Kolom Jamaah

Waliraja Rajawali: Cara Lain Memaknai Indonesia

Oleh: Runindaru

Jumat, 23 September 2022, Surabaya—BangbangWetan menggelar hajat besar tepat pada peringatan hari ulang tahunnya yang keenam belas tahun. Salah satu landmark bersejarah di Kota Surabaya—Tugu Pahlawan—menjadi saksi bisu nikmatnya pertemuan tadi malam. Pertemuan yang menjadi momen pelepas rindu antara Mbah Nun dengan para Jamaah Maiyah. Acara semalam tentu tidak mungkin terlaksana tanpa pertolongan Allah melalui para penggiat BangbangWetan yang setia bergotong royong sejak persiapan hingga pascapelaksanaan. Selain itu, dukungan penuh dari Ibu Khofifah Indar Parawansa, selaku Gubernur Jawa Timur, dan Ikatan Alumni Universitas Airlangga Surabaya juga menjadi satu komponen penting dari terselenggaranya pementasan WaliRaja RajaWali sekaligus 16 Tahun BangbangWetan.

Bu Khofifah turut diajak untuk menari bersama menjelang pagelaran usai

Sesuai susunan acara yang telah tertulis, pukul 19.30 Mbah Nun membuka pertemuan malam itu. Selama 30 menit, dalam Pambuko tersebut, Mbah Nun sebagai penulis naskah memberikan pengantar mengenai asal-usul istilah Waliraja, gambaran Bangsa Indonesia saat ini, dan keyakinan Mbah Nun akan jati diri Nusantara. “Bangsa Indonesia adalah bangsa Brahmana, lebih tinggi dari ksatria.” Tutur Mbah Nun. Beliau juga menambahkan bahwa tangguhnya rakyat Indonesia menempatkan mereka jauh dari posisi krisis, sebab yang krisis adalah pemerintahannya, yang kemudian disambut tawa para jamaah.

Memasuki pukul 20.00 dengan arahan Pak Suko, serempak jamaah yang telah merayapi lapangan Tugu Pahlawan berdiri dan mengikuti instrumen dari KiaiKanjeng untuk menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya. Ibu Khofifah lantas memberi sambutan singkat, beliau menyambut baik kedatangan Mbah Nun bersama rombongan Teater Perdikan dan KiaiKanjeng di ibu kota Jawa Timur. Selain itu, juga hadir di tengah-tengah jamaah, wakil walikota Surabaya, Cak Armuji, dan Sekda Jawa Timur, Adhi Karyono. “Semoga kita bisa menjadikan ini sebagai tontonan sekaligus tuntunan.” Pungkas perempuan yang dijuluki “Emak” oleh Mbah Nun tadi malam sebelum pementasan dimulai.

WaliRaja RajaWali dibuka dengan alunan musik yang mengiringi gerak-gerik lima tokohnya yang berperan sebagai rakyat ataupun putra-putri Nusantara. Beberapa jamaah terhanyut seolah terhipnotis pentas di hadapannya ketika Ibu Pertiwi melantunkan lagu dengan suara menyedihkan. Keharuan itu berakhir kala Maulana Iradat—yang mengenakan kostum putih lengkap berikut jubahnya—hadir menghibur putrinya, Ibu Pertiwi, yang sedang bersedih melihat kondisi Nusantara, mencari anak-anaknya. “Tuhan akan menaburkan cahaya dan engkau akan tersenyum kembali.” Penggalan dialog Maulana Iradat sebelum pergi meninggalkan Ibu Pertiwi.

Hingga pukul 20.30 jamaah masih terus berdatangan memasuki area lapangan Tugu Pahlawan. Tidak sedikit pula yang mampir menyempatkan diri menengok lapak-lapak dulur-dulurnya yang menyuguhkan berbagai barang. Ada buku, souvenir, minuman tradisional, makanan, dan minuman kekinian. Panitia dengan sigap mengarahkan jamaah untuk mengisi ruang-ruang yang masih kosong. Berlatar pemandangan menjulangnya Tugu Pahlawan di belakang panggung dan megahnya gedung Gubernur Jawa Timur di sisi timur, sambil menyeruput kopi dan melepas kebal-kebul asap rokoknya, jamaah dengan khidmat mengikuti jalannya pementasan WaliRaja RajaWali.

Selain tokoh-tokohnya yang secara profesional menyuguhkan aksi-aksi yang sangat menghibur, kehadiran instrumen musik oleh KiaiKanjeng dan tari jaranan menjadi unsur utama pementasan, menjadi complete package. Masih dengan sutradara yang sama seperti saat pementasan Sengkuni 2019 lalu, Jujuk Prabowo kembali menjadi nakhoda dalam WaliRaja RajaWali yang naskahnya ditulis langsung oleh Mbah Nun. Tidak lengkap rasanya jika kita tidak memberikan apresiasi setinggi-tingginya pada para punggawa Teater Perdikan.

Penampilan paripurna RAy Sitoresmi Prabuningrat sebagai Ibu Pertiwi seolah mampu ‘menyihir’ suasana tadi malam. Pak Jujuk tidak luput memberi apresiasinya, “saya tidak tahu kenapa, malam ini beliau betul-betul luar biasa, tidak ada teks yang lupa.” Kiprahnya di dunia panggung tentu tidak perlu diragukan lagi. Pada usianya yang ke-72, beliau masih bergiat aktif bersama Teater Perdikan. Hal ini semestinya menjadi inspirasi, dorongan, dan optimisme bagi kaum muda, yang dimaksud sebagai putra-putri Nusantara untuk senantiasa bekerja sama—meminjam istilah Mbah Nun—ndandani Indonesia. Itulah yang juga menjadi salah satu sorotan pada pementasan semalam. Mbah Nun seringkali mengatakan kepada jamaah untuk jadilah apa yang memang menjadi takdirmu. “Kalau kamu bebek, ya jadi bebek. Jangan jadi kambing, ayam, sapi.” Tuturnya pada salah satu kesempatan di BangbangWetan.

Bukan Mbah Nun bila tidak nggedekno ati para jamaah. Melalui WaliRaja RajaWali, beliau mencoba menyampaikan karakter-karakter bangsa Indonesia. Tidak hanya yang buruk-buruk, tetapi juga yang baik-baik diungkapkan di atas panggung. Seperti halnya soal tangguhnya mental putra-putri Nusantara yang meski telah kehilangan harga diri, terpuruk, tetapi masih selalu bangkit lagi. “Nusantara tak mati-mati”, penggalan dialog tokoh Pak Rajeg.

Menjadi rahasia umum bahwa seni dan sastra merupakan salah satu jalan dalam mengkritisi kondisi atau fenomena sosial. WaliRaja RajaWali adalah contoh yang tepat dalam menggambarkannya. Klimaksnya, datang seorang tokoh bernama Mas Mambang, yang mengklaim dirinya sebagai pioneer partai politik yang tidak ingin mengikuti pemilu, dengan kata lain berbeda dengan parpol pada umumnya. Lahdalah, ujung-ujungnya sama, tetap ada “pelicin”. Namun, yang menarik adalah ia juga memberi pesan agar rakyat tidak salah memilih pemimpin. Sesekali riuh tepuk tangan jamaah mengisi atmosfer Tugu Pahlawan sesaat setelah dialog-dialog yang on point berakhir.

Melalui Maulana Iradat lagi-lagi, Mbah Nun menyelipkan pesan untuk putra-putri Nusantara agar senantiasa mengingat dan kembali pada jati diri bangsanya. Mengirim optimisme bahwa dalam waktu dekat, Nusantara akan bangkit menjadi pusat kemakmuran dunia.

“Nanti kita sudah tidak perlu mengirim TKW ke luar negeri. Malah mereka yang jadi TKW di Indonesia.” Ucap Mbah Nun di sela-sela Pambuko. Adapun pesan besar yang hendak disampaikan melalui pementasan semalam adalah agar kita tidak salah lagi dalam memilih pemimpin, bahwa pemimpin yang dipilih mestinya adalah seorang Brahmana Raja.

“Satukan masa silam dengan masa sekarang,” menjadi dawuh pemungkas dari Maulana Iradat, yang tidak lama kemudian ditutup dengan iringan lagu BangbangWetan. Di penghujung pementasan, para stakeholder diundang ke panggung membaur dengan para tokoh WaliRaja RajaWali dan penari jaranan, lengkap membawa selendang kuning di tangan dan menari di tengah para Jamaah Maiyah yang hadir.

Runindaru, seorang BTS ARMY, yang saat ini sedang menyibukkan diri dengan tulisan dan membangun podcast Suaruni. Tulisan-tulisannya bisa dijumpai di akun media sosial dan halaman blog ataupun platform pribadinya. Ia juga bisa disapa melalui akun twitter @RahmaPil.

Leave a Reply

Your email address will not be published.