Nggambang Nggambuh Saudara Tua
Bingkisan untuk 20th kanda Gambang Syafaat
Dari dinda BangbangWetan
Oleh : Rio N.S
Di percaturan lalu lintas kelahiran dan kegiatan Simpul-simpul Maiyah, Gambang Syafaat termasuk dalam jajaran Simpul tua. Kehadirannya secara tahun nyaris tak berjarak dengan Mocopat Syafaat dan Kenduri Cinta. PadhangmBulan tidak termasuk di dalamnya karena ia bukan lagi Simpul melainkan Ibu yang dari rahimnya bertebaran puluhan Lingkar dan Simpul seperti yang kita saksikan hingga hari ini.
Sebagai saudara tua, selayaknya mekanisme umum yang berlangsung di banyak keluarga, si anak pasti memiliki keistimewaan terkait intensitas kasih sayang dan perhatian dari ayah dan ibu. Sederhana saja, hal ini disebabkan ketersediaan energi kedua ortu yang lebih dari cukup saat ia dilahirkan hingga setidaknya mencapai umur balita atau mulai memasuki jenjang persekolahan.
Bila kisah kita lanjutkan dengan limpahan rejeki berupa anak-anak nomer sekian yang terus dilahirkan, maka urutan logisnya adalah mutu atensi maupun frekuensi sentuhan terhadap mereka yang lahir belakangan tidak semewah dibandingkan kakak-kakak ataupun seniornya.
Namun hal itu tidak sempat dinikmati oleh Gambang Syafaat. Semenjak lahir hingga 20 usianya kini, kehadiran Mbah Nun sebagai “ayah” sekaligus “bunda” tidak seintensif kunjungan beliau ke saudara tua lainnya. Bukan alasan yang melatari “ketegaan” beliau terhadap Simpul yang berumah di Masjid Baiturrahman menjadi poin pentingnya. Namun bagaimana kontinuitas yang mampu dirawat para pegiatnya agar bara cinta terus menyumbangkan nyala bagi keberlangsungan forum rutinan di kota bersimpang lima yang begitu melegenda.
Seperti halnya roman kehidupan manusia, jangan tanya gelombang pasang surut yang sempat mereka hadapi. Sebagai satu Simpul di kota terbesar ketiga di pulau Jawa, acara rutin bulanannya pernah hanya diikuti tak lebih dari jumlah jari-jari tangan kita. Ironisnya ini berlangsung selama nyaris putaran waktu 12 bulan. Seolah tak peduli pada cacah keberadaan badaniah, mereka terus upayakan keberlangsungan forum dengan tensi yang walau mungkin berkurang, degradasinya tidak signifikan.
Silatnas Simpul Maiyah 2019, beberapa minggu lalu terlaksana di Semarang dengan tentu saja dulur-dulur GS menjadi motor dan fasilitator utama. Dari pengamatan semiotika, terlihat bahwa ada maksud yang dititipkan oleh para penentu di tataran Korsim yaitu agar delegasi simpul-simpul yang datang bisa banyak belajar kepada saudara tua mereka. Yups, untuk banyak belajar bahwa media pembelajaran tak mementingkan jumlah yang banyak. Keajegan yang terwujud dari kohesitas dan kristalisasi cinta adalah dua unsur utama agar sebuah Simpul atau sekadar Lingkar mampu terus berjalan.
Sudah 20 tahun ternyata. Gambang Syafaat, alhamdulillah, sudah masuk dalam kategori Simpul yang “mapan”. Dari ragam dan jumlah pegiat, dulur-dulur yang datang setiap bulan, kewajiban teknis berkenaan tema, prolog, poster, dan reportase, kemandirian daya serta dana juga keberhasilan menjalin asmara jangka panjang dengan takmir atau marbot sehingga venue dari mula pertama hingga sekarang tak sekalipun mengalami perubahan adalah indikator-indikator dengan mana Simpul-simpul muda layak untuk belajar.
Bahwa tema GS di rutinan ke-20 tahun mereka adalah “Maiyah Untuk Anak Cucu” kiranya tidaklah berlebihan. Setelah sekian lama membangun format dan kredibilitas diri, apa lagi yang hendak kita raih selain pewarisan nilai-nilai Maiyah kepada anak, cucu hingga tak terbatasnya keturunan. Seusai taufan dan belantara kehidupan berhasil kita lampaui, pemikiran tentang apa yang bisa kita berikan kepada generasi penerus adalah urutan logis yang lumrah menjadi bahan pikir dan tindakan-tindakan.
Tentu saja, kesadaran mengenai pewarisan ini hendaklah tidak mengantarkan dulur tuwa kehilangan tensi darah muda mereka. Mengingat napas panjang gerak kemaiyahan adalah kejuangan tiada henti maka usia dua dasawarsa bukan alasan untuk tetirah; menikmati hari tua sambil memanjangkan ingat dan kenangan.
Sebagai instrumen unik karena bilah utamanya terbuat dari kayu, gambang berhasil menjadi individu yang otentik di tengah gerombolan besar logam bernama gamelan. Ia bisa tampil bersama-sama ngeng saudara-saudaranya namun cukup mandiri untuk hadir sebagai performer tunggal. Ciri spesifik yang demikian pula hendaknya dipunyai Gambang Syafaat beserta segenap anasir pendukungnya.
Keunikan, daya tahan dan mimpi-mimpi yang dimiliki Gambang Syafaat kiranya menjadi patron keteladanan bagi sekian Simpul dan Lingkar-Lingkar yang terus bermunculan.
Gak athik kesuwen, selamat ulang tahun, Luur. Aku di sini engkau di sana, jangkahe jik amba, ngopi barenge ayok diterusna !
Penulis adalah, penggiat BangbangWetan yang menemukan keseimbangan diri pada musik rock dan sastra. Bisa disapa melalui akun Facebook: N Prio Sanyoto.