Metaforatma

Tuhan dan Maiyah dalam Relativitas Dimensi Waktu

Oleh: Ach. Yasykur Aminurrozi

(Untuk 12 tahun BangbangWetan)

Prosentase sukses terhadap sesuatu sesungguhnya menyimpan banyak hal di balik langkah setapak yang kita anggap berhasil. Sayangnya kebanyakan kita menganggap 90 persen adalah hasil pemikiran, usaha, dan perhatian yang kita lakukan. Sisanya adalah faktor X, kejadian tak terduga, tak terrencana. Padahal ada banyak tirai tersembunyi yang disebut kekuasaan Tuhan yang sebenarnya lebih sering kita sebut faktor X.

Misalkan kepiawaian arsitektur dalam membangun jembatan, skripsi bagi mahasiswa, pembangunan kota atau wilayah bagi pemerintah. Sesungguhnya hal ini bisa saja tidak tercapai dalam perhitungan. Penyebabnya bisa berbagai macam. Entah runtuh karena goncangan alam, hilangnya file, kemangkaraan pembangunan karena sumber daya yang tidak memadai, atau hal-hal lain di luar dugaan. Jika saja tidak ada campur tangan dan legalitas dari tuhan untuk terwujudnya semua itu, tentunya semua akan sirna dalam estimasi jarak dan waktu yang seketika ataupun jangka panjang. Semua bisa saja dan pasti terjadi jika kehendak-kehendak Tuhan bergerak pada realitas untuk menunjukan dan menampakkaan kekuasaannya terhadap manusia. Dalam kesadaran dan dalam relung batinnya, maka pencapaian yang kita anggap pencapaian tidak menunjukan pencapaian yang seutuhnya dalam unsur yang membangun atas sebuah kesuksesan. Ada faktor dari Tuhan yang bergerak, meraba, menyusuri setiap jejak kehidupan manusia, menerpa setiap kejadian yang terjadi. Terkadang hal-hal tersebut Ia tampakkan untuk memperingatkan dan mengingatkan manusia atas kuasa dan kebaikanNya. Dalam setiap realitas yang terjadi, para ateis mengatakan faktor X sebagai faktor tak terduga. Hipotesa baru perlahan tercurah bahwa faktor X sebagai faktor yang mendasari semua yang terjadi. Faktor X mengawal setiap kejadian, menuntun di balik tabir setiap peristiwa, dan melihat apa yang sedang dan akan berlangsung.

Anggapan berdasar faktor X dalam milad BangbangWetan ke-12 ini bahwa tidak mungkin tidak ada Tuhan dalam Majelis Masyarakat Maiyah ini. Entah disadari atau tidak, yang saya yakini Tuhan menyadari betul ketulusan, kerinduan batin, kehausan rohani oleh para pegiat ilmu pengetahuan. Tuhan tahu betul bagaimana ketulusan mereka yang karenanya diizinkan sampai pada rotasi waktu yang ke-12 ini.  Keberkenanan tuhan adalah wujud manivestasi keridhoanNya. Terhadap yang terjadi selama ini, tinggal sejauh mana tingkat keridhohanNya dalam setiap lingkup yang telah kita lakoni selama ini. Maka dari itu, mengingat waktu sebagai usia, seyogyanya kita mengukur masihkah di level awal atau pada tingkat yang lainnya. Semua bergantung kedalaman, ketulusan, dan proses jasadiyah ataupun ruhiyahnya sehingga meningkatkan kesadaran akan posisitioning dengan buah keyakinan dariNya. Menuju kepadaNya ialah langkah terbaik barometer mengingat usia sebagai dimensi waktu.

 

Sadar untuk berupaya mengikat erat yakin dan keyakinan merupakan asas dan fondasi manusia hidup. Ketika keyakinan kokoh kuat dan mengakar, yang tumbuh tidak mengoyakkan terhadap eksistensi terwujudnya, pohon kehidupan. Namun ketika keyakinan itu bermasalah maka apapun yang tumbuh dari akar akan sedikit demi sedikit menggerogoti bangunan di atasnya.

 

Membahas persoalan keyakinan memang permaslahan yang sulit-sulit mudah. Kita harus memilih, lalu menumbuhkan, menancapkan keyakinan menjadi jejaka hidup yang memang semestinya dilalui dan dibangun.  Mas Sabrang mengingatkan bahwa “keyakinan harus fanatis, tapi jalannya harus fleksibel dan dinamis.”

 

Menumbuhkan dan merajut sebuah keyakinan yang baik dan benar memiliki peluang yang sangat fleksibel untuk menimbang komprehensifitas jalan dan media yang beraneka ragam. Hal ini diperlukan untuk membuat rumusan  yang baik atau yang kurang baik dan unsur yang membangun atau unsur yang merusak. Semua diproyeksikan dan menjadi output untuk menghasilkan konsolidasi keyakinan yang mengakar dan menghujam kuat dalam lubuk sanubari. Di sinilah fanatisme dalam keyakinan diperkenankan karena jalan dan proses telah dilalui dengan dinamis dan fleksibel dalam serangkaian pilihan dan pertimbangan. Meskipun demikian ekspresi yang ditampilkan keluar tetap harus dinamis tanpa harus memaksa. Karena yang boleh dipaksakan adalah kepada diri sendiri.

 

Maka di dalam Maiyah tidak ada keterpaksaan. Yang ada adalah rasa legawa antara satu dengan yang lain. Dilihat dari sejarah apapun ketika ada intervensi dari unsur lain. Relativitas waktunya tidak berjangka panjang, sebab fitrah naluri dan nurani manusianya tidak ada disitu, hal ini berlaku termasuk dalam indikator suksesnya suatu pendidikan. Membangaun output manusia dengan kesadaran dan rasa menyadari adalah mengisi rungan kosong nurani dan naluri manusia itu sendiri. Sehingga Maiyah sangat memungkinkan menempuh kadar waktu dan jarak yang cukup panjang. Meski kesadaran waktu dan pengaturan waktu tetap harus dikembalikan kepada Yang Maha. Sebab tidak ada suatu pencapaian yang benar-benar pencapaian dari hasil yang dinamakan pencapaian, kecuali tuhan ada dibalik layar.

 

Penulis merupakan JM yang sedang menempuh studi strata 2 di UINSA, Surabaya. Bisa ditemui melalui email aminyaskur@gmail.com