Arsenal Yang Sungguh Kosong Adanya

Oleh : Rio NS
Kehidupan sebagai satu kewajaran terus berlangsung. Orang tua yang ikut sibuk dalam perjuangan anak-anak mendapatkan sekolah, jalanan yang macet ketika akhir pekan atau saat libur karena tanggal merah, sederetan calon pembeli atau penonton yang antri untuk mendapatkan barang idamam atau film terbaru. Juga ribuan tenaga penjual yang berkeringat untuk mendapatkan pembeli bagi dagangannya, pekerja yang menghitung berapa sisa bisa didapatkannya dari upah dikurangi angsuran, acara televisi yang ditunggu ibu-ibu dan suasana bandara yang kian menjadi terminal karena kerumunan dan kotornya.
Tak ada yang aneh di sana. Tak ada yang perlu dirisaukan. Life just go on. Di tengahnya, pilihan kita hanya dua: ikut arus atau terhempas ke keterasingan diri yang memungkinkan tersulutnya kondisi psikotik.
Di atas sana, jonggring saloka yang sekian tahun ini gonjang-ganjing bukan karena ulah Semar atau para ksatria unjuk rasa melainkan lebih karena klesak-klesik sesama dewa, punya gaya dan irama hidupnya sendiri. Kaum terhormat itu cukuplah dekat, menyuarakan dan mengatsnamakan rakyat di putaran limatahunan sekali saja. Selebihnya, dengan tanpa ampun dan permohonan maaf, biarlah para kawula bertahan sebagai komoditi dan tentu saja aset investasi.
Jelaslah memang ancaman Utara, perang asimetris dan proxy yang oleh sedikit saja orang disadari datangnya tak lebih sebagai bentuk paranoid mereka yang kesepian, ditinggalkan kawan-kawan kerja dan persekolahan serta dipandang aneh oleh lingkungan. Ketakutan mereka tidak beralasan. Cenderung berlebihan dan pada taraf yang lebih tinggi menjadi ancaman. Bukan saja bagi kenyamanan jonggring saloka namun juga kehidupan ramai, common sense yang orang banyak sedang melakoninya.
Sebagai partikel yang merasa harus menerima perlakuan di-persona nongrata-kan oleh logika keramaian, saya yakini bahwa mereka dari kumpulannya yang terbuang tidak sedang meratap berkepanjangan. Dalam kesepiannya, orang-orang ini sedang membangun arsenalnya sendiri. Ruang besar yang tersembunyi, penuh kode-kode rahasia untuk membukanya itu, secara berkelanjutan terus mendapat pasokan amunisi. Kecanggihan persenjataan yang mereka miliki dan keandalan setiap personalnya dalam menggunakannya berkorelasi positif dengan hitungan waktu. Tak kalah penting, sejalan dengan segala perkembangan asesoris, fitur dan strategi yang dipunyai naga candik ala: kekuatan maha raksasa yang siap menelan jagat raya.
Kelak, atau tidak lama lagi, atau tidak akan pernah terjadi, sekelompok telik sandi menemukan semacam lumbung yang oleh alat penala mereka ditangkap sebagai arsenal. Gudang senjata tersembunyi. Pemberitaan di media mengatakan bahwa telah ditemukan artefak dari masa silam. Atau mungkin pemberitaannya menjadi “Sisa-sisa padepokan ilmu sesat yang ditinggalkan penganutnya”. Khalayak pun percaya buta karena, toh, tak punya mau terlebih energi untuk memvalidasi akurasi dan kebenarannya.
Telik sandi yang juga tentara sekaligus tenaga kerja manca itu mengobrak-abrik arsenal yang tak lebih dari kamar kost mahasiswa tak jelas perkuliahannya. Sebagai satu pihak yang merasa dititipi bagian kecil kata, angka dan suara dari deretan panjang kunci pembuka, saya hanya bisa tersenyum kecil. Yakin bahwa lorong panjang ke arah lumbung yang sejati tidak akan pernah ditemui, siapapun dia. Hal ini dimungkinkan karena proses coding-decoding atas kunci itu dilakukan sendiri oleh Maula Hasarapala* dan kawanannya. Dengan asistensi Smarabumi* yang kali ini “bolong” hatinya. Ah, sudahlah. Let time speak. Biarlah waktu membuka arsenal itu, yang sekilas tak berisi apa-apa kecuali angin, uap air dan debu.
* = Tokoh dalam Repertoar “Tikungan Iblis” Karya Emha Ainun Nadjib
*Nugroho R. Sanyoto (Rio NS) : Penggiat BangbangWetan. Menemukan keseimbangan diri pada musik rock dan sastra. Tak henti bersyukur atas karunia Maiyah dalam hidupnya. Bisa dihubungi di akun Facebook: N Prio Sanyoto