Soto Ayam Dan Nilai Puasa
Oleh : Wahyu Widhi*
Polemik tentang perlu tidaknya warung-warung tutup saat siang hari puasa masih saja mewarnai Ramadan dari tahun ke tahun. Tidak ada yang baru dalam polemik ini. Beragam argumentasi dikemukakan, bermacam Perda dikeluarkan. Semua kubu keukeuh dengan pendapatnya masing-masing. Sementara itu, sangat sedikit yang mempersoalkan tayangan Ramadan di televisi yang sangat jauh dari hakikat puasa, atau pola konsumsi masyarakat selama Ramadan yang tidak mengajak kita pada prinsip mengendalikan diri.
Saya sendiri memilih tidak ikut-gaduh dan larut dalam perdebatan itu. Dalam hemat saya, tutupnya warung makan saat siang hari puasa tidak perlu diatur dalam perundang-undangan. Kembalikan saja hal ini kepada hati nurani empunya warung. Mau warungnya ditutup, tetap buka, atau ditutup sebagian dengan tirai, terserah. Saya menyayangkan hal sesederhana itu kok bisa sampai dibuatkan peraturan perundang-undangannya.
Saat nilai-nilai, adab, norma, etika yang begitu cair dipadatkan dalam perda, undang-undang, dan sejenisnya, saat itu jugalah nilai-nilai adab norma dan etika kehilangan ruhnya. Semuanya hanya sekedar perintah dan larangan. Hanya abu yang didapatkan, tanpa mengetahui asal apinya.
Bukan hanya warung, bahkan juga club malam, karaoke, lokalisasi, dan semacamnya. Biarkan saja semuanya buka dan beraktivitas seperti biasa. Semua itu bagi saya tidak mempengaruhi kesakralan Ramadan. Biarlah Ramadan menjadi jalan sunyi. Biarlah semua godaan itu menjadi sarana peningkat derajat keimanan para pelakunya.
Jika saya berpendapat pemilik warung tidak perlu menutup warungnya, lantas apakah saya sama sekali tidak tergoda dengan makanan atau minuman saat berpuasa?
Siapa bilang? Saya tidaklah semulia itu. Puasa saya masih dekat dengan sekedar ritual penggugur kewajiban dan formalitas. Pencitraan saya masih level amatir. Ada beberapa momen dimana saya tidak berpuasa, melainkan hanya sekedar berpindah jam makan minum.
Sebagai manusia biasa yang menjalani puasa Ramadan, saya juga tergoda. Terkadang godaan itu berasal dari hal sederhana. Sesuatu yang di luar Ramadan tampak biasa saja, saat Ramadan menjadi begitu istimewa. Termasuk semangkuk mie instan.
Suatu siang Ramadan tahun lalu, keponakan saya yang berumur empat tahun meminta dibuatkan mie instan. Saat mie instan itu siap terhidang, tercium aura magis nan menggoda dari semangkuk mie rasa soto itu. Mie keriting yang kenyal, taburan bawang goreng diatas kuah kuning berkaldu minyak yang entah terbuat dari bumbu apa, tampak begitu menggoda. Seandainya saat itu tidak berpuasa, niscaya saya akan ikut membuat semangkuk mie instan yang sama, plus telur agar lebih nyamleng menikmatinya. Hmmm…
Padahal itu hanyalah semangkuk mie instan rasa soto ayam yang sederhana. Tanpa embel-embel telur, sayuran, potongan daun seledri, paha ayam goreng, serta irisan tomat seperti gambar yang ada di bungkusnya. Hanya sedikit taburan bawang goreng sebagai penambah rasa dan aroma. Sekedar mie instan rasa soto ayam, bukan soto ayam sungguhan. Tapi tetap saja saya tergoda. Yang lebih menyedihkan adalah, saat itu saya sama sekali tidak lapar.
Pada akhirnya di hari itu saya menuntaskan puasa sampai maghrib, dan tidak lagi tergoda membuat mie instan rasa soto plus telur saat berbuka. Karena tiba-tiba gambaran indah tentang mie instan itu berubah kembali seperti semula saat di luar Ramadan, sesederhana itu rupanya. Entah bagaimana Gusti Allah menilai puasa saya di hari itu.
Jika hanya sekedar semangkuk mie instan bisa membuat saya tergoda, bayangkan seberapa tinggi derajat keimanan bisa saya raih? Saya yakin juga sepele, sesepele mie instan rasa soto ayam di siang hari yang panas itu.
Karena itu buka saja semua warung-warung makan, restoran-restoran, tempat-tempat hiburan. Ini puasaku, ini pertarunganku. Tak usah kau bantu dengan perda-perda manjamu.
NB :
Saya menulis ini saat menunggui Ibu di rumah sakit. Saat tiba waktunya makan siang, petugas mengantarkan makanan ke para pasien. Tebak apa menunya? Yap, soto ayam….
*Wahyu Widhi : Salah satu penggiat BangbangWetan. Mengklaim sebagai manusia berotak eksakta yang berusaha menyeimbangkan diri dengan seni dan sastra. Bisa ditemui di akun twitter : @kakakwidhi