Tutorial Menikah: (1) Bunuh Diri!
Oleh: Wida Purnama*
Genap setahun, pemuda bernama Bambang Panglipur menikah. Dengan siapa lagi kalau bukan Siti Fatimah yang selalu menolak dipanggil Siti dan seringnya memperkenalkan diri dengan nama Ima. Lebih mentereng dan gaul, katanya. Pasangan muda itu belakangan mulai gupuh. Kenapa sih? Padahal mereka sudah lolos lho dari pertanyaan “kapan nikah”-nya para netijen.
Nganu, kata Bambang, hidup ini tak sebatas pilihan, yang kalau kita sudah milih segalanya akan selesai, lantas menjadi indah. Ya, pernikahan telah membuat Bambang bisa menjawab pertanyaan para tetangga soal statusnya. Namun, titik itu juga membawanya pada tuntutan atas jawaban dari pertanyaan lain: kapan istrimu hamil, Mbang? Kamu pengen anak cewek apa cowok? Kok belum berhasil juga? Dan puluhan pola kalimat tanya yang lainnya. Itu belum tagihan listrik dan air, cicilan rumah, beban kerjanya sebagai guru honorer, mertuanya yang bawel tingkat dewa, juga kerikil-kerikil kecil rumah tangga kalau-kalau Ima sedang PMS atau kurang uang belanja yang bermuara pada perdebatan.
Ngomong-ngomong soal Ima, Ima itu tidak suka kalau Bambang merokok. Sebagai jebolan anak teater, tangeh lamun juga Bambang menghentikan kebiasaan tersebut. Rokok sudah jadi sahabat terbaiknya tatkala melamun, stres, bahkan ketika mencari inspirasi untuk menemukan solusi dari permasalahan hidupnya. Kata Bambang, rokoklah yang membuat dia rileks dan bisa bertindak woles sebagai laki-laki.
“Sampean itu lho mas, mbok ya sudah ngrokoknya. Bisa baca ndak sih, nih merokok bisa menyebabkan kanker de el el de el el, ini lho, ni! Rokok itu M E M B U N U H M U !”, cerocos Ima sambil menyodor-nyodorkan bungkus rokok ke hadapan Bambang.
“Sampean pilih wes sekarang, aku: yang kata sampean, sampean cintai sampai mati ini, atau rokok yang selalu bikin kita gagal nabung buat beli mesin cuci?”, senjata pamungkas Ima pun dikeluarkannya malam itu.
“Bangbayik dik, nemen sampean. Lha kalau ndak ngrokok bisa bundel nalarku dik. Wong ini yang bikin hidup tambah hidup.”, Ima lantas mecucu.
“Gak wes gak. Asapnya aja bikin aku ampeg mas. Yang enak sampean, aku mabuk! Nyamuk itu mas, kena asap, mati!”
“Lha emangnya sampean nyamuk? Ini mbako dik bukan Baygon.”
“Sana ke warung Mbok Sri sana, ngrokok sampai ndower!”, Bambang menandaskan ujung rokoknya yang menyala ke dasar asbak. Tanpa babibu lagi, dia meraih sarung dari bantalan kursi. Lalu bergergas ke luar rumah.
Di saat-saat seperti itu Bambang sungguh mengumpat dalam hati. Untung masih bisa ditahannya umpatan tersebut. Dia masih sadar, bahwa hidup juga tak semata pilihan. Setelah memilih, kita harus bertanggung jawab untuk menjalani hidup. Sebagai perjalanan, hidup tentu tidak akan meloloskan kita dari hambatan. Tak mungkin lempeng-lempeng saja seperti jalan tol. Wong di jalan tol saja kadang tiba-tiba ban kita bisa kempes, atau tiba-tiba rem jadi blong, busi njeblug, dan sebagainya. Sambil geleng-geleng, Bambang menjawab rangkaian pertanyaan di kepalanya sendiri. Ternyata beginilah pernikahan, beginilah kehidupan. Gumam Bambang dalam kedalaman nalarnya meredam emosi. Iya Mas Bambang, dalam hidup tentunya kita akan mengalami ngegas dan ngerem karena berbagai faktor. Adakalanya kita mbrusuk. Ada saatnya pula kita terjebak macet. Heuheuheu.
***
Lewat kasus Bambang dan Ima ikhwal pernikahan, barangkali hal itu pun banyak dialami pasangan suami istri lainnya. Tidak menutup kemungkinan masalah yang melanda rumah tangga mereka lebih berat dan kompleks. Tidak hanya soal kebiasaan pasangan yang bikin kita literally ilfeel totalitas. Mungkin juga ada yang punya konflik dengan mertua, pelakor, ekonomi yang kurang mencukupi, perbedaan sudut pandang, KDRT, dan banyak lagi hal-hal naas dalam membina rumah tangga. Sudah terlalu banyak data-data semacam itu memenuhi portal dunia maya, postingan akun Lambe Turah, atau berseliweran di berita-berita infoteinment televisi.
Mengapa itu bisa terjadi? Ya jelas bisa! Karena pernikahan, meski mulia, tidak akan bisa membuat manusia kebal dari nasib buruk. Jadi sebaiknya kita berhenti menyombong-nyombongkan pernikahan. Tidak usah membully pra jomblo. Biasa sajalah kalau sudah menikah. Jangan overload upload foto di dunia maya dengan caption-caption bijaksana bernafaskan nuansa khas Islamiyah. Jomblo-jomblo tambah ngenes tauk. Heuheuheu.
Pada dasarnya, pernikahan bukanlah sebuah euforia. Memang benar jika menikah merupakan salah satu tahap fundamental dalam hidup. Namun, kita masih sering terkecoh dan salah tafsir pada intisari pernikahan. Setiap individu tentu punya alasan yang variatif untuk melangsungkan pernikahan. Mulai dari alasan prinsinpil hingga menuntaskan gengsi belaka. Lho, apakah ada yang menikah karena gengsi? Ada. Wong yang ingin menikah dengan alasan supaya bisa mengunggah foto can’t did di Instragram saja juga banyak. Untuk itu, sebelum melakukan prosesi akad oleh penghulu setiap pasangan diminta untuk meluruskan niat.
Menurut pengalaman, menikah itu ternyata bukan soal gedung mewah, riasan MUA yang hits, foto prewedding kece, makanan yang mahal, atau pun gaun pengantin yang affdorable. Bukan pula sehiruk-pikuk apa pestanya berlangsung. Sungguh semua itu hanyalah bungkus bagi eloknya sebuah ikatan rumah tangga. Jangan tertipu dengan update-an kiriman Instagram maupun story WA bahkan quote-quote yang beredar di jagad maya yang mengisyaratkan jika pernikahan itu tentang hal yang bahagia-bahagia saja. Seolah menikah adalah puncak kehidupan.
Pandangan itulah yang menyebabkan kita hanya akan merasa menjadi lebih baik, lebih unggul dari yang lain jika sudah menikah. Efek domino yang akan muncul adalah kejumawaan yang sejatinya amat bahaya bagi kepribadian seseorang. Kita akan cenderung menganggap pernikahan adalah pencapaian sosial, padahal pernikahan itu pencapaian diri, letaknya di dalam. Tidak untuk dilomba-lombakan, dipertanyakan, apalagi menjadi tekanan. Menikah juga bukan momen gagah-gagahan, sebab menikah tidak membuat diri kita selamat dari maut. Harus dipahami bahwa pernikahan penting, namun bukan segala-galanya.
Menikah adalah sebuah proses untuk menyatukan diri dengan pasangan. Salah satu jalannya justru melalui jalan satire yang saya namai bunuh diri. Tanpa membunuh diri sendiri, kita tak akan mencapai perkawinan sejati. Bukan, bukan bunuh diri macam Romeo yang meneguk sebotol racun tanpa sangsi sehingga kematiannya jadi puisi seperti yang dikatakan Saut Situmorang dalam puisinya. Bunuh diri dengan cara itu di jaman sekarang mana bisa jadi puisi, yang ada malah jadi headline koran-koran pagi.
Apakah yang dibunuh dari diri kita ketika menikah? Pertama, bentuk keinginan yang tidak menjadi mufakat. Seperti Bambang dalam ilusi yang saya paparkan di awal, yang Bambang lakukan untuk menghindari cekcok ialah mengalah. Dia mengurungkan keinginannya untuk merokok di depan isteri. Padahal merokok sudah menjadi bagian dari diri Bambang, jauh sebelum dia membina rumah tangga dengan Ima.
Kedua, pandai-pandailah mengatur id, ego, dan superego. Id, ego, dan superego adalah struktur psikis yang dirumuskan oleh Sigmund Freud, seorang psikolog keturunan Yahudi yang mendunia. Menurut Freud, ketiga unsur tersebut merupakan bagian struktur psikis yang terpisah namun saling berinteraksi satu sama lain. Id merupakan peranan insting yang belum terkoordinasi, jadi murni keinginan yang belum tersentuh oleh pertimbangan baik dan buruk. Superego adalah segmen kritis dan moralitas yang memerangi output dari id tadi. Ego seringkali kita kenali sebagai realitas dan eksekusi yang menjadi penegah atau bisa disebut keputusan dari perang antara id dan superego.
Bisa dibayangkan kita mendadak menjadi seorang perempuan yang ingin merebut suami dari perempuan lain, misalnya. Id dalam diri kita adalah hasrat memiliki, superego-nya bisa dari kemudian kita terbayang-bayangi sanksi sosial dan moral yang harus kita tanggung. Ego yang muncul bisa jadi kita memutuskan untuk tetap menjadi pelakor, atau mundur lalu bertobat. Nah, itulah pertautan antara id, ego, dan superego dalam diri manusia, menurut teori Freud.
Ketiga, menjadi daulat bukan berarti menentang. Teori-teori feminisme seringkali agak sinis dengan pernikahan. Mereka sering menyebut-nyebut kalau menikah jangan sampai mematikan kedaulatan sebagai perempuan. Saya sepenuhnya setuju dengan paparan Ayu Utami dalam buku Parasit Lajang bahwa betapa pentingnya menjadi sadar dan berdaulat. Namun, kita sering salah mengartikan daulat sebagai perlawanan dan seringpula melawan dengan eksekusi perdebatan bahkan kekerasan, hanya untuk mempertahankan kedaulatan diri.
Menjelaskan konsep daulat ini, saya ingin makmum pendapatnya Mbah Nun soal musuh. Bahwa musuh terbesar manusia bukanlah manusia lain atau apapun yang ada. Musuh terbesar adalah diri manusia itu sendiri. Daulat itu bagi saya cukup dengan memahami betul-betul konsep itu. Cukup dengan menyadari bahwa kita justru harus menaklukan diri sendiri. Kita harus terus belajar mengandalikan unsur fisik, batin, dan akal. Untuk itu dalam berbagai kesempatan pun Sujiwo Tejo juga sering menyampaikan bahwa kita boleh pergi ke kyai, sowan ke majelis-majelis, ke pondok, dan berbagai tempat di dunia ini, namun jangan pernah lupa untuk sowan pada diri sendiri.
Serangkaian upaya bunuh diri tersebut akan terus terjadi, dan pasti itu tidak enak jika kita tak sanggup dengan bijaksana menyikapi. Bangunlah pernikahan dengan kesadaran akan konsekuens. Tidak semata hanya ingin selamat dari pertanyaan kapan nikah atau tidak sabar ingin buru-buru upload foto wedding di Instagram. Percayalah, pernikahan tak melulu seindah kata-kata baper Tere Liye. Yang sudah menikah, selamat menjalani onak duri dalam keberkahan. Yang belum menikah semoga segera diberi keberanian (dan uang) heuheu. Yang jomblo, boleh tepuk tangan. Sampai jumpa di ruang rindu selanjutnya, tulisan ini sudah terlalu nglantur dan panjang. Mohon pamit untuk setrika dan korah-korah.
***
Wida Purnama: Wanita asal Magetan yang mengenal Maiyah lewat Youtube dan media sosial lain. Bisa dijumpai di @purnamawida