Prolog

Suluk Ibrahim – Prolog BangbangWetan Juli 2023

Setiap tahun menjelang Idul Adha, umat Islam sedunia berbondong-bondong ke Tanah Suci untuk melaksanakan rukun Islam yang kelima, yaitu ibadah haji. Apabila kita telaah Kembali hal tersebut, menunaikan ibadah haji dapat diibaratkan sebagai napak tilas jejak-jejak kaki Siti Hajar. Jejak kaki seorang perempuan sekaligus seorang budak berkulit hitam legam. Di sinilah Allah Swt. menunjukkan kuasa sekaligus mengajari kepada kita—apabila mau belajar—bahwa sebenarnya kita tak lebih dari sekadar “Hajar”, seorang (mantan) budak perempuan. Ya! Budak dan perempuan, dua entitas yang dalam banyak sejarah peradaban manusia, acapkali mendapat peran sebagai pelengkap derita.
Allah me-restart semua keduniawian kita. Kita dipaksa untuk meniti kembali langkah dan jejak kaki Hajar sambil berpeluh keringat di bawah terik panas sinar matahari yang begitu menyengat. Tak ada lagi seragam kebanggaan, pongah tingkah, jabatan elit, harta kekayaan, serta hal keduniawian lain karena pada nyatanya kita semua hanyalah “Hajar” di hadapan Allah Swt.
Selain Hajar, tidak dapat kita pisahkan pula kisah mengenai Ibrahim a.s. yang walau dengan berat hati, tetap bisa meneguhkan tekad dan iman untuk menerima perintah menyembelih putranya sendiri. Pada momen tersebut pastilah terjadi guncangan antara akal sehat dan hati nurani sebagai seorang ayah, serta keimanan terhadap perintah Tuhan.
Dari paragraf di atas kita bisa membahas dan belajar tentang banyak hal. Tentang betapa tinggi dan mulianya Allah Swt. yang menuntun kita untuk mengangkat derajat perempuan, jauh sebelum gerakan feminisme muncul dan gerakan penghapusan perbudakan dimulai pada pertengahan abad ke-18 . Tentang kegigihan dalam mencari sumber air bagi Ismail kecil yang menangis kehausan, di tempat yang sangat tandus sekalipun. Tentang perjuangan melawan ke-antagonis-an dengan butiran kerikil di Mina dan lain sebagainya.
Tuhan tidak memerintahkan Ibrahim untuk membunuh putranya, melainkan membunuh rasa kepemilikan atas dunia, karena semua yang kita miliki saat ini hanyalah sebuah titipan yang bersifat sementara. Yang kita kejar saat ini, yang kita genggam erat saat ini, segala yang tidak ingin kita lepaskan, dan kita tidak memiliki hak apapun atasnya.
Klise rasanya kalau harus menceritakan satu-persatu kisah tentang sepak terjang Sang Abul Anbiya’ dan keluarganya. Namun, fakta tak bisa disembunyikan, dari beliaulah ketiga agama samawi belajar tentang ketauhidan, ketaatan, dan keikhlasan.
Tak lagi penting rasanya debat kusir tentang siapa yang sebenarnya disembelih oleh Ibrahim a.s. kalau kita mau menarik benang merah hingga ke pangkal persoalan. Apakah Ishak? Atau Ismail? Ahh… Sudahlah. Lebih baik kita meresapi makna dan rengeng-rengeng menghayati lagu Jejak Ibrahim di bawah ini bersama-sama di mana lagi kalau bukan di BangbangWetan.

“Jejak Ibrahim di batu hitam
Tataplah bayangan rahasianya
Rabalah inti karamahnya
Ciumlah nikmat barokahnya
Jejak kaki bapak kebenaran
Jejak luhur peradaban Allah
Pusat rohani uluhiyah
Mata air kebudayaan
Rahim ibu sejarahmu sendiri
Tempat jiwamu menemukan pintu
Menjadi fitri kembali
Bergabung ke yang Abadi
Betapa sejuk Baitullah
Betapa sangat menentramkan
Sepenuh jiwa kami tertambat
Badan serta nurani terjerat
PadaMu ya Azza wa Jalla
Muara perjalanan kami”
[Jejak Ibrahim – KiaiKanjeng: Raja Diraja, 1997]

[Tim Tema BangbangWetan]

Leave a Reply

Your email address will not be published.