Kolom Jamaah

Segitiga Cinta : Mahabbah Rasa Menuju Tuhan

Oleh: Siska Dwi Purwanti

Sejatinya rasa bersumber dari kuasa Tuhan, senang sedih tangis tawa merupakan bumbu kehidupan yang harus dinikmati setiap prosesnya. Manusia sebagai makhluk ciptaan Allah SWT yang diberikan keistimewaan berupa akal dan budi seharusnya bisa membawa dirinya pada jalan menuju keridhoan Tuhan. Jika manusia diciptakan dengan tujuan untuk menjadi Khalifah Allah fi Al-Ardh, berarti tugas pokoknya di dunia adalah untuk menghamba. Hamba merupakan status yang selamanya akan selalu melekat pada diri manusia, di mana manusia mempunyai tanggung jawab besar untuk mempertanggungjawabkan status kehambaanya. Seberapa banyak status keduniawian yang melekat pada diri, baik jabatan, kekayaan dan nikmat dunia lainnya akan menjadi tidak ternilai jika sebagai hamba tidak bisa memahami esensi dirinya diciptakan di dunia. Innâ lillâhi wa Innâ Ilaihî Rôji`ûn (sesungguhnya kami milik Allah dan kepada-Nyalah kami kembali).

Begitu dalam jika kita memaknai status hamba, karena setelah kita refleksikan pada diri kita sendiri. Tenyata kita tidak mempunyai apa-apa atas diri kita. Bahkan setetes darah pun kita tidak berhak memiliki yang padahal sudah nyata melekat pada kita. Seperti halnya rasa, semakin rasa kita bergejolak terhadap suatu permasalahan, titik baliknya adalah tetap kembali ke sang pencipta. Takkala kita sudah bersingungan dengan permasalahan cinta, di mana cinta tidak dapat didefinisikan dengan jelas bagaimana rasanya. Sehingga,  jika kita sudah menjalin relasi dengan sesama manusia atas dasar rasa cinta. Jika pondasinya bukan karena saling menuju ke Allah SWT maka relasi cinta tersebut hanyalah sebatas formalitas. Tidak ada tujuan untuk saling menuju ke Allah SWT, melainkan hanya melibatkan ego manusia dan nafsu semata.

Habib Husein Jafar Al Hadar pernah mengungkapkan konsep kekasih dalam islam itu seperti segitiga. Tidak ada cinta kecuali cinta segitiga dalam islam. Dalam artian, segitiga tersebut diibaratkan aku, kamu, dan Tuhan. Semakin kita sama-sama untuk menuju ke jalan Tuhan, maka semakin dekat pula relasi cinta yang sedang dibangun. Konsep segitiga cinta ini juga saling berkorelasi dengan konsep  hablumminallah (hubungan baik dengan Allah) dan hablumminannas (hubungan baik dengan sesama manusia). Sehingga hierarki nilai kehidupan tertinggi menurut Dr Fahruddin Faiz adalah adanya relasi cinta.

Bayangkan jika kita tidak menggunakan cinta dalam menjalankan aktivitas yang sedang kita lakukan saat ini. Yang kita temui hanyalah rasa capek, bosan, dan tidak tertarik ataupun ingin cepat-cepat mengakhirinya. Bahkan yang lebih parahnya adalah kita akan menduakannya bukan malah menemui segitiga cinta antara aku, kamu, dan Tuhan. Justru yang ditemui adalah segitiga cinta antara manusia, manusia, dan manusia atau keduniawian. Sehingga tidak ada mahabbah rasa menuju Tuhan yang diciptakan di dalamnya.

Dr Fahruddin Faiz mengungkapkan dalam Ngaji Filsafat, bahwa “Cinta dan patah hati itu energinya luar biasa. Jadi eman-eman, kalau nggak dipakai untuk hal-hal kreatif dan positif.” Meskipun cinta bukan sesuatu yang dapat kita undang tetapi dia datang, masuk dan bersemayam dalam diri kita. Sebagai hamba yang sudah dibekali dengan akal seharusnya kita bisa mengelolanya dengan rasio serta pengetahuan yang sudah kita dapatkan. Bahwa rasa yang ada di dalam tidak dapat dikontrol, tetapi dengan kebijaksanaan diri kita bisa menjadikan rasa itu sebagai jalan menuju Tuhan.

Menuju ke Tuhan memang banyak jalannya, tetapi yang paling indah adalah menggunakan jalan cinta. Di mana dengan rasa cinta, bisa mengikis keegoisan pada diri kita, terutama dalam nafsu atau ambisi kedunian. Semoga kita sebagai manusia yang selalu menghamba kepada Tuhan. Sehingga bisa menemukan jalan cinta untuk menujuNya.

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published.