Sadumuk Bathuk, Sanyari Bumi—Prolog BangbangWetan Juli 2015
Tanda-tanda kehidupan yang melekat pada setiap makhluk hidup adalah adanya fungsi metabolisme, regenerasi dan iritabilita. Kali ini kita berfokus pada fungsi ketiga, sebuah fungsi yang secara sederhana bisa digambarkan sebagai adanya fungsi reaktif atas rangsang (sakit) yang diterimanya. Salah satu contoh yang bisa dengan mudah kita temui adalah bagaimana cacing sebagai hewan yang hampir tak “bersenjata” (ofensif maupun defensive) ketika kita usik akan menggerakkan tubuhnya. Klugat-kluget, muletnya cacing inilah pengejawantahan fungsi iritabilita yang bisa dilakukannya.
Bagaimana dengan manusia? Meihat lengkapnya piranti yang dimilki makhluk dengan derajat tertinggi dalam terminologi “ciptaan Tuhan yang terhampar di muka bumi”, manusia bisa melakukan apa saja untuk menunjukkan reaksi mereka atas apapun yang dirasakan, dilihat, dialaminya. Dari sekedar menahan nafas, membelalakkan mata, berteriak, mengaduh hingga gerakan spontan yang merupakan fungsi alamiah dari kerjasama syaraf sensorik dan motorik.
Kalau amsal ini kita tarik ke dataran pemahaman yang lebih luas, ke ranah bangsa dan negara misalnya, bisakah fungsi ini kita jadikan prasyarat bagi tanda-tanda (masih) hidupnya sebuah bangsa? Teori baku dalam sudut pandang demokrasi menyebutkan bahwa suatu negara harus memiliki kedualatan, wilayah, penduduk dan pemerintah. Bila definisi Negara ini sedikit kita othak-athik dengan menganggap bahwa Negara adalah juga sebuah entitas yang hidup, organism yang mestinya memiliki ketiga fungsi dasar makhluk hidup itu, masihkah entitas bernama Indonesia memiliki fungsi iritabilita?
Ya, fungsi iritabilita saja karena sejak awal kita sepakat hanya berfokus pada fungsi ini.
Ketika rancangan MEA disepakati hingga teknis dan tanggal mula penerapannya, apa saja yang dilakukan oleh negara bernama Indonesia untuk menyambutnya? Apakah lahir regulasi dan aplikasi yang secara kaku dimaksudkan melindungi kepentingan dan hajat hidup rakyatnya? Sudah seia sekatakah para petinggi di negara yang batas baratnya adalah titik nol Pulau We dan tapal batas timurnya ada di Kabupaten Merauke ini dalam memberikan bukan saja kebijakan dan keputusan namun hingga diplomasi dan kalimat-kalimat yang terang benderang berlabelkan pro rakyat, bangsa dan negara?
Atau sebaliknya, dan nampaknya ini yang sayup-sayup semakin sering kita dengar: terjadi replikasi arah kebijakan hingga lahir aturan-aturan nyata di lapangan yang nganeh-nganehi , tendensius dan—duh, gusti, mengecewakan. Lebih lengkap dan detailnya mengenai ini semua, mari kita elaborasi bersama-sama. Bukan menjadi bahan pemberat atas kesalahan mereka namun lebih sebagai tambahan referensi bagi kita untuk tidak mengulang hal yang sama.
Sekarang kita coba ambil jalan lain sebagai terobosan atas stagnansi arus komunikasi, penyaluran niat baik dan harapan serta usulan dan rekomendasi—yang kesemuanya itu semestinya jadi hal yang keberadaannya mutlak dalam sebuah kehidupan bernama negara demokrasi.
Mari kita tarik segala kepenatan tata kelola itu ke wilayah yang lebih personal. Kalau ada pihak-pihak yang bermaksud mengganggu gugat kepemilikan, kehormatan dan martabat kita, apa yang akan dan bisa kita lakukan? Akankah kita berdiam diri sambil berharap muncul keajaiban sebagai perpanjangan Tuhan? Akar tradisi di hampir semua daerah di sana (Indonesia) menunjukkan adanya mekanisme pertahanan ini. Carok yang dipicu oleh gelegak kesumat terusiknya kedaulatan atas istri dan tanah di Madura, misalnya. Atau sebutlah pada seorang Aceh betapa kafirnya dia, maka ujung runcing rencong spontan terhunus di depan anda. Demikian halnya dengan orang Makassar yang sedia dengan badiknya bila merasa ada perkataan yang melampaui ambang batas kepekaan mereka.
Kembali ke hitungan waktu yang lebih mutakhir, masihkah bangsa itu (Indonesia) dengan lantangnya meneriakkan:
“daripada hidup berputih tulang lebih baik mati berkalang tanah”
manakala mendengar para pemimpinnya mempersilakan pihak asing memiliki tanah dan apa-apa yang terkandung didalamnya?. Apakah tindakan memasarkan potensi negaranya ke petinggi dan pengusaha asing adalah tindakan terpuji demi mengalirnya dana inevestasi? Atau justru program ini adalah langkah-langkah obral habis-habisan bagi rangkaian harta pesona bernama jamrud katulistiwa?
Sudah semakin pekat pengaruh pemikiran “dari sana” yang menjadikan mereka (bangsa Indonesia) menjadi bangsa yang asalkan bisa memiliki gadget dan kelengkapan materi hidup sudah merasa cukup. Sudah semakin tipis harapan kita akan muncul sekelompok dari mereka yang serentak, massif, strategis dan solutif menyerukan “sadhumuk bathuk sanyari bumi” bagi kian sirnanya harkat dan martabat mereka sebagai bangsa.
Seberapa besar akurasi pernyataan-pernyataan di atas, ayo kita bahas bersama. Semoga semakin banyak jawaban untuk bisa menemukan pertanyaan-pertanyaan baru !.
Catatan: “Sadumuk Bathuk Sanyari Bumi” adalah ungkapan dalam literasi jawa yang berarti: “Seluas Telapak Tangan di dahi dan Sejengkal Tanahpun Akan Dibela Hingga Mati”. Ungkapan ini berhubungan erat dengan pernyataan menjelang terjadi/diputuskannya peperangan oleh seseorang atau sekelompok orang bila hak-hak dan kedaulatannya diusik.