Santri “Dihukum Gantung”
Kemlagen #3
Oleh: Samsul Huda
Tahun 1977 saya lulus MI, Madrasah Ibtidaiyah, di Lamongan dan berijazah. Namun ijazah itu ditolak sebagai syarat masuk ke MTs di pondok Pesantren “Roudlotun Nasyi’in” Berat Kulon-Kemlagi, Mojokerto. Penolakan didasarkan penilaian para pengasuh pondok mengenai kualitas pengajaran Madrasah desa tempat saya belajar sebelumnya. Karena alasan akademik inilah, saya harus mengulang jenjang persekolahan MI di kelas lima. Turun dua tingkat dari yang seharusnya saya jalani.
Gedung MI di pondok pesantren Berat Kulon dibangun terpisah antara gedung untuk siswa putra dan putri. Jarak antar gedung sekitar 500 meter. Seragam pakaiannya bercelana dan berkopyah. Gedungnya berada di luar kompleks pondok. Kurikulum yang digunakan terdiri dari mata pelajaran umum ada agama Islam. Pelajaran umumnya sama dengan yang diajarkan di Sekolah Dasar pada umumnya. Untuk pelajaran agama, kitab kuning (turots) merupakan rujukan utama. Di antaranya kitab Washoya untuk pelajaran akhlak, kitab Mabadil Fiqhi empat jilid untuk pelajaran fiqih, kitab Nurul Yaqin untuk sejarah Islam, dan kitab ‘Aqidatul Awwam untuk pelajaran tauhid.
Tahun pertama pembelajaran di pondok maupun sekolah formal saya lalui biasa-biasa saja. Masa itu, pembagian waktu tahun ajaran adalah 3 segmen dengan panjang 4 empat bulan per segmennya. Catur wulan 3 adalah masa penentuan naik-tidaknya seorang siswa ke kelas selanjutnya.
Di MI saya mempunyai seorang guru yang terbilang tampan. Wajahnya selalu berseri-seri namun tegas dan berwibawa. Beliau masih jejaka. Selalu bersepeda “onta wedhok“. Waktu itu, dikenal 3 jenis sepeda kayuh yakni sepeda Jengki, Wedhok dan Lanang. Namanya Ustadz Asmuhin. Tinggalnya di Desa Mojojajar. Sekitar dua kilometer dari kawasan pondok.
Satu hari, saat istirahat sekolah, saya dan keempat teman ditimbali Ustadz Asmuhin. Kami berlima menghadap beliau di kantornya yang berada di lingkungan gedung MI putra di samping Masjid Jami’ Berat kulon. Ruang itu terpisah dari gedung sekolah, yaitu di bangunan rumah kecil milik ayah dari Aba Nidhom, pemilik toko bangunan terbesar di kawasan itu.
Kami datangi kantor itu dengan perasaan was-was. Ndredeg atau cepatnya debar jantung saya dan kawan-kawan mewakili perasaan itu. Di hadapan ustadz tampan itu, kami hanya bisa menunduk. Tak ada keberanian menatap wajah mulia beliau. Guru-guru MI bagi kami memang sangat berwibawa satu hal yang diimbangi dengan perilaku tawadhu’ para santri.
Walau dengan suara yang terjaga ketenangannya, dawuh beliau bagaikan sambaran petir. “Kalian dihukum gantung. Tahu kenapa ?”. Wajah kami semakin tertunduk. Detak jantung kami kian kencang. Kami tidak paham, kenapa harus mendapat hukuman itu. Apa kesalahan kami. Beliau meneruskan ucapannya, “Kalian tidak naik kelas. Raport kalian terbakar. Banyak nilai merahnya”. Nilai lima ke bawah memang ditulis merah di raport. Kami tidak berani bertanya kenapa raport kami terbakar. Apa lagi bertanya mengapa kami tidak naik kelas. Beliau melanjutkan “Nek awakmu kabeh pancet gak tayo, gak beneh, mblah mbleh, klowar klowor, males, aras-arasen, maka kalian tetap di kelas lima permanen. Sekarang kalian naik kelas enam namun digantung selama satu catur wulan. Kalau ada perubahan dalam prestasi belajar kalian, maka bisa lanjut di kelas enam. Tetapi kalau tidak ada perubahan, kalian akan diturunkan kembali ke kelas lima”.
Peristiwa ini seumur hidup tidak akan pernah terlupakan dan sejak saat itu saya bertekad untuk bangkit. Sangat tak nyaman mendapati hukuman naik kelas gantung. Saya menyatakan perang melawan kemalasan, ketidak seriusan, dan kesembronoan hidup. Maka “perang itu wajib” berdasarkan hakikat kehendak dan perintah Allah:
كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِتَالُ وَهُوَ كُرْهٌ لَّكُمْ
وَعَسَىٰ أَن تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ
وَعَسَىٰ أَن تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَّكُمْ
اللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
“Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (Al Qur’an surat Al Baqoroh ayat 216)
Singkatnya, perang itu sudah digariskan, diniscayakan, atau ditetapkan untuk manusia. Di antara sekian jenis peperangan, yang paling dahsyat dan hebat adalah perang melawan hawa nafsu untuk ditundukkan dan dikendalikan. Tidak untuk dibunuh atau dimusnahkan.
Sabtu, 30 Januari 2021
—oOo—
Penulis adalah santri di PP Roudlotun Nasyi’in, Beratkulon-Kemlagi dan PP Amanatul Ummah Pacet. Keduanya di Mojokerto. Mengaku sebagai salah seorang santri di Padhang mBulan, penulis bisa ditemui di kediamannya di dusun Rejoso-Payungrejo, kecamatan Kutorejo, Kab. Mojokerto