Orang-orang Tjigrok

Tonadi

 Oleh : Prayogi R Saputra

            Petang itu, tak seperti petang-petang  biasanya, Tonadi tinggal di rumah. Dia menghabiskan waktu dengan duduk-duduk di beranda belakang menghadap api dari kayu bakar yang menyala sedang, menghisap rokok linting, dan menikmati bara aritnya. Setiap hari,  Tonadi memang membakar arit, dan menjilatinya sebagai camilan. Kata orang, itulah kunci kesaktian Tonadi. Sehingga dia tak mempan dibacok bahkan tak luluh ditembak peluru polisi Kumpeni.

Musim kering telah tiba, sudah sebulan lebih hujan tak turun. Orang-orang desa menyebutnya mongso kartiko. Daun-daun berguguran. Belalang dan serangga mulai menyusup ke dalam tanah. Orang-orang Tjigrok sedang bersiap menanam kedelai, kacang tanah atau jagung. Beberapa waktu setelah matahari benar-benar terbenam, Tonadi meminta Mak Mbreg, istrinya, untuk mengumpulkan semua anak-anaknya di ruang tengah.

“Ada apa to, Pakne?”tanya Mak Mbreg sambil menyeka mata kirinya yang rembes.

“Sudah! Panggil anak-anak! Bapak mau bicara.”

Tanpa bertanya lagi, Mak Mbreg bergegas menyuruh Warsi, anak kelimanya, untuk memanggil kakak-kakaknya. Mereka pergi bermain entah di mana. Sementara menunggu anak-anaknya berkumpul, Tonadi masuk ke kamarnya dan berdiam diri di dalam. Rumah itu sederhana. Berdinding anyaman bambu di bagian atas dan papan kayu di bagian bawah.

Ada dua buah kamar berpintu kain di bagian belakang sisi kiri dan kanan. Sementara, sisi tengah ada sebuah ruang yang agakanya diistimewakan: senthong. Siapa pun tak ada yang boleh masuk ke senthong, kecuali Tonadi. Sehingga, anak-anak tak ada yang tahu apa yang ada di dalam senthong. Kata Mak Mbreg, di senthong itu disimpan beberapa pusaka warisan leluhur Tonadi. Ada keris, payung, dan tombak.

Setelah lama menunggu, akhirnya anak-anak Tonadi telah berkumpul semua. Mudji, anak sulungnya, ketemu di tengah sawah sedang mencari belut bersama dua adiknya: Pahing dan Marto. Sementara, Ardjo sedang ngobrol bersama teman-temannya di dekat kuburan. Sedangkan dua orang adik Warsi tinggal di rumah karena masih kecil. Semua duduk di atas tikar yang digelar di atas lantai tanah. Kemudian, Mak  Mbreg memanggil Tonadi.

Tonadi keluar kamar dengan wajah yang datar. Laki-laki kekar ini bertubuh mungil, kulitnya legam dan keras, rambutnya selalu gondrong berombak, dan nyaris tak pernah mengenakan baju. Dia hanya selalu mengenakan celana kombor hitam sebatas bawah lutut.

“Mudji!” Tonadi membuka suara.

Nggih Pakne!” jawab Mudji.

“Kamu anak yang paling besar. Maka, malam ini aku akan berpesan kepada anak-anakku semua. Dan khususnya kepadamu. Karena, kamulah yang nanti akan mengambil  tanggung jawab keluarga ini.”

Mak Mbreg tersedak, seperti tahu apa yang hendak disampaikan oleh suaminya. Mata Mak  Mbreg menggerabak.

“Dengarkan baik-baik, anak-anakku!”

Hening. Di luar, suara serangga terdengar berkecamuk seperti alam pikiran Mak Mbreg, Mudji dan adik-adiknya.

“Kalian anak-anakku, ketahuilah bahwa dalam hidup ini ada titi mongso. Setiap hal ada waktunya masing-masing.   Ada waktu lahir, dewasa, menikah, dan ada waktu ajal. Manusia tidak pernah tahu kapan semua itu akan terjadi. Tapi, sebagian manusia mungkin diberi kepekaan oleh Hyang Wenang untuk merasakan kehadirannya.”

Mak Mbreg mulai menitikkan airmata. Sementara, Mudji mendengarkan dengan bibir bergetar. Pahing, Ardjo, Marto diam. Sedangkan Warsi, Mprut, dan Darsih hanya duduk karena belum  paham apa yang terjadi. Sesekali, Warsi mengelap ingus Darsih.

“Mudji!”

Nggih, Pak.”

“Kelak, entah kapan, kamu yang akan memimpin adik-adikmu menggantikan Bapak. Didiklah adik-adikmu, lindungi mereka, jaga martabat dan keselamatan jiwanya.”

Nggih, Pak,” Mudji menunduk dalam.

“Di senthong, ada pusaka warisan leluhur Bapak. Bawalah ke rumahmu kalau kelak kamu sudah menikah. Taruh di senthong. Rawatlah dengan baik dan basuhlah dengan kembang setaman setiap jumat legi atau rebo pahing di bulan suro.”

“Nggih, Pak,” Mudji seperti kehilangan kata-kata.

“Dan kalau adik-adik perempuanmu menikah, jangan cari suami yang rumahnya menyeberang Sungai Gandhong. Itu pantangan. Kalau laki-laki tidak masalah.”

Mudji mengangguk. Dia tak berani menatap sorot mata bapaknya.

“Dan terakhir, Bapak tidak akan mewariskan ilmu kanuragan apa  pun kepada kalian. Biarlah Bapak jalani ini sendiri. Kalian bekerjalah dan hiduplah dengan baik. Syukur-syukur, bisa  membantu sesama.”

Mak Mbreg bangkit dan lari ke belakang sambil menggendhong Darsih. Tonadi tetap duduk dengan tenang. Anak-anak pun tetap duduk.

“Sudah, sekarang kalian beristirahat. Malam ini tidak usah keluar. Semua tidur di rumah.”

Lantas Tonadi pergi ke belakang menyusul Mak Mbreg.

Mudji dan adik-adiknya, segera menggelar tikar tambahan yang sebagian masih basah terkena ompol Wirat dan Darsih. Mereka bergegas mengambil kain jarik sebagai selimut, mengambil apa pun sebagai bantal, lantas bersiap untuk tidur.

Menjelang tengah malam, Tonadi keluar rumah. Mudji masih melihat ketika Tonadi menghilang di balik kegelapan malam. Sementara, semua adik-adiknya telah terlelap. Hampir setiap tengah malam, Tonadi keluar. Ada yang bilang Tonadi memiliki beberapa orang anak buah dalam gerombolan perampok. Mereka sering menyatroni rumah orang-orang kaya di desa yang sawahnya luas dan hewan peliharaannya banyak.

Kadang, gerombolan Tonadi ini mengambil gabah dengan pedati lantas menurunkannya di depan rumah orang-orang miskin di desa di tengah malam buta. Kadang, mereka mengambil sapi, atau kerbau. Konon, sebagian hasil rampokan itu akan dibagikan kepada orang-orang desa yang miskin. Sementara sebagian yang lain digunakan untuk bersenang-senang. Tapi tak ada yang tahu persis, selain bahwa Tonadi tetap hidup sederhana. Rumahnya tak berbeda dengan warga desa miskin yang lain.

Beberapa hari setelah malam mencekam itu, tepat saat peralihan antara Selasa Kliwon dan Rebo  Legi, saat  matahari baru saja terbenam,  seorang tamu datang. Mak Mbreg keluar membukakan pintu. Rupanya, Pakdhe Djiwo yang datang. Tumben. Meskipun Djiwo adalah kakak seperguruan Tonadi, tapi tak pernah mereka saling mengunjungi.  Djiwo menolak ketika Mak Mbreg mempersilakan dia masuk. Maka, Mbreg memanggil Tonadi.

Tonadi keluar pintu dan dalam sekejap  kembali masuk dengan leher yang bersimbah darah. Tak ada teriakan. Tak ada raungan kesakitan. Tonadi masuk rumah dengan datar. Dia hanya meringis. Sebuah luka bacokan menganga di leher bagian depan, tepat di bawah rahang sebelah kiri.  Rupanya, Djiwo datang bertamu dengan telah memperhitungkan hari, waktu, senjata yang dibawa, dan titik di mana kulit Tonadi pasti robek.

Demi melihat suaminya bersimbah darah, Mak Mbreg menjerit. Anak-anak yang masih kecil langsung ikut menangis. Sementara Mudji, Pahing, Ardjo, dan Marto pergi entah ke mana. Dengan susah payah sambil menahan sakit, Tonadi berusaha menenangkan Mak Mbreg.

“Sudah, Mak! Tidak usah panggil siapa-siapa. Ini memang sudah waktunya.”

Mak Mbreg meraung. Para tetangga mulai berdatangan.

“Aku akan pergi, titip  an……………”

Tonadi benar-benar telah pergi. Para tetangga berdatangan. Tapi Mak Mbreg tetap merasa sendiri.

 

Prayogi R. Saputra : adalah penulis buku “Spiritual Journey” yang berdomisili di Malang. Lulus dari jurusan Hubungan Internasional namun lebih akrab dengan perbincangan mengenai sastra dan filsafat. Bisa disapa melalui akun facebook Prayogi R Saputra