Orang-orang Tjigrok

Sopiyati (1)

Oleh : Prayogi R Saputra

Dua orang lelaki masuk ke rumah Mbah Ranem. Satu laki-laki setengah baya, mengenakan batik lengan panjang warna coklat menyala. Umurnya kira-kira menginjak kepala lima. Tubuhnya kekar, kulitnya terkesan liat dan hitam dibakar matahari. Sementara, laki-laki yang lain berusia 30an tahun. Tubuhnya agak pendek, berkulit hitam, rambutnya keriting. Mereka berdua disusul oleh seorang laki-laki tua berumur enam puluhan tahun yang juga mengenakan batik mengkilap warna coklat. Laki-laki terakhir mengenakan peci yang nampaknya baru dibeli. Seorang perempuan muda berusia awal dua puluhan tahun mengikuti di belakang.

Si perempuan muda berpakaian rapi dengan tangan kanan menenteng sebuah tas coklat kusam yang terisi penuh. Bahkan hampir tidak muat. Sementara, tangan kirinya memeluk tas plastik warna hitam. Begitu masuk ke dalam rumah, ketiga laki-laki dipersilakan duduk di kursi tamu di tengah ruangan. Sementara, si perempuan muda langsung masuk ke rumah bagian belakang.

Rumah-rumah pedesaan Jawa selalu memiliki minimal tiga bangunan. Di bagian depan, sebuah limasan. Kemudian dibelakangnya, rumah limasan juga, atau bentuk rumah kampung. Lantas di kanan atau kiri rumah bagian belakang, ada dapur yang luasnya nyaris sama dengan luas rumah utama.

Agak lama mereka bertiga duduk menunggu, sebelum kemudian seorang perempuan berusia menjelang setengah abad keluar. Perempuan berkulit hitam itu menyalami mereka bertiga.

“Mbok,” sambut laki-laki muda yang menyalami pertama kali.

“Mbah di kebun, Pak. Sedang dipanggil. Mohon ditunggu sebentar.” katanya sedikit gugup.

“Iya, Mbok. Ndak apa-apa,” jawab laki-laki berpeci.

“Sop sedang apa?”Tanya laki-laki berpeci.

“Itu di dapur. Sedang mengeluarkan pakainnya.”

Si perempuan berkulit hitam pun bergegas berlalu ke dapur. Nampaknya untuk menyembunyikan kegugupannya.

Angin musim kemarau masuk hingga ke dalam rumah. Beberapa kali, mereka bertiga terlihat menguap. Laki-laki berpeci melihat jam dinding.

“Jam setengah sepuluh,” gumamnya, “lama sekali.”

“Jam berapa tadi kita datang?” sambungnya.

“Jam sembilan lewat sepuluh,” kata laki-laki muda.

Laki-laki kekar menggeleng-gelengkan kepala.

Seorang gadis yang usianya nampak lebih muda daripada perempuan yang menenteng tas coklat masuk ruangan. Dia membawa baki berisi teh hangat. Setelah menyajikan teh di atas meja kayu coklat berukuran kecil, gadis itu langsung masuk kembali ke dapur. Tanpa bicara sepatah kata pun. Ketiga laki-laki tadi saling berpandangan.

“Siapa tadi?” tanya laki-laki berpeci.

“Narti, adiknya Sop,” jawab laki-laki muda.

Suasana kembali hening. Kadangkala, suara kucing mengeong di kejauhan. Seorang perempuan muda berkaki pincang melongok ke pintu.

“Lek, Lek Marmi!” panggilnya.

“Oh ada tamu. Sudah ketemu, Pak?” begitu katanya saat melihat ada 3 laki-laki di dalam rumah.

“Sudah, Mbak.” jawab laki-laki berpeci.

“Nggih, pun.”

Lantas perempuan itu berlalu ke arah dapur.

Ketiga laki-laki itu hanya diam. Tak ada pembicaraan.

Tak lama kemudian, seorang perempuan tua masuk ruangan. Suasana berubah semarak.

“Waduh! Mbah Wo, Pak Amat sama Thole. Makanya burung prenjak sejak kemarin terus-menerus berkicau di atas pohon melinjo di belakang rumah. Rupanya mau kedatangan Besan,” sapa Mbah Ranem renyah.

“Nggih Mbah. Maaf tidak memberi kabar terlebih dulu,” jawab lelaki berpeci.

Lelaki kekar hanya tersenyum dan menyalami. Sementara si lelaki muda yang dipanggil Thole menghindari bertatapan mata dengan Mbah Ranem.

“Wah! Wah! Wah! Ini kebetulan tidak ada orang. Bapaknya Sop sedang tidak ada di rumah. Kulakan kembang kenanga. Besok kan Kemis Kliwon.”

“Ndak apa-apa kok Mbah. Kami memang mendadak.”

“Silakan diminum! Waduh, tidak ada apa-apa ini.” Mbah Ranem gupuh.

Ketiganya menghirup teh yang disajikan.

“Ti, Narti. Ke Mak Wari, Ti. Belikan gorengan!” perintah Mbah Glindu.

Gadis yang tadi menghidangkan teh masuk. Mengambil selembar uang sepuluh ribuan dari Mbah Ranem, lantas pergi ke luar.

Terdengar suara berdehem.

“Tidak usah repot-repot loh Mbah. Kami hanya sebentar.”

“Ya ndak repot, Mbah Wo. Namanya juga ada Besan.hehehe,” Mbah Ranem tertawa renyah.

“Sebelumnya kami mohon maaf, Mbah,” laki-laki berpeci mulai bersikap agak serius, “Kami bertamu kemari dalam keadaan yang kurang baik.”

Mbah Glindu, perempuan tua yang menjadi kepala keluarga Karto Suwiryo itu diam. Wajahnya sedikit dimajukan. Lagaknya berubah sedikit serius. Dia menunggu kalimat berikutnya yang akan keluar dari mulut laki-laki berpeci.

“Maksud kedatangan kami kemari ini…”

Ada jeda di antara obrolan mereka. Suasana hening. Angin berhembus masuk ruangan melalui pintu.

“….untuk mengantarkan Sop pulang.”

Kembali hening. Bumi bergoyang. Matahari seolah mendadak padam dimata Mbah Ranem. Beberapa saat, suasana tak berubah. Senyap. Hingga laki-laki berpeci kembali melanjutkan pembicaraan.

“Setahu kami, Sop ini anak yang baik, penurut dan tidak neko-neko. Sop juga menghormati suami dan mertuanya. Bukan begitu Mat?” Tanya laki-laki berpeci kepada laki-laki setengah baya yang dipanggil Amat.

Amat mengangguk.

“Dia juga sangat rajin dan telaten mengerjakan sesuatu. Selama 3 bulan tinggal bersama kami, Sop juga tidak melakukan hal-hal yang tidak baik.”

Amat manggut-manggut di antara jeda pembicaraan. Sementara, Thole hanya diam tertunduk. Mbah Ranem terkesan menunggu. Dari sinar wajahnya, nampak dia agak terkejut.

“Kami semua juga menyayangi Sop sebagaimana kami menyayangi anak kami sendiri,” lanjut laki-laki berpeci.

“Namun, mungkin keluarga kami memang memiliki kelemahan dalam mendidik atau mengarahkan anak. Sehingga, ada hal-hal yang Sop belum bisa memahaminya namun kami gagal memahamkannya.”

“Jadi, dengan segala kerendahan hati, kami mohon maaf tidak bisa mendidik Sop sebagaimana mestinya.”

Laki-laki berpeci memandang Mbah Ranem begitu dalam. Kemudian memandang laki-laki setengah baya dan laki-laki yang paling muda.

“Dengan segala kerendahan hati dan permohonan maaf, izinkan mulai hari ini, kami mengembalikan Sop kepada keluarga Tjigrok.”

Mbah Ranem nampak tidak bereaksi.

“Menurut pengakuan Hadi, mereka belum pernah tidur bersama.”

Mbah Ranem bertahan dalam diamnya. Matanya menatap lurus ke depan. Menggerabak. Bibirnya bergetar. Ketiga orang di hadapannya menunggu Mbah Ranem membuka mulut. Namun tidak ada sedikit pun isyarat bahwa Mbah Ranem akan segera membuka mulut. Pagi beranjak siang, ayam babon berkokok di kejauhan, memecah kesunyian. Orang-orang Tjigrok sebagian pergi ke sawah. Sebagian lagi tak pernah di rumah karena menjadi penghuni tetap lapak kembang sekaran di trotoar pasar sepur Madiun. Seorang anak melintas di depan rumah. Berseragam putih merah menenteng tas sekolah warna merah pudar.

 

 

Prayogi R Saputra adalah penulis buku “Spiritual Journey” yang berdomisili di Malang. Lulus dari jurusan Hubungan Internasional namun lebih akrab dengan perbincangan mengenai sastra dan filsafat. Bisa disapa melalui akun facebook Prayogi R Saputra