Kolom Jamaah

Merumuskan Keberlangsungan Maiyah untuk Nusantara

Oleh: Imroah

 

“Maiyah bukan materiil, Maiyah itu ruh: sifatnya ruhaniyah. Jadi, Maiyah tidak boleh jadi parpol, tidak boleh jadi madhab, tidak boleh jadi aliran. Maiyah hanya berada di hatimu yang penuh cinta dan pikiranmu yang cerdas itu. Sampai mati pun aku tidak rela.”, ucap Mbah Nun untuk penggiat Maiyah di Kayoon Haritage, Jumat (25/11).

Penggiat BangbangWetan mendadak mandapatkan informasi bahwa Mbah Nun akan bertandang ke Surabaya untuk Sinau Bareng. Setelah pada siang sebelumnya beliau sempat menggelar Sinau Bareng di Gor Wahana Ekspresi Pusponegara, Gresik. Sejak pukul 14.30 WIB penggiat BangbangWetan berbondong mempersiapkan acara. Tempat seadanya dan personel terbatas tidak lantas menyurutkan semangat untuk menyiapkan acara. Mulai dari menyiapkan tempat yang akan digunakan, membersihkan ruang transit, menggelar karpet, dan memasang sound system. Cuaca yang biasanya mendung, hujan, bahkan hujan petir, malam itu sangat cerah. Seolah bumi merestui perjumpaan Mbah Nun dan anak-cucunya untuk melepas rindu setelah lama tidak membersamai di BangbangWetan.

Malam itu, sesepuh BangbangWetan membersamai Mbah Nun, Pak Nuh (Menteri Pendidikan periode 2009–2014), dan Pak Darmaji (dosen ITS) untuk menggelar sinau bareng. Sinau bareng bertema “Pertemuan Segitiga Cinta” yang saat itu dimoderatori oleh Mas Aminullah. Moderator mengawali dengan pengantar berupa pemaparan hikmah untuk kehidupan sehari-hari; termasuk mengambil hikmah dari pertemuan sinau bareng kali ini. Mbah Nun yang merespons pengantar tersebut menjelaskan tentang kata hikmah yang berasal dari “hakama, yahkimu, hukman, wahuwa hakimun, wahakamahkumun”, di tengah ada masdar namanya hikmah. Disebut juga dalam Al-Quran yakni Surah An-Nahl: 125 yang berbunyi “ud’u ilaa sabiili rabbika bilhikmati waalmaw’idlati hasanah,” yang artinya: “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.”

Kata ud’u harus dimaknai dengan seluas-luasnya; serulah atau panggillah. Dalam hal ini Mbah Nun menyampaikan bahwa peristiwa memanggil itu sangat luas. Bukan hanya tentang dakwah, namun dalam segala hal adalah seruan atau panggilan. Tidak akan terjadi sesuatu hal tanpa ada seruan atau panggilan dari Allah Swt. Misalnya mendapatkan jodoh, memilih sekolah, serta memilih teman adalah proses sabil atau jalan. Sebenarnya hidup itu adalah hijrah. Jadi memanggil yaitu memindahkan sesuatu ke sesuatu lain. Allah pun tidak mengatakan bil haqqi ataupun bil qoiri, namun bil hikmah. Sehingga apapun yang dilakukan harus berpijak pada kebijaksanaan dan/atau hikmah.

Five Mind for The Future

Pada kesempatan ini Pak Nuh juga dipersilakan untuk merespons. Beliau menyampaikan beberapa kehawatiran terhadap masa depan yang semakin complexity; keadaan semakin complicated. Artinya masalah akan semakin rumit dan ilmu pengetahuan yang selama ini ada belum mampu menjangkau sociality atau dalam arti kata lain masalah muncul terlebih dahulu kemudian baru ilmu pengetahuan. Menurut Pak Nuh, sinau atau belajar adalah kunci untuk merumuskan jawaban atas kompleksiti masalah yang terjadi. Budaya yang terjadi di Maiyah adalah Sinau Bareng di mana kegiatan ini adalah ciri khas dari budaya modern.

Ada beberapa hal yang disampaikan Pak Nuh sebagai bekal Jamaah Maiyah yang sebenarnya juga sering kali disinggung oleh Mas Sabrang, yakni lima pola pikir yang digagas oleh Howard Gardner dalam bukunya five mind for the future. Gardner merupakan pakar psikologi yang dikenal karena memperkenalkan teori kecerdasan majemuk atau multiple intelligences. Pola pikir itu meliputi Pertama, Disciplined Mind (pikiran terdisiplin) adalah pikiran yang berbasis pada disiplin ilmu. Misalnya mempunyai keterampilan menjahit maka tekunilah bidang menjahit, apabila mempunyai ketempilan komputer maka tekunilah komputer, dsb. Dalam Maiyah kalimat ini sering disampaikan Mbah Nun dan Mas Sabrang yakni “jadilah ahli dalam bidangmu”.

Mbah Nun bersama Pak Nuh

Namun pada zaman sekarang ini Disciplined Mind saja tidak akan mampu menyelesaikan masalah yang kompleksiti ini. Maka diperlukanlah Synthesizing Mind (pikiran mensintesa) untuk menyerap informasi dari berbagai sumber ilmu lalu meramu dalam satu pengetahuan baru. Misalnya dalam dunia digital saat ini yang banjir informasi sampah atau junk information, maka diperlukan filter untuk menyaring informasi yang tumpah-ruah. Seperti contoh, apabila kita memotret kemiskinan, tidak dapat hanya dilihat dari kacamata ekonomi saja. Namun, juga harus dilihat dari banyak aspek; sosiologi, kesehatan, psikologi, dsb.  Kemampuan memilih, memilah, dan menyajikan dalam prespektif baru adalah bentuk Synthesizing Mind yang harus dibangun dan ditularkan seluas-luasnya.

Ketiga, Creating Mind (pikiran mencipta) yakni untuk menjawab sesuatu yang baru dan sudah pasti berbeda. Artinya cara berpikir baru atau pola pikir baru dapat menjadi opportunity agar dapat menjawab kompleksiti di masa ini. Namun sebenarnya Creating Mind juga dapat menimbulkan masalah baru apabila tidak dapat membijaksanai pikiran-pikiran baru itu. Maka diperlukan ketajaman memandang. Di Maiyah untuk menanggulangi hal ini sering kita kenal dengan banyak pandang; ada jarak pandang, sudut pandang, sisi pandang, resolusi pandang, maupun lingkar pandang. Jika boleh mengutip bahasa Mas Sabang dalam rutinan BangbangWetan kemarin “Creating Mind” dapat menjadi pahlawan dan penjahat dalam waktu bersamaan; menjadi superman dan joker di satu waktu, jika tanpa kejelian atau ketajaman dalam memandang sesuatu.

Keempat, Respectful Mind (pikiran merespek) yakni melihat perbedaan dengan sewajarnya, tidak menaruh curiga (menghormati perbedaan). Menurut Pak Nuh, Mbah Nun adalah figure payung yang dapat ngemong segala perbedaan yang terjadi. Dapat dikatakan, Maiyah telah belajar dan mengalami hal itu. Sebagai contoh dari golongan, partai, kelompok, bahkan orang yang “gak bek” kita perlakukan sama. Tidak membedakan antara satu dan lain, semua diperlakukan dengan adil. Karena Allah Swt. sendiri berfiman dalam surah An-Nahl ayat 90: Innallāha ya`muru bil-‘adli wal-iḥsāni wa ītā`i żil-qurbā wa yan-hā ‘anil-faḥsyā`i wal-mungkari wal-bagyi ya’iẓukum la’allakum tażakkarụn. Artinya, “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi bantuan kepada kerabat, dan Dia melarang (melakukan) perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran”.

Kelima, Ethical Mind (pikiran etis). Menurut Pak Nuh ini merupakan etika juga sangat diperlukan. Seperti yang disampaikan Pak Nuh bahwa etika ini adalah hikmah, sebab tanpa dapat membijaksanai atau menghikmai suatu hal yang terjadi adalah perpecahan, pertengkaran, saling curiga, dsb. Q.S. Al-Fajr: 27-30, “Yaa Ayyatuhan Nafsul Muthmainnah, Irji’i ilaa rabbiki raa dhiyatam mardhiyyah, Fadkhuli fii ‘ibadi, wadkhuli janaati”. Artinya: “Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang ridho dan diridhoi-Nya. Maka masuklah ke dalam golongan Hamba-hambaKu. dan masuklah kedalam surga-Ku.” Sedari itu, jika tanpa memaknai dengan hikmah tidak ada damai atau tenang (mutmainnah); dalam “puisi Melodia” Mbah Umbu Landu Paranggi “hikmah pengertian pelipur damai”.

Ikhtiar Maiyah untuk Nusantara

Jika Pak Nuh mengatakan Mbah Nun adalah payung peneduh; Mbah Nun mengenalkan konsep Maiyah “manusia ruang”. Tidak dipungkiri konsep manusia ruang adalah salah satu jawaban atas kepelikan Nusantara, mengutip kalimat Pak Nuh tadi adalah terjadi kompleksiti masalah. Manusia ruang yang sejatinya menampung semua perabot; dalam konteks ini adalah pemikiran, ide, gagasan, aliran, mathab, firqoh, dan lain-lain untuk dinaungi dalam kebesaran hati dan keluasan pikiran. Menjadi manusia ruang ini, Mbah Nun secara tidak langsung mengharamkan kepada semua penggiat menjadikan maiyah sebagai materiil dan administratif. “Maiyah bukan materiil, Maiyah itu ruh: sifatnya ruhaniyah. Jadi, Maiyah tidak boleh jadi parpol, tidak boleh jadi madhab, tidak boleh jadi aliran. Maiyah hanya berada di hatimu yang penuh cinta dan pikiranmu yang cerdas itu. Sampai mati pun gak rela, tak uber kon”, ungkapan beliau mengingatkan para penggiat untuk selalu pada garis pemikiran yang satu.

Konsep manusia ruang ini juga seperti yang diajarkan Nabi Muhammad saw. Pada masa beliau memimpin, tidak ada paksaan sekali pun kepada pemeluk agama lain untuk memeluk agama Islam. Beliau mengajarkan untuk senantiasa berpegang teguh pada tali Allah; dalam hal ini output yang dikeluarkan adalah kebijaksanaan untuk meruang. Allah juga menyebutkan dalam Surah Ali-Imron ayat 103, “Wa’taṣimụ biḥablillāhi jamī’aw wa lā tafarraqụ”. Artinya: “Dan berpegangteguhlah kamu semuanya pada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai”. Wa lā tafarraqụ pada terjemah Maiyah diartikan dengan jangan membut firqoh-firqoh yang dapat mengakibatkan cerai-berai. Maiyah telah mengajarkan bahwa kebijaksaan untuk tidak memaksakan kehendak; salah satunya terhadap agama dan tidak membuat firqoh ataupun aliran baru yang dapat mengakibatkan perpecahan adalah mutlak atau wajib a’in. Pun juga dalam bernegara Nabi Muhammad mencontohkan pada Piagam Madinah tidak ada konsep materiil atau administratif yang “ndakik-ndakik” dalam penyusunannya. Semua atas dasar kesepakatan bersama artinya meskipun Piagam Madinah tertulis secara formal, namun dalam pelaksanaannya “meruang”.

Secara tidak sadar konsep meruang ini juga ditarik Mbah Nun ke dalam pemahaman makrifat, hakikat, tariqah, serta syariat. Menurut pemahaman banyak orang, makrifat merupakan puncak pencapaian dan syariat merupakan tingkatan terendah dalam perjalan manusia berislam. Makrifat adalah pengetahuan meruang yang lansung dari Allah Swt. Misalnya bayi yang lahir menyusu ke ibunya, ini adalah pengetahuan langsung dari Allah Swt. Ini adalah bentuk makrifat. Hakikat adalah “intisari” memahami tentang apa yang telah kita pelajari dari Allah dengan melibatkan hati dan pikiran. Kemudian tariqah yang berarti jalan; mengolah pengetahuan dari Allah dan pemahaman kita untuk menjadi kebermanfaatan. Dan yang terakhir adalah syariat. Syariat adalah hal yang kita lakukan untuk mencapai kebermanfaatan tersebut. Misalnya berbuat baik, adil kepada semua orang, bersikap sungguh-sungguh, amanah, jujur, bijaksana.

Mbah Nun juga menyampaikan pesan kepada Jamaah Maiyah untuk dapat merumuskan Maiyah dengan lebih komprehensif dan terukur. Mbah Nun mengajak semua orang “cendikiawan”  untuk urun rembuk menggagas keberlangsungan Maiyah ini, dalam artian dapat mengkomunikasikan secara pikiran dan tulisan agar kelak anak-cucu kita tetap dapat mempelajari ilmu Maiyah yang pastinya akan dibutuhkan untuk “sangu” atau pijakan dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

 

Imroah. Perempuan kelahiran Kediri penikmat suasana Surabaya. Bisa dihubungi di @imroah73

Leave a Reply

Your email address will not be published.