali lagi, ujung dari konser tersebut selalu menuju kepada Allah. Inilah yang paling khas dari Maiyah.

            Semakin pasti bahwa jazz yang saya lakoni ini semata adalah sebuah wadah. Sebuah jalan untuk ibadah dan semakin mengenal Allah. Ada kata-kata yang sering saya ucapkan dalam setiap kegiatan Maiyah, bahwa kaya nggak ada gunanya kalau tidak bermanfaat. Menjadi jago musik jazz juga tidak berguna kalau keahliannya tidak bisa bermanfaat bagi orang lain.

            Sekian tulisan singkat saya mengenai hubungan saya dengan Maiyah. Insya Allah terus bisa istiqomah dalam kebaikan melalui jazz dalam wadah Maiyahan. Insya Allah jazz saya ini semakin bisa membuat saya jadi manusia yang bermanfaat bagi orang lain, serta bermakna sebagai jalan ibadah, juga sebagai cara saya untuk lebih mengenal Allah. Apalagi yang lebih penting dari itu?

*) Penulis adalah Jamaah Maiyah Kenduri Cinta
yang sekaligus aktivis jazz, gitaris, dan vokalis yang terus memperjuangkan eksistensi jazz lewat Komunitas Jazz Kemayoran (KJK)

Leave a Reply

Your email address will not be published.