Kemajuan dan Hijrahnya Ke’malu’an
Oleh : Hendra
Kemajuan memaksakan dunia untuk manut, terlipat-lipat, tergulung oleh pembangun sistem, dari tangan-tangannya mengubah beberapa tatanan beberapa bidang kehidupan, memberikan efek serius pada kejiwaan manusia sebagai pelaku utama pengaturan pengolahan sumber daya alam ini (bisa dibilang pembuat peraturan bahkan bisa menjadi korban tumbal dari ulahnya sendiri). Praktik-praktik pengolahan perkembangan zaman seperti menyuruh kita untuk segera dan ndang–ndang harus memakai, harus mempunyai fasilitas yang ditawarkan.
Saya termasuk orang yang sangat mendukung kemajuan, baik kemajuan secara IT (dari segala bidang), ataupun kemajuan dalam cara pandang, tapi ketika onderdil, barang-barang pendukung hajat manusia itu hadir pada kalangan atau kelompok orang yang belum bisa mendewasai, dan tidak ada kontrol yang efektif dari pemegang kekuasaan maka akan mempengaruhi cuaca psikis manusia. Terjadinya pergeseran budaya sosial yang diakibatkan dari ketidakmampuan dirinya mengontrol perasaan, akal, nafsunya untuk memenuhi kebutuhan jasmani rohaninya. Lebih-lebih pada kemampuan manusia untuk mengontrol rasa “Malu”. Apakah, hari ini rasa malu kita sedang ber-hijrah ke arah ladang kemuliaan atau ke ladang jurang penghancuran peradaban?, sebenarnya untuk siapa kita malu?, benarkah ke-malu-an yang kita didik ini memang untuk kemajuan kualitas kebaikan hati atau malah membuat terguncangnya hidup kita? Apakah rasa “Malu” yang kita besarkan ini mampu membuat rendah hati kita meluas? Atau semakin membuat kepala kita penuh dengan keinginan yang mubadzir?
Kita bisa mendengar dari leluhur, bila zaman tahun bapak ibu kita, pergaulan antara laki-laki dan wanita sangat terbatas, jam 9 adalah waktu paling malam bermain, itupun diperhatikan oleh orang tua, karena masih ada halaman depan rumah dan sinar padhang bulan yang mencahayai ramai dolanan waktu malam. Bila sekarang, rata-rata anak sekolah dasar sudah mulai tidur larut malam, tidak malu dan seperti wajar mengenal fenomena pacaran, saya juga bertanya-tanya apakah pacaran itu budaya kita? Adalagi konsep pacaran baik, dan pacarn tak baik, wis iku lucu maneh. Semakin dewasa malah lebih aneh, yang katanya kalau dulu tempat yang gelap dan sepi ditakuti, tapi sekarang memang tempatnya sepi dan gelap tapi menjadi favorite area untuk berduaan, padahal tas sekolah masih dipundaknya, dimana perginya rasa malunya?.
Dulu anak-anak menjunjung tinggi tentang adab, tata krama, unggah-ungguh, tepa slira tapi sekarang apa yang terlihat, seorang ibu teman saya yang keturunan tiongkok memaparkan kegelisahannya tentang cara tutur bahasa anak-anak zaman sekarang katanya anak-anak semakin keras-keras, tidak beraturan, tidak sopan pada orang tua. Pun pada perilaku orang dewasanya. Mereka malu bila anak mereka tidak bisa menggunakan gadjet, malu bila anaknya mendapat nilai merah terus menurus pada mata pelajarn matematika, padahal siapa tahu anak berbakat pada pelajaran yang lain, tak ada manusia yang ahli dalam semua bidang kecuali atas kehendak-Nya. Orang tua tidak lebih malu kalau anaknya tidak sembahyang, tapi malu bila anaknya tidak mau sekolah. Padahal belajar juga bisa tak hanya di sekolahan.
Apalagi melihat perilaku dan gelagat para pemangku kekuasaan, semakin lama kok semakin lucu ya, atau semakin pilu hemmm…yang awalnya berniat baik mau menolong saudaranya, membantu merancang kebijakan angka-angka orang desa sampai kota (hlo ya iya to… wong mereka itu ya berasal dari rakyat kok) tapi mungkin sempat nglirik suga dunia, mau tidak mau saraf gelud mempertahankan iman dan ke-malu-an harus di uji, ada yang aman iman menang, tapi ya ada yang kasihan imannya gogrok. Uang rakyat di tilep, padahal niat pengirimnya buat keadilan dan kesejahteraan bersama, tapi malah dibuat keadilan dan kesejahteraan anggota maling golongannya sendiri. Rasa ke-malu-an itu lo kemana? Pergi kemana? Yang kebangeten itu uang buat ibadah haji, uang yang diniatkan untuk ibadah juga di-gashab, di-colong sithik-sithik. Itu bukan hanya orang berpendidikan lo, bukan hanya orang yang secara ekonomi tidak mampu, tapi ya sangat dihormati disegani lingkungannya, saraf serakahnya itu nggilani. Lalu kemana larinya rasa ke-malu-an mereka. Soal gadjet, sepertinya sudah tidak zamannya bila hari ini tak punya barang itu entah jenis dan ukuran, merk apapun. Tapi apakah wajib untuk menjadi kebutuhan? Dan mengutamakan itu dari pada menghiasi hatinya dengan yang llebih tidak kematerian. Dengan entengnya mengatakan “Zaman sudah maju mas, ya malu isin kalo gak duwe smartphone”. Dari bidang fashion, badhokan, lifestyle, konsep berpikir dll. Malu sangat malu bila tak mengikuti trendmark yang bergeliat masa ini.
Sudahkah kita sejenak berpikir merenungi kemana sebenarnya arah perjalanan rasa malu kita, sadarkah jika ke-malu-an kita sedang bingung dan terjerembab pada dunia yang membingungkan ini. Kemana harus kita letakkan rasa itu di zaman yang tergenangi ketidaktentuan ini?, atau kita harus mengambil jalan hijrah. Kalau begitu, kemana ke-malu-an kita harus berhijrah sedang tubuh masih terikat dalam aliran kepalsuan kemajuan. lalu malu yang seperti apakah yang sebenarnya dapat menentramkan jiwa kita?. Nabi kita mengingtkan pada hadistnya “Malu merupakan sebagian dari iman”. Disini “malu” didampingkan dengan iman karena orang yang mempunyai tingkat iman yang baik akan merasa malu untuk melakukan hal yang tidak baik atau maksiat, sehingga malu disini untuk membentengi diri untuk tidak merajinkan malu bukan untuk mengenyangkan pemenuhan kebutuhan diri dan pelampiasan pemuasan ke-gengsi-an semata.
Seharusnya malu memberikan efek takut akan terlihatnya aib-aibnya di mata manusia dan takut terhadap murka Allah. Tapi trend sekarang malah percaya diri menonjol-nonjolkan aibnya, tidak hanya dirinya, tapi mengajak orang lain membentuk komunitas per-aib-an untuk di-manage dan dilotre aib yang dimunculkan besok adalah aib yang mana. Sehingga mari kita sadarkan diri kita untuk pelan-pelan berpindah tempat, melatih rasa malu kita untuk berhijrah ke jalan yang lurus memposisikannya sebagai pemotivasi perbaikan iman kearah sisi-Nya.
Penulis bisa ditemui di : sunuwahyu@gmail.com