Tangis Syawal dan Majmuk Rindu
Oleh: Rio Ns*
RAMADHAN masih sepekan. Riuh rendah kegiatan yang menyangkut tentangnya kian mudah kita temukan. Dari ruang mana saja dengan fungsi apa saja, bisa kita temukan kata Ramadan. Jangan tanya titik temu dan persambungannya karena relevansi bisa dibuat, dipadupadankan dalam rangka pemenuhan kebutuhan mereka yang berkepentingan.
Pembahasan tentang bulan yang terletak di antara Sya’ban dan Syawal ini memang selalu menderas di satu-dua minggu sebelum, sepanjang rongga waktunya, serta maksimal dua minggu sesudahnya. Obyek bahasannya, metode pendekatannya serta cara penyampaiannya juga sangat beragam. Tapi pasti tidak jauh dari beberapa hal ini: aspek hukum / syariat mengapa harus berpuasa, kemanfaatan melaksanakan puasa, kiat sehat dan syar’i puasa, alat bantu dan suplemen lainnya penunjang suksesnya ibadah puasa.
Dengan dalih tak ingin menambah sesaknya muatan waduk literasi tentang puasa, saya memilih menuangkan rasa remeh temeh terkait acara yang secara serial eksistensinya muncul setelah puasa Ramadan: Lebaran.

Domisili yang berpindah-pindah menjadikan lebaran di masa kecil saya menghadirkan bermacam warna. Pemukiman padat di tengah kota, perumahan yang lengang dan melegakan atau sebuah desa cukup jauh dari keramaian pernah saya dan keluarga singgahi. Atau lebih tepatnya Lebarannya pernah kami alami, kami resapi.
Rangkaian panjang menuju Lebaran tentu saja tak kalah extravaganzanya. Bersih-bersih dan perbaikan rumah, mendatangi tukang jahit untuk memesan baju buat seisi rumah, pergi ke pasar untuk membeli kacang, kemudian melucuti kulit arinya dan digoreng untuk menjadi suguhan wajib di meja tamu. Membantu Ibu membuat adonan kue, mencetak, dan memasaknya di oven yang dipanaskan di atas kompor minyak. Daftarnya masih panjang: ikut berkeliling bersama teman-teman seusia menjelang adzan Subuh dengan membawa obor sambil meneriakkan sahur, sahur…, mencicipi lebih dulu takjil di Langgar sebelum guru ngaji kami membagikannya ke jama’ah, nyekar (ziarah) ke makam Datuk (Melayu : Kakek – red), berebut dengan teman ngaji untuk bisa menabuh beduk pertanda segera habisnya puasa Ramadan, dan esoknya adalah lebaran.
Lebaran terkait mutlak dengan sholat Ied dan (di tradisi kami) prosesi sungkeman. Inilah jantung dari puluhan pernik menyangkut Idul Fitri. Ini pula alasan mengapa Lebaran selalu bermakna luar biasa bagi saya.Ingat betul saya, betapa kami semua pasti menitikkan air mata ketika takbir diteriakkan menjelang Sholat Ied. Spontan selepas salam terakhir diucapkan dan kami bersalaman dengan sesama jama’ah di kanan-kiri, makin deras saja curahan ekskresi dari kelenjar di atas sudut mata ini. Pulang dari sembahyang besar yang hanya dua kali dalam setahun diadakan, kami lakukan “upacara” sungkeman. Kami mengikuti Bapak, Ibu, Pakdhe, Budhe, Oom dan Tante yang sungkem ke Mbah Kakung dan Mbah Putri. Dilanjutkan saya dan adik-adik ke Bapak dan Ibu dan diteruskan dengan salaman ke kami yang sepantaran.

Mungkin Lebaran yang lengkap dengan asesorisnya yang bahkan mungkin lebih lengkap dialami juga oleh siapa saja. Juga acara sungkeman, makan ketupat, amplopan uang kertas yang “bau uang” atau sederet panjang daftar lainnya pernah atau selalu dilakukan oleh banyak orang. Yang jadi pembeda adalah betapa susahnya sekarang saya rasakan untuk bisa menangis di pagi pertama bulan Syawal. Secara sederhana bisa dikatakan bahwa seperti banyak aktivitas hidup kini tinggal menjadi sebuah rutinitas yang hambar, miskin impresi dan baal. Sebuah kondisi dimana kegiatan dilakukan dengan hanya menggunakan satu kaki dan mata tertutup. Terlaksana baik karena bawah sadar yang menggumpal dalam hafalan keseharian membimbingnya ke arah sana, tanpa rasa.
Atau sudah ada telaah tersendiri bagaimana pertambahan umur mengurangi tingkat kepekaan seseorang akan getaran-getaran rasa? Atau mungkin lebih karena terpaan hidup dengan “gunung dan lembah” pesoalan- persoalan, suka cita atau duka derita?

Saya sendiri belum benar-benar menemukan jawab atas itu semua. Sebut saja ini sebagai sebuah hipotesa, sebuah praduga yang validitas keilmuannya ada di papan bawah klasemen. Beberapa di antaranya: penurunan kualitas keimanan, persoalan-persoalan keseharian, gempuran komodifikasi program ritual menjadi sarana promosi atau bahkan komoditas itu sendiri yang kesemuanya melanda secara massif dengan luas cakupan yang sungguh nationwide sehingga degradasi rasa-pangrasanya menjadi semacam epidemik. Menjadi deriat hampir semua orang di nyaris seantero negeri.
Saya memilih untuk mengelak dari keharusan mengurainya lebih jauh. Lebih penting bagi saya segera menemukan kembali sayat tajam dan mendalam peristiwa yang hanya setahun sekali ini. Saya hanya sedang berupaya menemukan kembali nangis tertahan di Syawal pagi ketika takbir disuarakan lagi dan lagi.
*Nugroho R. Sanyoto (Rio Ns) – Salah satu penggiat BangbangWetan, penulis dan praktisi pemasaran berbagai produk berskala nasional khususnya produk-produk farmasi. Dapat ditemui di akun Facebook : N Prio Sanyoto