We’re hiring: WaliRaja

oleh: Rio NS
Bagian pertama dari beberapa tulisan
Satu lagi tambahan perbedaan antara rakyat dan kepala daerah serta wakil-wakilnya ada pada bagaimana mereka bertahan. Terlebih dengan deraan pandemi global dan kenaikan harga bahan bakar, rakyat hidup dari hari ke hari. Adapun orang-orang yang menyebut dirinya wakil rakyat dan kepala pemerintahan hidup dalam siklus lima tahunan.
Tak ubahnya onggokan sampah, melalui perhelatan yang keabsahannya dijamin undang-undang dan sering disebut sebagai pesta demokrasi, suara rakyat dipungut melalui agenda pemilihan umum. Acara ini didanai penuh oleh APBN dan konon menggerakkan perekonomian secara nyata. Bahwa kemudian, karena sampah dan untuk itu harus dipungut, pemungutan suara tak lebih dari megaproyek yang ditujukan untuk merawat kesan bahwa demokrasi masih diakui kebenarannya, menjadi ideologi yang dianut dan negara beserta aparaturnya melaksanakan dengan sepenuh hati.
Dalam perhelatan lima tahunan itulah calon wakil rakyat, calon kepala daerah tingkat I dan II, hingga kepala negara mendapatkan kembali gairah sekaligus hak hidupnya. Sebagai konsekuensi logis dari kompetisi, tak heran bila segala cara ditempuh untuk memenangkan liga, apapun caranya. Dari menampilkan foto terbaik di baliho, safari keliling dengan pendekatan ke petani, kalangan papa dan terpinggirkan, komunitas dan perkumpulan apa saja, sampai pembagian natura berbentuk materi nyata yang terkait dengan kebutuhan pokok sehari-hari mereka jalani.
Keberuntungan atau nilai lebih bisa diperoleh bagi mereka yang saat ini masih menduduki kursi keterwakilan maupun kuasa. Legitimasi, akses dan sumber daya yang melekat dengan jabatan adalah nilai lebih yang bisa diandalkan dan tidak dipunyai oleh mereka yang masih merangkak naik dari garis nol atau berangkat dari hanya sekadar popularitas.
Dalam hitungan yang relatif “tak lama lagi”, sebagai bangsa, kita akan menjumpai event tersebut. Satu rutinan periodik yang untuk kesekian kalinya diselenggarakan. Secara kalkulatif, sulit bagi saya untuk bahkan sekadar berharap hadir atau terpilihnya calon yang memenuhi kriteria ideal. Bahwa pada akhirnya akan muncul dia atau mereka sebagai yang terbaik di antara (calon lain) yang jelek, yups! benar adanya. Namun, pemimpin dan wakil rakyat yang dengan karakteristik seperti ini pada gilirannya hanya akan mengulang ironi yang sama yang repetisinya tak terganggu-gugat bahkan oleh gelombang reformasi maupun riak-riak kecil melalui demonstrasi oleh mahasiswa, people power dan berpuluh gerakan lainnya.
Artinya, dalam satu keputusasaan yang kian kronis, saya hanya membayangkan terjadinya pergantian komposisi nama dan identitas dari mereka yang duduk sebagai pemimpin negara dan pemerintahan serta wakil-wakil kita. Secara jati diri, substansi pemikiran, pola kebijakan dan haluan yang menjadi tujuan masihlah pengulangan dari rongsokan yang sama; sebuah bahtera yang kebocorannya di sana-sini sengaja dipelihara bagi terjaminnya hajat hidup koloni zalim.
Bicara soal kriteria, diskusi panjang hingga perdebatan tajam bisa kita adakan. Namun dalam hemat saya, layaknya perbincangan tentang tragedi Duren Tiga, ada baiknya energi kita alihkan ke hal-hal lebih berdaya guna di tengah kenaikan harga-harga yang terus merangkak setelah diumumkannya “penyesuaian” harga BBM dua pekan lalu.
Saya justru menawarkan deretan panjang kisi-kisi mengenai siapa yang layak untuk kita tempatkan di kursi dewan perwakilan dan kepala negara maupun pemerintahan dari apa yang pernah Mbah Nun tuliskan di beberapa repertoar sekaligus pementasannya.
Bermaksud membatasi dengan tidak menghalangi eksplorasi, saya tetapkan karya beliau di kurun masa setelah 2006 dan lokus penampilan di Surabaya. Dari sini saja, kita dapatkan setidaknya 4 lakon yang telah disyiarkan. Mereka terdiri dari Tikungan Iblis, Presiden Balkadaba, Nabi Darurat Rasul Ad Hoc, dan Sengkuni 2019.

Dari keempat naskah di atas, secara literer maupun tambahan-tambahan karena tuntutan situasional panggung, akar ontologis kepemimpinan Indonesia (bahkan Nusantara) dikupas tuntas. Tak berhenti sampai di sana, pembahasan mengenai detail teknis menyangkut profil, persona individu, kapabilitas dan pendidikan, kematangan pribadi dan sosial, sampai ke urusan darah dan herediter bisa kita telusuri: siapa yang mestinya layak mencalonkan dirinya dan pada saat yang sama kita pilih untuk duduk di kursi sangat terhormat itu.
Seolah masih begitu banyak curahan ide dan niat baik yang mesti tersampaikan, Mbah Nun terus melahirkan karya juga naskah drama. Terakhir, adalah WaliRaja-RajaWali yang arek-arek Surabaya mendapat kemewahan berikutnya setelah Taman Ismail Marzuki mendapat kesempatan pertama. Alih-alih peluang untuk bisa menyaksikan dan mengambil begitu banyak pelajaran darinya, pementasan yang akan dihelat di Tugu Pahlawan, 23 September 2022 itu ibarat sajian komplet karena kehadiran KiaiKanjeng ditambah dengan sejumlah pelaku seni dari Komunitas Lima Gunung dan jangan lupa… tak ada HTM untuk masuk ke arenanya!
Murah karena berlimpah, tidak murahan saat lainnya larut di ketakberdayaan, pintar tanpa mengerutkan dahi, bijak tanpa menggurui…Ah, tanda pagar apa lagi yang dengan rasa hormat layak kita sematkan baginya, untuk beliau, mereka, semua dari kita!?