Kamisan

Syukur dan Sabar Adalah Dasar Cinta

Oleh: J. Rosyidi

“Hmmm… hmm.. hm….”, Seraya sambil menunjuk sesuatu, Una, anak saya, mencoba menyampaikan keinginannya. Kuambil pulpen yang ada di rak dinding yang tergantung di depan kamar. Dia masih bergeming, menunjukkan bukan itu yang diinginkannya.

Beberapa kali kuambil barang, mulai dari penghapus, lem, klip penjepit buku dan lainnya, semuanya tidak ada yang benar. Tinggal obeng yang belum kuambil. Mau kuambil tapi ragu. Karena menurutku masih berbahaya untuk anak seusianya.

Akhirnya kuberikan juga. Dan dia pun diam pertanda memang itu yang diinginkannya. Tentu tetap kuawasi bagaimana dia bermain dengan obeng tersebut.

Tidak sekalian dua kali kejadian seperti itu. Bilamana ketika kita dalam kondisi sibuk dan sekaligus penat, sementara kita memilih untuk mengasuh anak sendiri,maka modal utama dalam berinteraksi dengan anak adalah sabar dan syukur.  Bukankah dua hal itu -sabar dan syukur- yang menjadikan rosulnya takjub dengan kondisi seorang hamba?

Pernah kemudian, Una secara tiba tiba meraih mangkuk makanannya, tentu saja saya kaget, hingga jatuh berhamburanlah makanannya. Pernah juga dia sengaja menghamburkan makanan yang sengaja kami letakkan di depannya untuk melatih kemampuan motoriknya. Dengan kejadian berhamburan makanan itu, kalau ditinjau dari perspektif orang dewasa tentu menyebalkan. Tapi yang kita hadapi ini adalah anak yang sedang belajar berinteraksi dengan dunia di sekitarnya. Maka jembaring manah, sabarnya hati, keluasan dada memakluminya adalah kunci utama.

Apakah saya tidak pernah emosi dengan tingkah polah anak? Ya, pernah. Pada titik ini, segala teori parenting yang pernah saya baca seakan menguap entah kemana. Namun, Saya segera mengingat bahwa ini anak adalah amanah Allah. Saya mengingat betapa kami berdua (saya dan istri) begitu mendambakan kehadirannya. Saya mengingat begitu banyak yang belum dikaruniai anak. Dan seterusnya. Intinya saya mengingat saja bahwa dia bukan hanya amanah, melainkan anugerah yang begitu kami damba. Maka akhirnya rasa syukur itu mengalahkan emosi saya.

Menurut saya pemicu kemarahan kita (tidak hanya terhadap anak) seringkali terjadi karena hambatan komunikasi. Apalagi ini dengan anak yang belum bisa bicara. Maka sebagai orang tua kuncinya ya sabar itu. Sabar berinteraksi dengan anak akan menjadi lebih mudah kalau landasannya adalah cinta.

Masak sih kita tidak cinta dengan anak kita? Menurut saya -selama anak belum bisa berkomunikasi dengan baik selayaknya kita- hanya satu bahasa yang dimengerti oleh anak kita. Bahasa cinta. Selama belum bisa berbicara, landasan dari cara komunikasi dengan anak ya harus dengan perasaan dan hati yang penuh kasih. Tidak bisa tidak. Karena sesungguhnya anak akan mampu menangkap frekuensi cinta kita yang terungkap lewat tutur kata kita.

Pernah suatu ketika, kami berdua sedang capek-capeknya. Una malah rewel. Tentu saja tanda tanda emosi mulai naik. Segera kudekap Una, kemudian saya tatap matanya dan berujar, ” Nak, bapak dan ibu sedang capek, tolong kerjasamanya ya untuk tidak rewel.” Entah mengerti atau tidak yang jelas seketika itu juga anaknya berhenti rewel dan kembali asik main dengan mainannya.

***

Ayah, bunda, mungkin kita sudah banyak membaca buku-buku parenting. Mungkin bahkan banyak juga yang ikut workshop atau seminar tentang bagaimana menjadi orang tua yang baik, Itu memang akan membantu pengetahuan kita bagaimana kita menghadapi anak dengan segala dinamikanya, apalagi jika anak belum mampu berkomunikasi dengan baik yang lebih dibutuhkan adalah kesabaran dan kesyukuran kita. Karena dengan sabar dan syukur itu kita bisa berinteraksi, berkomunikasi dengan anak dengan sepenuh cinta. Bukankah di fase fase awal pertumbuhannya yang dibutuhkan adalah limpahan kasih sayang orang tuanya?

Penulis adalah pegiat dan pemerhati pendidikan, jamaah Maiyah Bontang. Bisa disapa di facebook Jamaluddin Rosyidi

Leave a Reply

Your email address will not be published.