Mencintai Seorang Feminis
Mencintai Seorang Feminis
Oleh: Wida Purnama*
Adalah Gita Savitri Devi, seorang vloger influencer yang baru-baru ini menjawab keresahan dan kegelisahan saya mengenai isu prokontra feminisme. Dalam unggahan video terbarunya, Gitasav, begitu para fans menyapa beliau, memaparkan pendapat komprehensif tentang manuver baru di dunia maya sebagai bentuk kontradiksi dari gerakan feminisme—yaitu Indonesia Tanpa Feminisme. Dua kaum ini menimbulkan klasifikasi baru dalam entitas perempuan di Indonesia. Jadi boleh dong dengan bercanda saya membagi perempuan di Indonesia sekarang menjadi tiga kategori: feminis, awam, dan antifeminis. Yang awam kita diamkan terlebih dahulu. Marilah kita ulas dua kubu ekstrem yang sedang bergolak dan mejadi objek perenungan saya beberapa waktu belakangan.
Feminisme sebetulnya sudah ada sejak lama di Indonesia. Kehadiran feminisme sebagai paham yang membela nilai-nilai keperempuanan sering dibenturkan dengan berbagai paham lain yang juga berkembang di negara kita. Pembenturan inilah yang menjadikan isu mengenai feminisme selalu ramai, terutama jika yang ditabrakkan dengan feminisme adalah agama. Seiring berjalannya waktu, jika kita mengamati pergerakan feminisme di dunia maya, baik IG, twitter, bahkan diskusi-diskusi tentang isu feminisme, titik tumpu dari paham ini kian jadi abu-abu. Awalnya saya persetan dengan feminis atau tidak feminis, toh membela kemanusiaan tetap bisa dilakukan tanpa memproklamirkan diri menjadi keduanya, bukan? Tetapi ketika suatu paham yang dimaknai semu oleh masyarakat dibenturkan dengan banyak hal sensitif yang memicu perpecahan, tentu hal ini kemudian menjadi PR kita bersama untuk setidaknya berpikir: kudu yaopo diriku, Tuhan?
Telah populer di literatur virtual bahwa gerakan feminisme dimulai pada abad ke-18. Mary Wollstonecraft, seorang filsuf dan feminis Britania Raya di abad tersebut, bersuara mengenai peran perempuan yang didiskriminasi pada masa Revolusi Perancis. Ada pula literatur yang mengatakan bahwa feminisme sudah eksis pada abad ke-17 di Eropa. Dilatarbelakangi oleh protes para perempuan terhadap kemutlakan hukum gereja yang bisa saya ringkas: perempuan merasa terhegemoni dengan keadaan yang diatur gereja, di mana gereja berperan sebagai pemegang kekuasaan tertinggi. Tokoh yang bersuara atas hal tersebut adalah Simone de Beauvoir.
Berkembang, berkembang, dan berkembang hingga sampailah perkembangan feminisme modern di Amerika Serikat pada tahun 1960. Nah, pada perjuangan feminisme di tahap inilah muncul tokoh feminis: Virginia Wolf yang karya tulisnya mendunia. Wolf dan nawak-nawaknya mulai memperjuangkan peran perempuan terkait dengan hak-hak sipil dalam masyarakat, pendidikan, dan politik. Feminisme kemudian berkembang di banyak negara dengan lika-liku dan prosesnya yang tidak gampang. Hingga sampailah ia ke Indonesia Raya ini sodara sekalian.
Perjuangan R.A. Kartini, yang populer dengan emansipasi merupakan tonggak bersejarah yang menandai terpatrinya benih feminisme dalam kultur Indonesia. Sejak SD, kita tahu, saat itu Ibu Kartini berjuang agar perempuan dapat mengenyam pendidikan sama seperti kaum pria. Sampai di sini, apa yang salah dari perjuangan itu? Tidak ada bukan? Oke, lanjut! Ide besar seorang Ibu Kartini adalah mengangkat derajat perempuan tentunya bukan untuk perang melawan lelaki tetapi saya yakin perjuangan itu ditujukan agar perempuan lebih memiliki arti, makna, setidaknya bagi dirinya sendiri. Pramoedya Ananta Toer, dalam Bumi Manusia, memotret fenomena ketidaksetaraan perempuan di negara kita dengan implisit dan indah. Dengan ketakjuban seorang Minke pada pola hidup Nyai Ontosoroh, pada pegawai-pegawai Nyai Ontosoroh yang—perempuan, Jawa, tetapi bekerja, dan berpendapat. Jika kita mau berpikir lebih dalam, mengapa Minke bisa setakjub itu melihat perempuan tidak hanya mengurus dapur, kasur, sumur di rumah? Ya, karena di lingkungannya mayoritas perempuan hanya melakukan pekerjaan rumah tersebut.
Sejak masa yang telah jauh itu, feminisme terus mengalami dinamika, hingga definisi feminisme sendiri tidak hanya saklek berdiri sebagai kemutlakkan. Dalam Feminist Thought, Rosemarie Putnam Tong memilah feminisme ini menjadi hakeh. Ada feminisme liberal, ada yang radikal, feminisme marxis dan sosialis juga ada, psikoanalisis dan gender—ada, feminis yang eksistensialis—ada, postmodern, multikutural, global, hingga yang berbentuk ekofeminisme juga ada, gaes. Di dalam sub-sub itu juga mungkin kadar masing-masing feminisnya amat banyak, berlayer-layer macam bolu artis. Jadi kita tak boleh memandang feminis yang beragam itu dengan satu sudut pandang saja. Kita harus melihat wilayah kompleks feminisme secara lebih dekat dan komprehensif untuk berani mengatakan uninstall feminism!
Suatu hari, saya pernah membuat seorang rekan kerja tersinggung karena membahas feminisme. Rekan kerja saya ini laki-laki dengan tampilan dan atribut yang saya rahasiakan aja ya gaes, supaya tidak rasis. Saya sedang scrolling IG akun feminis kala itu dan kegap sama desye. “Wah, feminis rek! Ati-ati lho, kebablasen! Dadi gak butuh bojo samean mengko!” Saya letakkan hengpong, membenarkan tempat duduk, lalu saya tanya maksudnya. Dengan tegas dia memaparkan statemen sak umbyuk yang intinya: sebagai lelaki dia antifeminisme. Feminisme itu liberal katanya. Mendukung LGBT terusnya. Menciderai nilai-nilai agama, pungkasnya sambil emosi dan menyisakan panir dalam perasaan saya. Padahal dia tak benar-benar tahu kalau saat itu saya buka-buka akun feminis cuma ingin nginceng dunia mereka saja.
Tetapi kemudian saya jadi berpikir, berapa orang ya yang pikirannya seperti teman saya itu? Berapa manusia—laki perempuan atau bahkan perempuan dengan perempuan—yang kemudian bermusuhan karena permasalahan ini? Salah kaprah penilaian tentang feminime tersebut kini telah hype di kalangan masyarakat. Akun Indonesia Tanpa Feminisme yang sempat saya senggol dengan tayangan analisis Gitasav di awal artikel ini adalah satu bukti bahwa misconception sedang terjadi. Dan sekali lagi, yang membuat saya tergerak bukan soal feminis atau antifeminis tetapi perpecahan menjadi dua kubu yang mungkin itu terjadi hanya karena kesalahpahaman saja. Kan eman akutuh. Bukan golongan mereka yang saya permasalahkan, tetapi berpihak pada keharmonian tentu akan menjadikan kita lebih tenang hidup berdampingan dalam perbedaan dan toleransi. Sedulur dewe gaes, mosok gelut?
Lalu, apa Indonesia Tanpa Feminisme ini? Beberapa hari belakangan saya mencoba meneropong pergerakannya di IG (Kurang gawean, Mbak? Bhaaah! Sak-sakku, kuota-kuotaku). Pada awalnya, konten dari akun ini baik-baik saja. Belum terlampau provokatif meski sudah banyak serangan di kolom komentar. Hingga pada suatu malam, sambil selonjoran dan stalking, ketemulah saya dengan adegan blunder. Akun tersebut mulai melayangkan provokasi: mengejek kaum feminis dan feminismenya bahkan mengejek R. A. Kartini secara frontal. Stalking jadi makin gayeng. Yang saya baca dari gerakan ini adalah mereka sekumpulan kaum yang resah atas kehadiran feminisme, menganggap feminisme akan berpotensi merobohkan nilai-nilai Islam di Indonesia, dan merasa insecure jika suatu saat feminisme dapat mengontrol pemerintah. Demikian itu karena memang kaum feminis adalah kaum yang mendobrak tabu, memelihara pemikiran kritis, berupaya mengajak perempuan untuk mandiri dan mencintai dirinya, sehingga dapat memberi makna dan kesan bagi eksistensinya sebagai perempuan.
Dalam gerakan mendobrak tabu itu, feminisme seringkali bertutur mengenai seksualitas dan teori kesadaran tentang hak milik tubuh. Feminis memang kerap berbicara mengenai pengetahuan seksualitas secara terbuka guna memberikan pendidikan seks pada kaum perempuan dan laki-laki. Pendidikan seks itu penting, gaes dan kita terlanjur hidup di masyarakat yang menganggap seks adalah porno. Al hasil kita kelabakan dengan AIDS, kanker serviks, dan penyakit seks menular lainnya. Tidak berpikirkah hal itu terjadi sedikit banyak atas pengetahuan seks yang terbatas karena ngomongin seks selalu dianggap tabu dan cabul.
Lalu apa pentingnya teori kesadaran atas hak milik tubuh? Ya untuk berdaulat. Kita memang berhak lho atas tubuh kita sendiri, tetapi jangan buru-buru dibenturkan dengan agama, malah agama bisa sebagai tuntunan untuk menentukan kedaulatan tersebut. Misal: tubuhku milikku, jadi aku mau nato fulbodi tubuhku ngarep mburi isor nduwur biar aku puas! Kalau hanya pakai pandangan itu lak nggakpapa kan? Sekarep. Tapi beda lagi konsekuensinya ketika kamu pemeluk agama. Agama punya tatanan dan aturan yang dogmatis. Saat memiliki keinginan begitu nilai agama tentu akan berbisik: Duhai hamba yang rebel, kalau mbok tato, nanti air wudhu jadi kalis lho sama kulitmu. Mbok ya ndak usah tatoan, ndak tatoan juga tidak pathek’en bukan? Lalu anda memutuskan untuk tidak jadi pakai tato secara daulat melalui pertimbangan panjang. Mana ada benturan feminisme dengan agama kalau demikian? Yang ada pola pikir atas agama dan daulat tubuh ini berkelindan dengan indah dalam permenungan kita. Malah ngeblend kan jadinya? Bukan bentrok.
Saya lanjutkan, kali ini tentang pandangan aborsi, masih dari temuan di IG. Diawali oleh akun Indonesia Feminis yang meng-credit infografis dari media online Mubaadalah dengan konten: Apakah aborsi diperbolehkan dalam Islam? Boleh, Jika… kemudian konten ini masih diperjelas dengan beberapa slide infografis secara rinci baik dari segi urgensi dan tendensinya. Tapi pendapat itu kemudian dikritisi oleh Indonesia Tanpa Feminis, dengan pernyataan bahwa feminis berupaya melakukan legalisasi aborsi melalui UU Kesehatan. Selain itu, ke-blunder-an mereka berlanjut dengan memposting pencapaian feminisme untuk UU no 7 tahun 1984 tentang konvensi mengenai penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap wanita. UU tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga dan tentang perlindungan anak juga dipostingnya sebagai ancaman dari keberadaan feminisme. Lah yaopo? Apakah adminnya ngantuk? Kan lucu.
Sebetulnya provokasi di dunia maya itu amat lumrah terjadi saat ini, terlebih kita memang sedang dalam masa perang ideologi dan kekarutmarutan politik identitas. Namun, yang membuat saya sedih adalah mengapa harus nama Islam yang mereka bawa untuk menanam kebencian dan perpecahan? Prokontra semacam ini nampak sepele namun sangat menganggu jika dipikirkan. Belum juga reda perpecahan netijen karena Syahrini dan Luna Maya, kini mereka dipecahbelahkan lagi oleh feminis dan antifeminis. Padahal kita berada di negara yang sama, bahkan mungkin di antara mereka yang bertikai beragama sama, yang seharusnya saling mengasihi.
Sebagai konklusi, barangkali pitutur Mbah Nun boleh saya masukkan di bagian ini. Dinukil dari Daur 1: Anak Asuh Bernama Indonesia—Semua lelaki adalah Adam yang mengandung Hawa. Semua wanita adalah Hawa yang mengandung Adam. Keduanya adalah khalifah dan yang pertama mereka khalifahi adalah manajemen internal dirinya sendiri. So, barangkali saat ini ketidakadilan pada perempuan belum sepenuhnya bisa dihapus. Akan tetapi, kehadiran dan peran feminisme di negara kita janganlah kita kebiri begitu saja hanya karena perasaan sentimentil. Sebelum mendebat feminisme, luruskan dulu, aliran feminismenya apa, landasan sejarah kaumnya seperti apa, apa spirit yang ingin disuarakan—hendaknya kita bangun dulu pengetahuan barulah njeplak. Literatur mengenai feminisme sudah amat banyak menghias angkasa. Komunitas feminis juga tidak hanya satu di Indonesia, cobalah untuk tabayyun dahulu pada mereka, tanpa berburuk sangka.
Kita jangan menjadi kerdil dan seenak jidat membenturkan suatu paham dengan moral, sosial, apalagi agama. Jika Islam memuliakan perempuan, feminisme juga memperjuangkan keadilan, kesejahteraan, dan kesetaraan bagi kaum hawa kok. Feminis sejatinya melawan dominasi maskulinis dan sistem patriarki yang kurang manusiawi. Demikian juga matriarki bahkan feminisme sendiri juga berpotensi tidak manusiawi jika berlebihan dan grasa-grusu. Lantas apanya yang salah? Bukankah perbedaan itu wajar? Ada perempuan yang mati-matian membela ke-feminisme-annya, ada perempuan yang mati-matian menggugat feminisme itu sendiri, tapi ingat ada juga perempuan yang tak sempat memikirkan keduanya bahkan tidak merasa jika dia tertindas karena dia lebih butuh uang daripada ideologi, karena rasa takutnya lebih besar dari itu semua. Namun, di antara perbedaan tersebut sudah tidak bisakah kita untuk saling mencintai atas nama kemanusiaan?
*Penulis berasal dari Magetan. Dapat disapa melalui akun IG @purnamawida.