KONJUNGSI RANTAS (Reportase Bangbang Wetan Februari 2017)
- (Reportase.01/03/2017)
Perempuaan berambut pirang itu naik ke atas panggung bersama Kiai Muzammil, Pak Suko, dan Mas Sabrang pada malam berlangsungnya diskusi Majelis Maiyah BangbangWetan bertema ‘Konjungsi Rantas’, di Pendopo Taman Budaya Cak Durasim, Surabaya (12/2). Tamu berkebangsaan asing tersebut bernama Ibu Anne K. Rasmussen, seorang etnomusikolog. Di balik kesederhanaan penampilannya, tersemat gelar profesor dalam bidang musik dari University of California-Los Angeles, serta peran istimewa sebagai pimpinan William & Mary Middle Eastern Music Ensemble. Kefokusan dalam mempelajari musik Arab, membuat Bu Anne kerap terlibat kolaborasi dengan Cak Nun dan Kiai Kanjeng di berbagai pementasan. Oleh karena itu, atmosfer Maiyah sudah tidak asing lagi baginya. Secara personal, Bu Anne juga memiliki kedekatan dengan Cak Nun sekeluarga, termasuk Mas Sabrang. Lirik lagu-lagu berbahasa Inggris milik grup musik Letto, selalu dikonsultasikan ketepatannya kepada Bu Anne.
“Menurut saya, Cak Nun dan Kiai Kanjeng adalah contoh seni Islam yang kaya. Ada unsur spiritual, filosofi, ide-ide, persahabatan, dan juga banyak tawa.” komentar Bu Anne yang tak hanya mumpuni dalam bidang keilmuan, tetapi juga piawai memainkan alat musik gambus, seperti yang sempat beliau tunjukkan pada awal kedatangan tadi.
Malam itu, suasana Pendopo Cak Durasim semakin hangat, ketika Bu Anne yang mahir berbahasa Arab, didaulat untuk melantunkan ‘Sholli Wa Sallimda’, diiringi oleh grup musik Syair Langit. Selanjutnya, rasa hati Jannatul Maiyah kembali digetarkan oleh penampilan jamaah yang membawakan sebuah musik puisi karya Cak Nun, “Doa Sehelai Daun Kering”.
Memasuki pembahasan ‘Konjungsi Rantas’, Pak Suko menerangkan bahwa kata ‘konjungsi’ di sini memiliki konteks hubungan sosial kemasyarakatan. Bila digabungkan dengan kata ‘rantas’, yang bermakna sifat gampang putus dari tali/benda melilit lain, maka bisa ditarik kesimpulan bahwa tema kali ini membicarakan tentang hubungan sosial yang mudah putus.
“Kita menghadapi jaman dimana konjungsi-konjungsi atau hubungan-hubungan semakin banyak, tetapi makin rantas. Sebab, dalam berhubungan sosial, manusia telah kehilangan rasa.” ucap Pak Suko yang kali ini tampil sebagai narasumber. Selain hilangnya rasa, hilangnya konteks komunikasi dan ketidaktepatan pengelolaan fungsi alat komunikasi (gadget) juga dapat menyebabkan benturan-benturan sosial dan membuat hubungan menjadi rantas.
Mas Acang menyambung, bahwa ada pergeseran hubungan sosial kemasyarakatan, mulai dari lingkup keluarga sampai dengan negara. “Sangat terlihat dari sistem perniagaan tradisional yang berdasarkan saling percaya, bergeser ke sistem moderen yang berkonsep saling setor hak dan kewajiban, bukan lagi karena saling percaya. Apakah hubungan sosial akan kolaps?” Berikut pertanyaan Mas Acang memancing diskusi.
Pemantik dari Pak Suko dan Mas Acang tersebut senada dengan hasil diskusi pembuka, sebelum Bu Anne mewarnai suasana panggung tadi. Berangkat dari mengamati perubahan masa lalu dan masa sekarang, Jannatul Maiyah menyoroti tergusurnya permainan tradisional oleh gadget yang dinilai sebagai salah satu akar perusak indahnya atmosfer hubungan sosial masa lalu. Seorang jamaah dari Blitar mengelompokkan fenomena perubahan hubungan sosial ini dalam 3 jenis; perubahan rasa aman (anak-anak tak lagi aman saat berada di luar rumah, baik karena ancaman secara fisik maupun kontaminasi negatif), perubahan kepercayaan (krisis kepercayaan yang meluntur antar tetangga, sebab rasa saling percaya digantikan oleh rasa saling waspada), perubahan daya juang (kecenderungan menyukai hasil instan mengakibatkan keengganan berusaha bila menghadapi kesulitan). Kemajuan teknologi, meminjam istilah Mas Rio, seolah sengaja menggiring manusia dari sifat komunal menuju individual.
- Mengidentifikasi Sebab-Akibat dan Menyikapi Perkembangan Teknologi
“Sebelum menyimpulkan dan memetakan masalah, kita harus berhati-hati dengan yang namanya alur sebab-akibat. Jangan sampai salah identifikasi, gara-gara hal tersebut.”
Itulah salah satu poin yang disampaikan Mas Sabrang mengenai fenomena yang marak dijumpai dalam kehidupan sehari-hari, yaitu kegagalan melogika suatu masalah, sehingga menghasilkan kesimpulan yang tidak tepat, dan jika ditarik lebih lanjut, bisa me-rantas-kan hubungan sosial.
Mas Sabrang membandingkan dua alur logika lewat ilustrasi obrolan ringan yang dimulai dengan fakta adanya sebuah akuarium. Singkat kata, obrolan pertama memiliki alur fakta yang jelas, sehingga menghasilkan kesimpulan yang benar, yaitu sang pemilik akuarium bukanlah seorang homo. Sementara pada obrolan kedua, alur fakta dipotong begitu saja.
“Kamu punya akuarium? Kalau punya, berarti kamu bukan homo. Kalau tidak punya, berarti kamu homo.” tutur Mas Sabrang, disambut gelak tawa jamaah. “Berlogika dengan memperhatikan pangkal dan ujung fakta saja, malas mengurut alur fakta, kadang-kadang menyebabkan salah kesimpulan.”
Berkali-kali Mas Sabrang menekankan kehati-hatian dalam memetakan masalah. Bahkan keberadaan dua fakta yang saling bersambungan, belum tentu merupakan hubungan sebab-akibat. Bisa jadi dua-duanya merupakan akibat dari suatu sebab yang sama, seperti dalam contoh hubungan antara katak dan hujan.
“Apakah bunyi katak bisa menyebabkan hujan? Kita yang telah memahami, tentu tahu. Hujan turun karena memang musim hujan datang. Suhu, kelembaban, dan tekanan udara berubah. Katak bereaksi terhadap perubahan tersebut, sehingga manusia pun bisa memprediksi datangnya hujan dari bunyi katak.”
Menginjak pembahasan perkembangan teknologi yang dianggap juga berkontribusi pada mudah putusnya hubungan sosial, Mas Sabrang berpendapat, bahwa kemajuan teknologi bukan mempengaruhi manusia, namun membuat bakat-bakat manusia tidak semula tidak mudah tersalurkan, menjadi lebih mudah tersalurkan.
“Misalnya, kamu melihat pacarmu berboncengan dengan lelaki lain. Karena ada kemudahan teknologi, langsung saja kirim pesan WA (Whatsapp), melontarkan tuduhan, tanpa berpikir lebih panjang dulu.” Mas Sabrang memberi contoh. Tak dapat dipungkiri, keberadaan teknologi memang dapat memperbesar kemungkinan friksi sosial, karena sifatnya yang semakin memperpendek rentang antara apa yang kita pikirkan dan apa yang kita lakukan. Akibat pendeknya rentang tersebut, tak ada lagi situasi yang mengondisikan seseorang menimbang sebelum bertindak.
“Jakarta adalah ibukota Twitter, salah satu kota di dunia yang paling aktif Twitter-nya. Di Eropa, rata-rata orang menggunakan Twitter untuk adu gagasan. Di Amerika, rata-rata Twitter digunakan untuk mobilisasi atau saling menyinkronkan ide. Sedangkan di Indonesia, Twitter digunakan untuk mengumumkan agenda sehari-hari.” Mas Sabrang tengah menunjukkan potret bagaimana masyarakat dunia merespon perkembangan baru teknologi dengan cara masing-masing, sebagai upaya menemukan keseimbangan baru. Bahasan teknologi ditutup oleh pertanyaan renungan, “Dalam interaksinya dengan teknologi baru, apakah Indonesia sedang menuju keseimbangan baru yang baik atau tidak baik? Bila tidak baik, berarti akan punah.”
- Benda-Benda Langit: Cerminan Kehidupan di Bumi
Kiai Muzammil memilih sisi elaborasi yang berbeda dari Mas Sabrang mengenai tema. Sesuai prinsip yang sering beliau ucapkan seraya berkelakar di berbagai kesempatan diskusi sebelumnya, “Mas Sabrang bumi, saya langit. Mas Sabrang NU, saya Muhammadiyah.” Guyonan antara Mas Sabrang dan Kyai Muzammil ini selalu mampu meramaikan suasana meskipun sudah berkali-kali diutarakan oleh keduanya.
Berdasarkan Ilmu Falaq, menurut Kiai Muzammil, istilah konjungsi sepadan dengan kata ijtima, yaitu ketika bulan dan bumi berada pada satu garis. Sebagaimana benda-benda langit yang memiliki gerak ritmis semacam konjungsi, sesungguhnya perilaku manusia di bumi pun sama. Manusia berkonjungsi ketika sholat, meluruskan diri (berada pada satu garis) menghadap kiblat. Revolusi adalah ketika manusia berhaji dengan ber-thawwaf mengelilingi Ka’bah. Sementara, pusat tata surya, yaitu matahari, menjadi representasi Allah yang merupakan pusat dari segalanya. Konflik sosial terjadi, ibaratnya, benda-benda langit bertabrakan akibat tidak adanya kesadaran revolusi, rotasi, dan keberadaan pusat tata surya. Berkaitan dengan elaborasi tersebut, Mas Acang menyimpulkan, bahwa kesadaran berotasi bisa diartikan sebagai pengetahuan pribadi, dan kesadaran revolusi diartikan sebagai kesadaran sosial.
“Konjungsi adalah pertemuan pada satu garis. Maknanya, silakan berbeda-beda (pendapat), tetapi motivasinya harus sama (satu garis), yaitu ingin menangkap cahaya matahari sebagai pusat tata surya; dalam hal ini, cahaya Allah.” Kiai Muzammil menggarisbawahi.
- Memahami Batas, Memperkuat Paseduluran
Konjungsi adalah sambungan kepercayaan manusia pada satu sama lain. Selama 71 tahun merdeka, Indonesia mengalami kehancuran terbesar pada konjungsi kepercayaan antara yang satu dengan yang lain, juga kepercayaan antar lapisan masyarakat. Semua merasa benar terhadap pendapatnya sendiri, ucap Mas Sabrang. Padahal, salah satu kekuatan Indonesia adalah kemauan untuk srawung atau bersaudara satu sama lain. Dari zaman dahulu, di Indonesia telah dibentuk RT, RW, Dukuh, Desa, hingga Negara, yang dilatarbelakangi oleh kekuatan kepercayaan terhadap satu sama lain secara kekeluargaan.
“Kita harus kembali kepada saling percaya, saling menghargai, dan toleransi satu sama lain. Saling memberi kesempatan terhadap orang lain untuk membuktikan hipotesisnya (kebenarannya) sendiri. Menjadi society yang saling mendukung keluarga besar masyarakat Indonesia. Kita mulai dengan Maiyah. Keluarga besar Maiyah harus serius dalam membangun paseduluran.” Demikian kalimat penutup dari Mas Sabrang.
Red: Tim ReportaseISIMBangbangWetan / email ; redaksi@bangbangwetan.org