Kolom Jamaah

PERJALANAN CINTA SATU DASAWARSA

OLEH : BUDI RUSTANTO
human-439149_1280

Adalah Allah Ta’ala meminjamkan sedikit kedaulatanNya kepada kita untuk memilih berjalan di titian mana sepanjang masa perjalanan di dunia. Dan tentu saja, tak ada perjalanan tanpa aral melintang. Batu kerikil atau yang lebih besar dari itu, tumbangnya pohon, retak dan lubang pada jalanan yang dilalui sudah merupakan menu wajib sehari-hari. Dunia bertujuan untuk semakin menjauhkan kita dengan titik ‘Arasy.

Pada mulanya, tidak sedikit dari kita berjalan limbung, *rebah Alifnya, rubuh tongkat tauhidnya, terombang-ambing presisi keIlahiannya. Namun demikian, tipu-daya dajjal sanggup membuat seolah-olah kita berdiri tegak lurus. Neraka berwajah surga, surga ditopengi neraka. Dari sinilah ada upaya dari sekumpulan manusia itu untuk minadh-dhulumat ila An-Nuur, memperkuat kuda-kuda menuju Cahaya. Agar titiannya segaris dan sejalan dengan titik ‘Arasy.

Mereka membentuk komune, ber-taqorrub dan ber-tafakkur kepada KhaliqNya. Ndoprok selama 7 hingga 8 jam dan mengisinya dengan diskusi ilmiah atau sosial, kesenian moderen atau tradisional, serta ngaji urip ndek-ndekan, adalah hal yang kurang bisa dinikmati dan dipahami sebagai sesuatu yang bermanfaat saat dajjal-is-me dan budaya materialis sedang berada dalam masa kejayaannya.

Amsal, jika kita bertanya “kok, mau?” dari setiap mereka sejumlah 100 (seratus) orang, maka akan didapatkan 100 jawaban yang berbeda pula. Setiap personal berusaha memosisikan diri sebagai glepung; dinamis, fleksibel, tidak terikat dari suatu apa. Moderat saat masanya, liberal pada waktunya, bahkan mungkin radikal di detik berikutnya.

Komunal yang tidak hanya berisi para pencari Cinta, Cahaya, ilmu, pengetahuan, dan energi, tapi, tersemat pula orang-orang yang mengais rejeki halalNya. Satu hingga dua jam sebelumnya, sekeliling lokasi sudah mulai dipenuhi penjual-penjual makanan atau minuman dan manusia-manusia sekadar mencari pengganjal perut atau penghilang kantuk. Dan tidak mungkin bisa dilupakan peran Pojok Ilmu ‘warisan’ Pak Ndut yang begitu setia menemani jama’ah dan para pegiat dengan merchandise CNKK (Cak Nun & KiaiKanjeng), buku-buku siMbah Nun dan rekam jejak audio-visual Maiyahan/event CNKK yang tak terjangkau oleh jama’ah.

Beberapa tokoh seperti Pak Suko Widodo (Dosen Universitas Airlangga), Cak Kartolo, Cak Priyo Aljabar, Bu Risma (Walikota Surabaya), Pak M. Nuh (mantan Menteri Pendidikan 2009-2014), hingga Mayjen TNI (Purn.) Kivlan Zein, pun sempat hadir menjadi ‘sumur’ untuk digali keilmuannya di bidang masing-masing.

September ini, kumpulan itu sudah berusia 10 (sepuluh) tahun. Menghabiskan masa 10 tahun dalam satuan waktu manusia bukanlah hitungan sekejap mata. 10 tahun bisa mengubah perilaku seseorang yang jahat menjadi baik, maupun sebaliknya. 10 tahun bisa mengubah status seseorang, dari jomblo menjadi seorang Ayah atau Ibu. Pengetahuan, sikap dan berbagai dimensi dalam diri sangat mungkin bertolak 180 derajat dari masa 10 tahun itu.

 

Bangbang Wetan ‘ada di mana’?

Sudah bukan rahasia lagi bagi yang hadir di Bangbang Wetan bulan lalu. Mas Amin, Sekretaris Jenderal Bangbang Wetan yang dengan setia menjadi Master of Ceremony sekian tahun, tanpa ancang-ancang tiba-tiba berteriak membangunkan mata-mata bosan karena ketidakhadiran Sang Guru dan Sang Rektor.

Layaknya seorang koordinator lapangan handal, hentakan semangat mas Amin seperti mengingatkan kita pada orasi Bung Tomo saat membangkitkan nasionalisme Arek-Arek Suroboyo melawan penjajah 71 tahun lalu. Sempat saya merasa khawatir, kalau-kalau patung Bung Karno di pintu masuk Tugu Pahlawan—yang menjadi lokasi Bangbang Wetan bulan lalu—berubah hidup dan membacakan teks proklamasi sekali lagi. Tentu itu menjadi sebuah kejutan tersendiri.

Nuurun Alannuur, kita adalah sekumpulan manusia yang mencoba menjangkau Sang Cahaya di atas cahaya. Kira-kira seperti itu inti dari orasinya.

Sepanjang perjalanan mengikuti Bangbang Wetan, sudah barang tentu banyak hal baik dialami dan dipelajari, sepanjang tak ada niat tersembunyi di baliknya. Sebagai simpul dengan usia paling muda kedua di antara 4 ibukota propinsi di pulau Jawa, Bangbang Wetan telah menunjukkan perkembangan pesat dalam bidang keorganisasian (ISIM) sejak masa Silatnas I yang diadakan di Baturraden, Purwokerto 2 (dua) tahun silam. Secara garis besar, Bangbang Wetan juga telah melewati masa Maiyahan, Sinau Bareng, Sinau Kedaulatan, dan Tadabburan. Apakah pasca Silatnas II di Magelang akhir tahun lalu, kembali Bangbang Wetan sanggup menjawab tantangan sang waktu?

Tentunya masih sangat amat banyak pekerjaan rumah yang menunggu di usia 10 tahun ini, usia yang bisa dianggap sebagai akil baligh. Saat di mana seorang manusia sudah bisa menentukan mana yang baik dan buruk, sanggup mengolah informasi kebenaran menjadi kebenaran itu sendiri menurut kemampuan akal dan hatinya.

Seperti yang diketahui, orang-orang berkumpul bukan hanya sekadar untuk mengeluarkan uneg-uneg atau kritik atas kejadian-kejadian di luar kemanusiaan, tetapi bersama-sama saling bahu-membahu memikirkan solusi terbaik untuk dijalankan oleh masing-masing personal. Baik dalam ruang lingkup terkecil seperti keluarga, atau skala kosmologis yang lebih besar dari itu, Negara, misalnya.

Bagaimanapun, forum Maiyahan—pada umumnya—adalah tempat belajar, mencari, terasing, kebingungan, menangis dan menemukan. Dengan adanya ‘transformasi’ Maiyahan menjadi Tadabburan, apakah masyarakat Bangbang Wetan saat ini sudah berada pada tingkat Ta’dib setelah melewati tahap Ta’lim, Tafhim, Ta’rif, Ta’mil/Taf’il dan Takhlis? Atau, sudahkah diri pribadi kita berperan sebagai manusia wajib instead of sunnah, mubah, makruh dan—na’udzubillah—haram? Serta, bagaimana para jama’ah dan para pegiat menjawab tantangan mas Sabrang yang pernah diajukan pada Bangbang Wetan beberapa waktu lalu sebagai wujud riil dari pengamalan ilmu berMaiyah. Sudahkah orang-orang yang berkumpul di Timur ini menguak rahasia, bangun dari tidur?

 

Menemani Waktu, Mengarungi Jaman

Prestasi manusia Maiyah itu bukan terletak pada pencapaiannya, tapi, pada tidak berhentinya kepada perjuangan. Orang Maiyah diperingatkan Allah “jangan menghardik waktu”. Orang Maiyah terus lelaku, menanam, menabur, menyebar, dan menyebarkan kebaikan, kebenaran dan keindahan. Seperti yang sudah dicontohkan siMbah Nun dengan lelakunya sejak puluhan tahun lalu. Dan sejak awal tahun ini, Beliau mengawal anak-cucu dan JM dengan Quote, Daur, Tajuk, Bongkah, Lubuk, Asepi, Pustaka Emha yang tak pernah absen seharipun demi sekadar membangunkan wedhus-wedhus yang masih pulas dibuai mimpi dunia. Belum lagi hitungan waktu saat Beliau turun langsung beserta keluarga KiaiKanjeng yang sudah hampir mencapai **empat ribu penampilan (**perkiraan, dibutuhkan koreksi) di seluruh penjuru benua di dunia.

Maka, yang bisa dilakukan adalah bagaimana agar diri bisa berjalan di belakang Beliau dengan terus menerus menyebarkan kebaikan. Dengan cara apa? Ah, saya pikir jama’ah Bangbang Wetan cukup dewasa untuk mencari, tahu dan mau memasuki lorong-lorong kebaikan. Turut aktif berperan dalam menyebarkan tagar #BbW1Dekade atau #BbW1nd0nesia di media sosial, misalnya.

Teruslah mencari, apapun hasil yang nantinya akan muncul, semoga kita selalu diberikan kebesaran hati dan keluasan akal serta diperkaya dengan sudut, jarak, cara, dan resolusi pandang dalam melihat berbagai aspek kehidupan. Bukankah menjadi sesuatu yang berbahaya jika seorang pencari merasa sudah menemukan?

 

 

Selamat Ulang Tahun, Bangbang Wetan.

 

*Daur 214: Pemimpin Ternak