Kolom Jamaah

Shirot Al Ngewot – Isra’ Mi’raj (3)

Kemlagen #21

Oleh: Samsul Huda

Di Mojokerto, ada dua desa yang bernama Berat. Berat Kulon di kecamatan Kemlagi dan Berat Wetan di kecamatan Gedek. Batas di antara keduanya adalah sebuah sungai besar yang dihubungkan dengan satu jembatan yang hanya bisa dilewati sepeda dan becak. Ada jembatan lain yang dibangun hanya dengan tiga batang bambu. Kami menyebutnya wot. Berjalan melintasi bilah bambu itu dikatakan sebagai ngewot.

Dengan ngewot ini pula, kurang lebih tiga tahun saya wajibkan diri ngaji Al Qur’an kepada salah satu santri dari Romo Kiai yaitu KH. Kusnawi. Beliau adalah guru Ilmu Faraid di MI (Madrasah Ibtidaiyah). Rumahnya di ujung pojok selatan barat desa Berat Wetan. Jaraknya sekitar 1 km dari pondok.

Waktu itu, kami hanya berlima. Inisiatif tidak datang dari siapa-siapa melainkan murni kemauan sendiri untuk mendapat tambahan ilmu. Tak jarang, kami melintasi perjalanan di bawah hujan. Karena tak ada payung, maka kami gunakan daun pisang untuk menahan guyuran air. Adakalanya pula kami  “ngeluncum” sambil “oche-oche, uyut-uyut”, berbasah ria dalam derasnya hujan.

Kami putuskan mencari tambahan ilmu dari ustadz Kusnawi sambil melanjutkan ngaji Al Qur’an di pondok. Di pondok, kami tetap belajar mengaji Al-Qur’an kepada guru ngaji pondok. Beliau adalah santri senior Romo Kiai sekaligus tangan kanan keluarga ndalem yang bertugas mengurus aset mereka di bidang pertanian dan peternakan. Sebuah tugas yang dikerjakan hingga wafatnya sekitar tiga tahun lalu.

Kira-kira tahun 1982, ada perubahan sistem pembelajaran ngaji Al Qur’an. Asal muasalnya adalah “temuan” Romo Kiai pada seorang santri senior. Santri yang hampir lulus itu ternyata kualitas bacaan Al-Qur’annya dianggap kurang bagus. Masih banyak kesalahan makhraj tajwidnya. Bertolak dari sini maka beliau memerintahkan Ibu Nyai Thowilah–istrinya–untuk mengajar langsung para santri. Kami mengaji secara bergantian, orang per orang, termasuk saya.

Pengalaman ngaji Al Qur’an kepada Ibu Nyai ini selama hidup tidak akan pernah bisa terlupakan oleh para santri. Kesan ini kami dapatkan karena di dalam memberi pelajaran beliau benar-benar adil. Selama satu hingga dua minggu, santri senior belajar ngaji makhorijul huruf surat Al Fatihah kepada Ibu Nyai.

Salah seorang santri yang ngaji juz 1 hingga juz 30 sampai khatam dan “dibancaki” adalah sahabat saya, seorang Tionghoa yang muallaf, Linto Purwo nama Indonesianya sedangkan Tan Liang Kie (Yangkie) adalah nama asli Tionghoa-nya. Lulus SMP dari sebuah SMP Katholik dan SMA swasta di Mojokerto, Yangkie melanjutkan kuliah di FKH Unair Surabaya sambil mendalami keislamannya di Pondok Pesantren Berat Kulon.

Selepas dari Unair, ia melanjutkan studi di FIP Undar Jombang. Saat ini, Linto Purwo menekuni profesinya sebagai guru mata pelajaran Biologi di SMAN 1 Puri, Mojokerto. Meski status kepegawaiannya sudah ASN, Linto juga mengajar MA dan SMKI Roudlotun Nasyi’in Beratkulon. Sebuah keputusan penting dalam hidupnya untuk mempersembahkan kembali apa yang sudah didapatkan dengan cara pengabdian tanpa berhitung imbalan.

Selain Yangkie, ada satu orang lagi sarjana S1 Pendidikan Biologi yang nyantri sambil mengajar di pondok. Namanya Edy Subagio. Selain menjadi guru ASN di SMP Negeri Jogoroto, Jombang ia juga menjadi kordinator alumni untuk wilayah Jombang, sama seperti saya dan teman-teman waktu itu. Edy mengaji Al-Qur’an hingga khatam 30 juz kepada Ibu Nyai  dan “dibancaki“.

اُطْلُبِ العِلْمَ مِنَ المَهْدِ إِلىَ اللَّحْدِ

“Carilah ilmu mulai dari gendongan ibu (lahir) hingga liang landak (mati)”

Surat Az-Zumar (39) Ayat 9

  ( ٱلزُّمَر: ٩ )قُلْ هَلْ يَسْتَوِى الَّذِيْنَ يَعْلَمُوْنَ وَالَّذِيْنَ لَا يَعْلَمُوْنَ ۗ اِنَّمَا يَتَذَكَّرُ اُولُوا الْاَلْبَابِ

“Katakanlah: “Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran”.

Begitulah saya diperjalankan, di-isra’-kan oleh Allah SWT. Ngewot sungai sekitar tiga tahun untuk belajar mengaji Al-Qur’an dan dipertemukan Allah dengan orang-orang sholeh. Mereka yang haus akan terus bertambahnya ilmu.

—oOo—

Penulis adalah santri di PP Roudlotun Nasyi’in, Beratkulon-Kemlagi dan PP Amanatul Ummah Pacet. Keduanya di Mojokerto. Mengaku sebagai salah seorang santri di Padhang mBulan, penulis bisa ditemui di kediamannya di dusun Rejoso-Payungrejo, kecamatan Kutorejo, Kab. Mojokerto

Leave a Reply

Your email address will not be published.