Setitik Harap di Era Apokalipstik
Sinau Wayang #1
Oleh: Rahadian Asparagus
Pada suatu hari di balairung istana Amarta, Prabu Krisna bercengkrama dengan adik-adiknya, para Pandawa. Di tengah pembicaraan yang hangat, mereka yang hadir–kecuali Krisna– dikagetkan oleh suara menggelegar dari gunung yang terletak di belakang istana. “Kakak, suara apakah tadi?” tanya Puntadewa, sulung Pandawa. “Hei, Jliteng, cepat beritahu mbarep kakakku, suara apa tadi? Jangan senyum-senyum saja, kau!” bentak Bima. “Suara dentuman tadi seperti auman singa jantan lapar, sekaligus layaknya perempuan yang sedang mendesah. Beri kami petunjuk, kakak,” pinta Arjuna penuh harap. Dalam situasi itu, si kembar Nakula dan Sadewa hanya mengangguk tanda setuju atas apa yang dirisaukan ketiga kakak mereka.
Sembari tersenyum, Krisna berkata “Hmm… zaman itu telah tiba.” “Maaf kakak, zaman apakah yang paduka maksudkan?” tanya Puntadewa. “Ketahuilah adik-adikku, zaman yang aku maksud ialah zaman apokalipstik,” jawab Krisna. “Wah, nama apa lagi itu, Jliteng? Kami tak mengerti!” tegas Bima dalam kebingungannya. Sepertinya Arjuna dan Si Kembar pun sarujuk dengan kebingungan kakaknya yang terkenal garang itu.
Krisna tiba-tiba mengambil busur lalu merentangkannya. Seketika muncullah empat anak panah yang berwarna merah, hijau, kuning dan biru.. Keempat anak panah itu dilepaskan ke arah suara dentuman berasal. Tak sampai sekejap mata, empat anak panah berpencar ke arah empat mata angin yang berbeda; yaitu barat, timur, selatan dan utara. Semua yang ada di balairung istana terkesima oleh apa yang dilakukan Krisna. Setelahnya, Krisna berkata, “Hmm… baiklah, sebelum aku beritahu, aku punya tugas untuk kalian semua, wahai Pandawa. Dan tugasku ini kelak akan menjawab segala pertanyaan kalian.” “Dengan segala kerendahan hati, kami siap mendengarkan dan melaksanakan tugas apapun itu darimu, wahai titis Wisnu,” sahut Puntadewa.
“Baiklah, sekarang kau Bima. Pergilah ke arah barat di balik gunung itu, ambil anak panahku dan segera kembali.” ujar Krisna. “Aku pamit!” kata Bima langsung melesat pergi. “Arjuna, aku tugaskan kau untuk pergi ke arah timur, ambillah anak panahku yang menancap disana lalu segeralah kembali.” kata Krisna. “Mohon ijin untuk hamba pamit, kakak.” kata Arjuna menghaturkan sembah, lalu pergi secepat kilat. “Dan kalian berdua, Nakula-Sadewa, aku perintahkan kau Nakula untuk pergi ke arah utara, dan kau Sadewa, pergilah ke arah selatan mengambil anak panahku. Setelah itu kembalilah kesini” kata Krisna. “Baik, kakak…hamba berdua mohon pamit.” Nakula Sadewa menghaturkan sembah lalu pergi. “Untuk kau, adikku mbarep Puntadewa, tetaplah disini denganku.” kata Krisna “Perintahmu adalah doa bagi hamba, kakak. Aku akan menemanimu disini.” jawab Puntadewa dengan kehalusan tutur katanya.
Dengan langkah kakinya yang lebar tibalah Bima di bagian barat untuk mengambil anak panah Krisna berwarna merah yang terlihat menancap di tanah. Sewaktu Bima ingin mencabutnya, dia melihat ada satu sumur kering, bahkan ketika Bima melihat kedalam sumur itu, dalamnya hanya dipenuhi sarang laba-laba dan dedaunan yang berguguran memenuhi dasarnya. Yang membuat Bima tak habis pikir ialah, sumur kering itu dikelilingi oleh empat sumur yang airnya melimpah ruah sampai ke tanah. Karena dahaga, Bima pun meminum seteguk air dari salah satunya “Wah, air ini sungguh manis dan lezat…” gumam Bima dalam hati Setelah puas meredakan dahaganya, Bima pun kembali ke Amarta sesuai dengan apa yang diperintahkan Krisna padanya, sesekali dalam perjalanan pulangnya dia bertanya dalam hati, “Aneh sekali sumur-sumur tadi…”
Di lain pihak, Arjuna dengan ilmu Saepi Angin berhasil tiba di bagian timur lebih cepat. Dia melihat anak panah Krisna yang berwarna hijau menancap disebuah batu besar. Ketika hendak mencabut panah tersebut, Arjuna mendengar suara burung yang sangat indah, tapi di sela-sela suara indahnya ada suara lengkingan hewan kesakitan yang memerihkan hati. Arjuna pun penasaran, lalu melihat apakah gerangan itu? Setelah sampai ke arah yang dituju, betapa kagetnya si panengah Pandawa itu, dilihatnya seekor burung yang sangat indah denganbulunya berwarna putih salju lalu paruhnya yang berwarna emas berkilauan, mencengkeram tubuh seekor kelinci berwarna abu-abu beludru, burung putih lalu mengoyak-oyak perut kelinci malang. Setelah mendekat tahulah ia bahwa si kelinci sedang hamil, Dan ketika koyakan demi koyakan dinikmati burung besar tadi, Arjuna melihat sorot mata kelinci itu sungguh pilu, mata si kelinci berkaca-kaca tapi tak mengeluarkan air mata, sesekali ia melihat keadaan anaknya dalam kandungan di perutnya yang robek. Ya betul, daging kelinci tersebut dicuil sedikit demi sedikit oleh si burung dalam keadaan hidup, dan ketika burung mencuil isi perut kelinci dengan paruh emasnya, sesekali dia berdendang dan berkicau dengan indahnya. Ketika Arjuna sedang memperhatikan kejadian yang aneh itu, dia pun teringat akan pesan kakaknya, Krisna untuk segera kembali. Dia pun meninggalkan dua mahkluk yang ditemuinya tersebut. Ketika kembali menuju istana, Arjuna terus memikirkan apa yang tadi dilihatnya.
Di sisi lain, Nakula sudah sampai ke tepi utara. Dia sudah menemukan anak panah berwarna kuning yang dilepaskan oleh Krisna dengan ajian Netra Yoga, ajian tersebut membuat mata Nakula menjadi tembus pandang. Tampaklah panah itu menancap di sebuah kayu yang disebelahnya terdapat kandang ternak. Sewaktu tangannya mengambil panah tersebut, Nakula melihat seekor sapi yang sepertinya akan melahirkan. Nakula yang paham betul ilmu kedokteran segera turun tangan membantu. Setelah sekian lama membantu proses persalinan, akhirnya sapi coklat tersebut melahirkan anak sapi yang berbulu putih, bersih dan lucu.
Sang sapi coklat langsung menjilati anaknya guna membersihkan kotoran-kotoran dari dalam perutnya.. Nakula yang melihatnya ikut merasa senang lalu dia kembali ketempat panah tersebut menancap dan mencabutnya. Ketika hendak beranjak pergi, Nakula kaget bukan kepalang melihat kejadian di kandang tersebut. Dia melihat si ibu sapi menjiilati anaknya sampai-sampai kulitnya terkelupas bahkan sampai terlihat daging merah segar dari tubuhnya. Nakula yang coba menghentikan peristiwa menjijikkan tersebut malah dihantam oleh tanduk induk sapi, sesekali sang induk menyeringai memperlihatkan giginya untuk mencoba menakuti Nakula agar tak lagi mendekat. Nakula yang terjerembab ke tanah karena tandukan pun tersadar akan perintah dari Krisna untuk segera kembali ke istana. Lalu ia pergi meninggalkan situasi menjijikkan itu sembari sesekali menengok ke belakang dan menyaksikan induk sapi masih menjilati anaknya, kini tak lagi daging yang terlihat, bahkan jeroan dan tulang si anak terlihat akibat jilatan si ibu. Kondisi yang membuat Nakula menangis.
Berganti ke bontot Pandawa, Sadewa. Dia sudah sampai ke tepi selatan untuk mengambil panah yang berwarna biru. Dengan ajian Bolo Sewu dia membelah diri untuk mencari berbagai pelosok, dan akhirnya panah tersebut pun ditemukan sedang menancap pada batang satu pohon kelapa yang buahnya terlihat masih hijau ranum. Sadewa yang memang sedari tadi haus, melihat kelapa itu pun tergoda. Dengan sekali lompatan, tak sulit bagi Sadewa untuk memetiknya. Di tusuknya kelapa muda itu dengan pisau kecil miliknya dan mengucurlah air kelapa yang segar dari dalamnya. Tanpa pikir panjang, Sadewa meneguk air kelapa dengan cepatnya. Setelah puas, ia beristirahat sejenak sambil terus memegang anak panah yang diperolehnya. Di tengah istirahatnya, Sadewa dikejutkan dengan sebuah batu sangat besar yang menggelinding dari atas bukit. Batu itu menabrak apa saja yang ada di depannya, hewan dan tumbuhan semua rata dengan tanah akibat terjangannya. Termasuk pohon beringin paling besar di hutan itu tak sanggup menahan lajunya. Sadewa yang tak ingin ada korban lagi, berlari dengan niat menghentikan. Ketika dia hampir sampai pada batu tersebut, tiba-tiba saja batu itupun berhenti. Sadewa dibuat kebingungan dengan peristiwa itu, karena batu berhenti dan terdiam di sebuah jalan menurun tajam menjorok ke bawah. “Kenapa batu ini tiba-tiba berhenti?” tanya Sadewa dalam hati. Selain ahli botani, Sadewa juga seorang fisikawan. Baginya tidak mungkin batu sebesar itu bisa berhenti jika tidak ada benda kuat yang menahannya. Sadewa yang penasaran mencoba mencari tahu benda misterius itu. Betapa terkejutnya ia ketika melihat mendapati benda yang menopang batu besar tersebut hanyalah sebatang kecil pohon saladri atau kita menyebutnya seledri.Bagaimana mungkin pohon seledri yang kecil ini bisa menahan beban batu yang amat besar? Di tengah-tengah kebingungannya, Sadewa teringat akan pesan kakaknya, untuk segera kembali ke istana. Dia pun segera pergi meninggalkan kejadian yang tak masuk di akal itu.
Singkat cerita, keempat ksatria Pandawa sudah berkumpul lagi di balairung istana. Mereka segera menghadap ke Prabu Krisna seakan tak sabar menceritakan pengalamannya masing-masing sewaktu mengambil panah. “Syukurlah kalian semua selamat, wahai adik-adikku. Kini ceritakanlah apa saja yang kalian lihat sewaktu mengambil keempat anak panahku. Niscaya yang kalian lihat tadi adalah jawaban tentang apa itu zaman apokalipstik.” kata Krisna. “Wah…Jliteng, kakakku, sewaktu aku mengambil panahmu yang berwarna merah tadi, aku melihat satu sumur tak berair yang di dalamnya hanya sarang laba-laba dan dedaunan kering. Anehnya, sumur itu dikelilingi oleh empat sumur yang melimpah ruah yang rasa airnyasegar dan manis. Apa artinya, Jliteng kakakku?” tanya Bima. Sembari tersenyum, Krisna pun menjawab “Ketahuilah wahai Bima, itu pertanda bahwa di zaman apokalipstiknanti, akan ada banyak orang-orang miskin, menderita dan nestapa yang mereka dikelilingi oleh orang-orang kaya raya yang jumlahnya empat kali lipat dari jumlah mereka”. Bima yang mendengar penjelasan itupun seketika tertunduk.
“Wahai Kakakku Titis Wisnu, ketika aku mengambil anak panahmu yang berwarna hijau,aku mendengar kicauan burung yang sungguh indah, bahkan mungkin yang paling indah dari semua burung yang pernah aku dengar. Tapi di sela-sela kicauan indah tersebut terselip suara rintihan kesakitan yang mendalam. Aku pun mendatangi asal suara itu, setelah aku melihatnya, betapa kagetnya aku, wahai Titis Wisnu. Aku melihat burung dengan bulu berwarna putih salju dan paruhnya mengkilap seperti emas sedang mengoyak-oyak perut seekor kelinci abu-abu beludru yang sedang hamil. Mata kelinci itu menyiratkan nestapa tapi tak berair mata. Di setiap cuilan dari perut si kelinci itu, sang burung besar tadi berkicau dan berdendang dengan indahnya. Kakakku Krisna, tolong jelaskan padaku, apakah arti keadaan yang indah namun nestapa tadi?” tanya Arjuna sambil matanya berkaca-kaca. Krisna yang mendengar penjelasan Arjuna pun sedikit menghela nafas, lalu dia berkata, “Oh, adikku Arjuna, keadaan yang kau lihat dan dengar tadi juga pertanda bahwa kelak di zaman apokalipstik, akan ada banyak agamawan, ahli ibadah, ahli kitab, dan ahli rohani yang penuh dengan kata-kata indah lagi merdu di tengah khalayak yang menjerit-jerit kelaparan karena tak bisa makan.” Mendengar penjelasan dari Kakak nya sang Titis Wisnu itu, tubuh Arjuna pun langsung lemas, mulutnya terasa kelu dan matanya menatap kosong entah ke mana.
“Kakakku Krisna, sewaktu aku mengambil panahmu yang berwarna kuning, aku melihat sapi yang sedang menjilati anaknya sendiri sampai-sampai kulit si anak terkelupas hingga ke daging dan terlihat tulang belulangnya. Apa itu artinya, wahai kakakku Krisna?” Nakula melanjutkan sembari bergetar tubuhnya. “Adikku, kembar Nakula… keadaan yang kau lihat tadi juga menandakan bahwa kelak di zaman apokalipstik, akan ada banyak orang tua terlalu sayang, terlalu menjaga, terlalu mengatur anaknya. Sampai-sampai mereka tidak tahu, mana itu kasih sayang dan mana penjerumusan atau pemanjaan…” ucap Krisna lirih. Nakula yang mendengar itu tak terasa mengucurkan air matanya.
“Kakakku Krisna, ketika aku mengambil panahmu yang berwarna biru, aku melihat sebuah batu besar yang menggelinding dengan cepatnya. Batu itu menghantam apa saja yang ada didepannya, tapi anehnya, batu besar itu tertahan hanya oleh sehelai pohon Saladri. Apakah artinya keadaan itu, wahai kakakku?” tanya Sadewa. Krisna yang mendengar pertanyaan dari Sadewa itu pun tersenyum lalu berkata “Oh, adikku kembar yang paling kecil, Sadewa, ketahuilah bahwa kelak zamanapokalipstik,selain ditandai oleh melimpahnya orang-orang kaya diantara orang-orang miskin, banyaknya para agamawan dan rohaniawan yang senang berkata indah lagi merdu diantara khalayak yang menjerit-jerit kelaparan, dan para orang tua yang tak bisa membedakan antara kasih sayang dengan penjerumasan atau penyiksaan, juga dicirikan dengan banyaknya angkara murka yang menghantam kesana kemari.Tetapi hanya bisa ditahan oleh selembar kesabaran, selembar penurun darah tinggi yaitu daun Saladri.”
Mendengar penjelasan Krisna, semua yang hadir di balairung istana pun sedikit tersenyum penuh harap akan nasibnya kelak di zamanapokalipstik.
—tancep kayon—
Penulis adalah lulusan teknik informatika yang lebih asyik dengan pencarian makna di Jagad Pakeliran. Hari-harinya banyak dihabiskan bersama keluarga dan kawan-kawan di Majelis Maiyah Balitar. Bisa dihubungi melalui akun FB: aspaholic rahadian dan IG @aspaholic