Ternyata Tidak Mudah untuk Bisa Sak Madya
Dari hal-hal yang biasa itulah saya menyaksikan kemunculan daya hidup yang sungguh istimewa. Satu diantaranya adalah geliat rutinan Majelis Maiyah Balitar. Sebuah simpul Maiyah yang nafasnya disangga oleh sejumlah anak-anak muda berpendirian teguh, berdikari dan utun.
Sejatinya, tulisan ini fiktif belaka. Seperti Karl Max yang menuliskan kisah-kisah “pacifis” tentang kehidupan di Padang Prairie dari sebuah penjara di negaranya. Atau tak ubahnya Pram yang meledakkan jagad penulisan dengan tetralogi dari kepedihan hidup di Pulau Buru sebagai seorang napi.
Bukan dari sisi kualitas karya yang dilahirkannya. Sama sekali tidak. Melainkan dari aktifasi otot dan syaraf imajinasi. Dimana kedua hal ini menjadi aktor utama dalam proses “produksi”.
mBlitar, begitulah lidah orang Jawa melafalkannya, tidak memilki sesuatu yang benar-benar istimewa. Beberapa nama memang sempat “menasonal”. Ada 1-2 yang “mengglobal”. Sejumlah komoditas pernah menggurita dan sedikit cerita sudah dicatatnya. Selebihnya, ia adalah daerah tingkat dua yang kecil dan karenanya coba diangkat dengan jargon kutha cilik kang kawentar (kota kecil yang ternama).
Dari hal-hal yang biasa itulah saya menyaksikan kemunculan daya hidup yang sungguh istimewa. Satu diantaranya adalah geliat rutinan Majelis Maiyah Balitar. Sebuah simpul Maiyah yang nafasnya disangga oleh sejumlah anak-anak muda berpendirian teguh, berdikari dan utun. Kata terakhir saya gunakan untuk melukiskan perilaku yang berkelanjutan, tidak berpretensi apa-apa selain “just do it”, lakukan saja, tanami terus saja .
Menapaki dua tahun umur “organisatoris”nya, MMB memperlihatkan semangat dan karya istiqomah mereka. Forum rutinan yang mereka adakan dilengkapi dengan TPR (Tema, Prolog, Reportase). Venue yang seadanya tidak membuat bocah-bocah mBlitar tergerus kegembiraannya. Fluktuasi jumlah kehadiran justru membesarkan nyala komitmen untuk tetap dan terus melingkar. Dukungan dari pemodal, pengusaha dan penguasa? Ah sudahlah, tak perlu mereka risau karenanya. Karena rokok lintingan telah menjadi kalori bagi pergerakan rohani dan badaniah mereka.
Perbincangan visioner terkait hendak kemana dan akan seperti apa MMB, percayalah, tak sedikitpun mereka pernah membahasnya. It’ s ok, pernik-pernik pelaksanaan bulanan saja sudah menghisap nyaris tak tersisa energi hidup yang mereka punya. Kelihatannya, mereka benar-benar telah menyatu dengan prinsip “bukan nanti bagaimana, tapi bagaimana nanti saja”.
Hoop, hoop… cukup kiranya catata fiktif ini kita ikuti. Berikutnya, mari sampaikan dirgahayu bagi gelegak darah perjuangan dulur-dulur kita ini. Dulur sinarawedi yang hari ini menghaturkan rasa syukur bagi tahun kedua kelahirannya. Majelis Maiyah Balitar, ayo kita rawat nyala kita punya api.
* Adaptasi dari judul buku untuk mengenang alm. Umar Kayam
Redaksi ISIMBangbangWetan/RNS